Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

“WADI’AH (BARANG TITIPAN)”


PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
     Di dunia ini tidak mungkin manusia hidup menyendiri, tidak bermasyarakat, karena setiap individu tidak mungkin dia menyediakan dan mengadakan keperluannya tanpa melibatkan orang lain.Ada orang yang memiliki suatu barang, tetapi tidak memiliki barang yang lainnya . dengan demikian manusia harus saling berhubungan , saling bertukar keperluan. Bahkan tidak hanya terbatas dalam soal materi saja, tetapi juga jasa dan keahlian (ketrampilan).
      Bumi ini dengan segala isinya memang sengaja diciptakan oleh allah untuk kepentingan hamba-hambaNya untuk dimiliki dan dimanfaatkan.  Didalam agama Islam tidak ada suatu pembatasan  untuk memiliki harta  dan tidak ada larangan untuk mencari karunia allah sebanyak-banyaknya,asal jelas penyalurannya dan pemanfaatannya.
      Dalam masalah barang titipan, dapat saja barang titipan itu dijual kepada pihak lain,karena tidak memegang amanah.apabila kita perhatikan dengan seksama,maka penyebab utama terjadi penyelewengan (pelanggaran) adalah disebabkan pelaku(pelaksana) muamalah itu,moralnya telah rusak,imannya menipis dan taqwanya menurun. Dalam pembahasan kali ini kami akan mengulas materi tentang wadi’ah sebagai materi yang kami pilih.

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami bagaimana pengertian wadi’ah dan mengetahui dasar hukumnya, serta mengetahui apasaja hal-hal yang terkait dengan pembahasan wadi’ah.



C.    Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah kali ini, penyusun akan menguraikan pembahasan dari bebarapa rumusan masalah diantaranya pengertian wadi’ah, hukum syar’i dan dasar dari wadi’ah, bagaimana cara mengganti barang titipan serta kapan berakhirnya masa penitipan wadi’ah


























PEMBAHASAN

A.    DEFINISI
Secara etimologis, kata wadi’ah berasal dari wada’a asy-syai’ jika ia meninggalkannya pada orang yang menerima titipan. Adapun wadi’ah secara terminologis berarti pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga hartanya tanpa kompensasi (ganti).

B.     HUKUM SYAR’I DAN DASARNYA
Menitipkan dan menerima titipan hukumnya boleh (ja’iz). Bahkan, disunahkan bagi orang yang dapat dipercaya dan mengetahui bahwa dirinya mampu menjaga barang titipan. Dasarnya adalah al-Qur’an, hadits, dan ijma’.[1]
 Dasar dari al-qur’an adalah firman allah swt:
Surat an-nisa 58
4:58

“ sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”( surat an-nisa 58).

            Dasar dari hadits diantaranya adlah sabda rasululloh saw:

اد الامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خانك
“sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah  kamu menghianati orang yang menghianatimu.” (Riwayat Abu dawud dan at-turmudzi ).

 Dasar dari ijma’ adalah bahwa ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah sunah. Dalam kitab al-mubdi’ disebutkan: “ijma’ dalam setiap masa diperbolehkan wadi’ah.” Dalam kitab al-ifshah disebutkan: “ ulama sepakat bahwa wadi’ah termasuk ibadah sunah, dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.
Dalam hadits dijelaskan:
والله في عون العبد ماكان العبد في عون اخيه
“allah menolong hamba selama hamba menolong saudarannya.”( Riwayat Muslim).

C.    RUKUN-RUKUN WADI’AH
Rukun wadi’ah menurut mayoritas ulama ada empat, yaitu penjagaan, al-muta’aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan sighah.
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun wadi’ah adalah ijab dan qabul saja.
Muta’aqidain (dua pihak  yang melakukan transaksi) disyaratkan termasuk  orang yang boleh melakukan tasharruf. Tidak sah menitipkan atau menerima titipan dari orang yang tidak sah melakukan tasharruf,seperti anak kecil dan orang gila.
Shighah disyaratkan datang dari penitip dan lafal yang menunjukan arti meminta penjagaan, seperti: “ aku titipkan harta ini kepadamu,” atau “aku minta penjagaannya,” dan lafal semakna lainnya. Qobul tidak disyaratkan dengan lafal,tetapi cukup dengan menerimanya.

D.    HUKUM TRANSAKSI WADI’AH
Transaksi wadi’ah adalah boleh bagi dua pihak yang keduanya boleh membatalkannya. Ibn juza  mengatakan: “wadi’ah adalah amanat dari dua pihak yang masing-masing boleh melepaskannya kapan saja.”

E.     MENGGANTI WADI’AH
Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang dititipi,maka ia wajib menjaganya seperti penjagaan pada umumnya dan seperti menjaga hartanys sendiri. Ia wajib mengembalikannya ketika diminta oleh yang punya. Ini berdasarkan firman allah swt:
2:2832:283

“akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaknya yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaknya ia bertaqwa kepada allah Tuhannya.”(surat al-baqarah : 283).
Orang yang dititipi tidak mengganti barang titipan jika terjadi kerusakan padanya jika ia tidak gegabah karena ia adalah orang yang dipercaya. Orang yang di peercaya tidak menjamin/menaggung jika tidak gegabah. Ini berdasarkan riwayat ‘Amr ibn syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa nabi saw bersabda:
“barang siapa yang dititipi barang titipan, ia tidak wajib menjamin.”(Riwayat ibnu majah).
Ibn rusyd mengatakan, “secara global,fuqoha’ berpendapat bahwa tidak ada kewajiban menjamin bagi orang yang  ditipi kecuali ia berbuat gegabah.”
Hal demikian ini karena orang yang dititipi berbuat amal ibadah. Jika ia wajib mengganti,tidak ada orang yang berani menerima titipan. Akibatnya, akan terjadi kesulitan bagi manusia untuk mencapai kemaslahatan. Fuqaha’ sepakat bahwa jika  seseorang menitipkan barang dengan syarat menjamin, orang yang dititipi tetap tidak wajib menjamin, dan syarat tersebut batal.[2]
Adapun jika orang yang dititipi berbuat gegabah,teledor, dan sembrono dalam menjaga barang titipan, dalam hal ini ia wajib menjamin jika terjadi kerusakan karena ia telah merusak harta orang lain.

F.     SEBAB-SEBAB KETELEDORAN
Sebab-sabab keteledoran dan gegabah sangat banyak, diantaranya sebagai berikut.
1.        Jika orang yang dititipi menitipkan barang titipan kepada orang lain tanpa izin pemiliknya,maka ia menjaminnya.
2.        Membawa pergi barang titipan tanpa izin pemiliknya, padahal jika tidak dibawa,barang titipan itu lebih aman.
3.        Tidak berwasiat. Jika orang yang dititipi sakit kritis atau ditahan karena membunuh, ia wajib mewasiatkannya. Jika ia tidak melakukan, ia wajib mengganti.
4.        Memanfaatkan barang titipan. Menggunakan barang titipan dan memanfaatkannya dengan sengaja menyebabkan adanya kewajiban mengganti jika rusak.
5.        Tidak sesuai dengan penjagaan yang iminta,maka ia wajib mengganti.
6.        Menunda mengembalikan barang tiipan,padahal pemiliknya telah memintanya tanpa sehingga terjadi kerusakan pada barang itu,maka ia wajib mengganti.

G.    KLAIM PENERIMA TITIPAN
       Jika orang yang dititipi mengklaim telah mengembalikan barang yang  di titipkan padanya kepada pemiliknya atau kepada wakilnya, klaim tersebut diterima karena ia orang yang dipercaya. Jika ia mengklaim bahwa barang titipan rusak bukan karena keteledorannya,klaimnya itu diterima dengan sumpah karena ia adalah  orang yang dipercaya. Pada asalnya,ia terbebas jika tidak ada bukti yang menunjukan kebohongannya. Adapun jika klaim kerusakan karena suatu kecelakaan,seperti kebakaran,klaimnya tidak diterima kecuali ada bukti yang menunjukan kebenaran kecelakaan itu.

H.    BERAKHIRNYA MASA TITIPAN
Wadi’ah berakhir jika salah satu pihak meninggal dunia atau gila. Dalam kondisi seperti ini,wadi’ah harus dikembalikan kepada pemiliknya.[3]


I.       DEPOSITO BANK
Ditinjau dari segi waktu penarikannya,deposito bank dibagi menjadi dua macam sebagai berikut:
1.      Deposito konvensional
Deposito ini juga disebut tabungan mengalir,bergerak,perhitungan mengalir, atau tabungan dibawah tuntutan. Maksudnya adalah tabungan sejumlah uang yang dititipkan oleh pemiliknya di bank,dan ia dapat menarik uangnya kapan saja dengan tidak tergantung oleh catatan / pemberitahuan sebelumnya. Caranya dapat dengan menggunakan cek,perintah transfer,kartu ATM, dan lain-lain.
2.      Deposito berjangka
Deposito ini juga disebut deposito permanen dan tidak bergerak, yaitu deposito yang tidak dapat ditarik kecuali pada saat jangka waktunya telah tiba sesuai dengan syarat-syarat yang dsepakati oleh kedua belah pihak. Pemilik deposito tidak boleh menarik depositonya sebelum waktunya. Deposito berjangka(deposito) adalah ungkapan bagi sejumlah uang yang disetorkan oleh pemiliknya ke bank dengan tujuan mendapatkan pemasukan yang berupa bunga.
Macam-macam deposito:
1)   Deposito berjangka tetap,yaitu setoran sejumlah uang oleh depositor kepada bank dengan kesepakatan tidak menarik semuanya atau sebagiannya kecuali jika telah tiba waktu ditetapkan dengan mendapatkan bunga yang tetap.
2)   Deposito dengan catatan /pemberitahuan,yaitu deposito yang tidak dapat ditarik oleh depositor kacuali setelah memberitahukannya kepada pihak bank batas waktu tertentu untuk menariknya mulai dari tanggal pemberitahuan tentang besarnya presentase deposito.
3)      Deposito providence. Deposito ini mempunyai beberapa bentuk sebagai berikut:
a.       Depositor menyetorkan sejumlah uang yang berbeda-beda antara satu waktu dangan waktu lain,dan ketika menyetorkannya,ia berhak mendapatkan bunganya saat itu juga.
b.      Deosito penyimpanan, yaitu sejumlah uang yang didepositokan kepada pihak bank, dan depositor boleh menariknya pada jangka waktu tertentu,seperti sekali dalam sepekan,dengan mendapatkan bunga tertentu. Pihak bank terkadang membatasi jumlah maksima pada satu kali penarikan.
c.       Depositor menyetorkan sejumlah uang kepada pihak bank yang tercatat dalam buku tertentu yang menjelaskan debet,kredit ,dan saldo dengan adanya bunga tetap. Penarikan deposito dalam satu hari dibatasi sehingga depositor tidak dapat menarik seluruh depositornya dalam sekali penarikan.

J.      HUKUM DEPOSITO BANK
Bank adalah  pihak penerima tabungan  dengan adanya kewajiban menjamin. Pihak bank berkewajiban mengembalikannya ketika diminta. Deposito tersebut telah beralih  kepada pihak bank sehingga pihak bank boleh mendayagunakannya.[4] Demikian ini merupakan  keputusan konvensi fiqh islami dibawah organsasi konferensi islam nomor 86(3/9) yang menjelaskan: “ deposito konvensional ,baik pada bank islami maupun bank ribawi,dalam perspektif fiqh adalah hutang piutang, yaitu pihak bank yang menerima deposit tersebut wajib menjamin dan wajib mengembalikannya ketika diminta.”
Deposito berjangka dengan segala macamnya ditetapkan oleh pihak bank bunga  tetap atas deposit yang disetorkan. Deposito yang disetorkan merupakan hutang. Secara syar’I tidak boleh memberikan bunga atas hutang. Konvensi fiqh islami dibawah organisasi konferensi islami di makkah pada pertemuan berkala yang kesembilan 1406 H mengeluarkan keputusan mengenai keharaman hal diatas.

Demikian pula pada pertemuan  di Jeddah nomor 86(3/9) yang memutuskan :
“kedua, depospito dibank dibagi menjadi dua macam sesuai dangan transaksi bank:
  1. Deposito yang memberikan bunga sebagaimana yang dipraktekan  oleh bank-bank ribawi. Ia merupakan hutang yang mmengandung riba yang diharamkan,baik deposito konvensional maupun berjangka, dan baik deposito dengan  pemberitahuan maupun deposito providence….”
Dengan demikian,harus ada solusi untuk mengganti deposito yang haram itu. Solusinya adalah dengan  menyetorkan deposito yang bertujuan mengembangkannya secara produktif pada suatu objek yang disyari’atkan. Dalam hal ini dengan cara mudharabah(bagi hasil) dan deposito itu dijadikan modal dengan kesepakatan antara depositor dengan pihak bank dengan pembagian keuntungan. Dengan demikian ,telah keluar dari hukum hutang piutang menjadi hukum al-mudharabah. Demikian ini telah dibahas dalam keputusan konvensi fiqh al-islami dibawah organisasi konferensi islami nomor 86(3/9).

K.    PENITIPAN DOKUMEN DI BANK
Penitipan dokumen dan surat-surat  berharga dilakukan seseorang dengan menyerahkannya kepada pihak bank supaya menjaganya. Pihak bank memberikan tanda trima kepada penitip dan mengembalikannya kepada pemiliknya ketika diminta atau akhir jatuh tempo yang ditetapkan. Ssebagai kompensasinya,penitip dikenakan sejumlah biaya sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.[5]
Hukum penitipan dokumen di bank
Penitipan document di bank dan surat-surat berharga hukumnya boleh, dan dikategorikan kedalam transaksi ijarah (kontrak kerja) untuk menjaga suatu yang dititipkan dengan bayaran yang diketahui oleh kedua belah pihak.

L.     TRANSAKSI ASURANSI
            Trasaksi asuransi merupakan transaksi modern yang tidak ditemukan pada zaman konstruksi  hukum fiqih islam klasik. Oleh karena itu, banyak pendaat dari para peneliti mengenai hal ini.

Macam-Macam Asuransi
1)   Asuransi kooperatif, yaitu dengan cara sesorang mengajukan premi dengan nilai tertentu sebagai ganti rugi atas musibah yang mungkin dideritanya sebagai pertolongan baginya untuk menghindari kerugian dan sebagai bentuk kerjasama dalam mengemban tanggung jawab ketika terjadinya bencana.
2)   Asuransi perusahaan, yaitu transaksi yang mengharuskan salah satu dari dua pihak, yakni perusahaan asuransi untuk memberikan kompensasi materialkepada orang yang mengajukan asuransi ketika terjadi kecelakaan dengan nilai kerugian yang ditetapkan pada saat transaksi. Sebagai kompensasinya, pemohon asuransi membayar premi kepada perusahaan asuransi sesuai dengan yang tercatat dalam transakai asuransi.

HUKUM ASURANSI
1.      Asuransi kooperatif
Asuransi kooperatif hukumnya boleh karena bertujuan saling menolong untuk mengatasi bahaya dan merupakan perserikatan dalam mengemban tanggung jawab ketika terjadi bencana. Demikian ini sejalan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah  syari’ah dan didasarkan pada tindakan solidaritas dan saling menjamin.
Majelis ulama tinggi Saudi membolehkan asuransi kooperatif dalam keputusannya no (51) tanggal 4/4/1397 H. bahwa asuransi kooperatif termasuk transaksi pemberian derma dan tidak mengandung riba, baik riba fadhl maupun riba nasiah. Demikian pula tidak menjadi masalah ketidaktahuan penanam saham karena mereka berbuat derma sehingga tidak ada unsur bahaya, tipuan, dan judi.
Konvensi fiqh islami dibawah organisasi konferensi islami juga membolehkannya. Keputusannya adalah “sesungguhnya transaksi kompensasi yang sesuai dengan transaksi islam adalah transaksi asuransi yang didasrakan kepada asas pemberian derma dan tolong menolong”.
Pembolehan asuransi kooperatif juga disampaikan dalam konvensi fiqh islami dibawah rabithah al-a’lam al-islami dalam pertemuan perdana pada bulan Sya’ban 1398 H di Mekkah.


2.      Asuransi perusahaan
Mayoritas ulama sepakat bahwa asuransi perusahaan tidak diperbolehkan. Majelis ulama tinggi Saudi mengeluarkan keputusan nomor (55) tanggal 4/4/1397 H bahwa asuransi perusahaan tidak diperbolehkan. Dalam pertimbangan-pertimbangan keputusan disebutkan bahwa asuransi perusahaan termasuk transaksi tukar menukar harta yang mengandung penipuan yang keji, termasuk jenis perjudian, dan ternasuk pertaruhan yang diharamkan.
Konvensi fiqh islami dibawah Rabithah al-a’lam al-islami pada pertemuan perdana yang dilaksanakan di Mekkah memutuskan haramnya asuransi perusahaan dalam berbagai bentuknya, baik asuransi jiwa, komoditi atau lainnya. Dalam pertimbangan-pertimbangan keputusannya mendukung keputusan majelis ulama tinggi Saudi : “bahwa transakai asuransi perusahaan mengandug riba fadhl dan nasiah, dan didalamnya terdapat praktek pengambilan harta orang lain tanpa kompensasi.”
Konvensi fiqh islami dibawah organisasi konferensi islami memutuskan bahwa asuransi perusahaan hkukmnya haram. Disebutkan dalam keputusannya nomor (9/2): “bahwa transaksi asuransi perusahaan, yang mempunyai premi tetap yang ditransaksikan oleh anggota asuransi perusahaan, adalah transaksi yang mengandung penipuan besar, maka hukumnya secara syar’i. wallahu a’alam”










PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Wadi’ah adalah  pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga hartanya tanpa kompensasi(ganti).sedangkan hukum menitipkan dan menerima titipan hukumnya boleh bahkan disunahkan bagi orang yang dipercaya dan mengetahui bahwa dirinya mampu menjaga barang titipan tersebut.dasarnya adalah al-qur’an,hadits dan ijma’.transaksi wadi’ah adalah  boleh bagi dua pihak yang keduanya boleh membatalkannya.
Wadi’ah berakhir jika salah satu pihak meninggal dunia atau gila. Dalam kondisi seperti ini, wadi’ah harus dikembalikan kepada pemiliknya.

B.     SARAN-SARAN
Dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena penyusun masih dalam tahap pengenalan materi. Untuk dapat memahami materi tersebut, perlu banyak referensi agar pengaplikasiannya sesuai dengan apa yang disyari’atkan dalam Islam.














DAFTAR PUSTAKA

A. Zainuddin, Muhammad Jambari. Al-Islam 2 Muamalah dan Akhlaq. Pustaka Setia.
Ath-thayyar, Abdullah bin Muhammad, dkk. 2009. Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam 4 Madzhab. Maktabah al-hanif.
Hasan, Ali. 2004. Berbagai Transaksi Dalam Islam. Raja grafindo persada.




[1] Abdullah bin muhammad ath-thayyar, dkk. Ensiklopedi fiqih muamalah dalam 4 madzhab. Maktabah al-hanif.2009. hlm: 391
[2] Ali hasan. Berbagai transaksi dalam islam. Raja grafindo persada. 2004. 245
[3] Ibid. Hlm: 246
[4] Op.cit.hlm: 341
[5] A. Zainuddin, muhammad jambari. Al-islam 2 muamalah dan akhlaq. Pustaka setia. Hlm: 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar