BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
telah datang dengan kesempurnaannya untuk mengarahkan manusia dari perbuatan –
perbuatan yang tidak manusiawi, salah satu aturan yang
telah diatur dalam berkehidupan adalah tata cara bertamu,
kepedulian dan penghargaan harga diri manusia sangat disanjung tinggi guna
memperoleh ikatan batin dan anggapan sebagai manusia yang memanusiakan manusia,
dan itu tidak semata-mata hanya berharap balasan apa-apa kecuali apa yang sudah
dijanjikan Allah kepada orang-orang yang berbuat baik pada sesama manusia. Kadang
masih dibutuhkan legitimasi keberagamaan kita dengan munculnyaberbagai
permasalahan yang komplek dan baru seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin global dan instant.
Inilah
salah satu alasan mengapa al-qur’an turun dengan tidak memerinci setiap undang
– undang berkehidupan namun secara universal setiap permasalahan dituturkan
dengan begitu lugasnya. Dengan begitu justru umat islam dituntut untuk bisa
menginterpretasi setiap permasalahan yang muncul tiba-tiba dan membutuhkan
refleksi baru dari pemaknaan al-qur’an alkarim tersebut. Segala sesuatu yang
berujung baik maka akan bermakna baik jika standard kebaikan itu masih dipegan
erat oleh muslimin dan tidak bergeser maknanya dalam kejahatan dan kedzaliman.
Penulis
berharap bahwa makalah yang berjudul etika bertamu dalam
masyarakat Islam ini bisa dijadikan tolak ukur bagi prilaku
muslim saat mereka bertandang atau bertamu supaya membawa berkah
dan keridhoan Allah yang maha kuasa.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana
etika dalam bertamu dalam Islam ?
2.
Bagaimana
etika seorang tuan rumah yang baik menurut Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna
dan Tujuan Bertamu
Bertamu
berarti pertemuan dua orang atau lebih pada satu tempat, seperti rumah, kantor,
gedung dan sebagainya.[1]
Bertamu dalah berkunjung ke rumah orang lain dalam rangka mempererat
silahturrahim. Maksud orang lain disini bisa tetangga, saudara (sanak
famili), teman sekantor, teman seprofesi, dan sebagainya. Bertamu tentu ada
maksud dan tujuannya, antara lain menjenguk yang sedang sakit, ngobrol-ngobrol
biasa, membicarakan bisnis, membicarakan masalah keluarga, dan sebagainya.
Tujuan
utama bertamu menurut islam adalah menyambung persaudaraan atau silaturrahim.[2]
Silaturrahim tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara
seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang
tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain.
Mempererat
tali sillaturahim baik dengan tetangga, sanak keluarga, maupun teman sejawat
merupakan perintah agama Islam agar senantiasa membina kasih sayang, hidup
rukun, tolong menolong, dan saling membantu antara yang kaya dengan yang
miskin.
Silahturahim
tidak saja menghubungkan tali persaudaraan, tetapi juga akan banyak menambah
wawasan ataupun pengalaman karena bisa saja pada saat berinteraksi terjadi
pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan masalah-masalah perdagangan baru
tentang bagaimana caranya mendapatkan rezeki, dan sebagainya.
Apabila
manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan,
maka ikatan sosial masyarakat akan berantakan, kerusakan menyebar di setiap
tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga
setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga
tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan
kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisa’ : 1)[3]
Bertamu
adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang dianjurkan oleh
Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam bertamu. Tata krama dalam
bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai. Apabila tata
krama ini dilanggar maka tujuan bertamu justru akan menjadi rusak, yakni merenggangnya
hubungan persaudaraan. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu
jangan bertamu pada tiga waktu aurat.
Yang
dimaksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’, dan
sebelum subuh. Allah SWT berfirman:

Artinya: “hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada
kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang
Isya’.(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula)
atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu
(ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS An
Nur : 58)[4]
Ketiga
waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena waktu-waktu itu biasanya
digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya mengenakan pakaian yang
sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian dari auratnya terbuka.
Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan meminta izin bila akan masuk
ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang bertamu. Bertamu pada waktu-waktu
tersebut tidak mustahil justru akan menyusahkan tuan rumah yang hendak
istirahat, karena terpaksa harus berpakaian rapi lagi untuk menerima kedatangan
tamunya.
B.
Etika
Bertamu
Bahwa
seorang yang hendak bertamu kepada orang lain, tidak sewenang-wenangnya
seenaknya sendiri, bahwa tingkah laku kita mencerminkan suatu nilai dalam
kehidupan kita, maka ada beberapa etika bertamu sebagai berikut :[5]
1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya
memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang
menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, من
دعى فليجب
“Barangsiapa yang diundang
maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
من ترك
الدعوة فقد عصى الله
ورسوله
“Barang siapa yang
tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR.Bukhari).
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan
syarat-syarat berikut:
Orang yang mengundang bukan orang yang harus
dihindari dan dijauhi.Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.Orang
yang mengundang adalah muslim.Penghasilan orang yang mengundang bukan dari
penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh
menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasilan haram.
Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi
yang diundang. Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri
undangan tersebut. Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang
mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda
hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang
tergantung niatnya.” (HR. Bukhari).
4. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu memilih waktu yang tepat
untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan
perasaan yang kurang enak bagi tuan rumah bahkan terkadang mengganggunya.
Dikatakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu
malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (HR. al-Bukhari no. 1706 dan Muslim no. 1928)
5. Mengetuk pintu rumah penamu[6]
Tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya orang
di dalam rumah. Ketentuan mengetuk pintu bagi seorang tamu ialah sebagai
berikut :
a. Tidak boleh dilakukan secara keras-keras yang
dapat mengganggu ketenangan tuan rumah.
b. Tidak boleh lebih dari tiga kali dan setiap
tiga kali ketuk. Apabila sudah dilakukan tiga kali dan tuan rumah belum muncul,
hendaklah ia pergi meninggalkan rumah itu. Sikap seperti itu telah dianjurkan
Rasul dalam sabdanya yang bermakna :
“Dari Abu Musa al-As’ary dari Nabi SAW
berkata : “Apabila salah seorang kamu meminta izin (masuk ke rumah orang lain)
sampai tiga kali dan tidak ada izin baginya, maka hendaklah ia pulang”.
(H.R.Bukhori)
6. Jangan mengintip ke dalam rumah[7]
Mengintip
ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran apakah ada orang di
dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat mencela perbuatan ini dan memberi ancaman kepada para pengintip,
sebagaimana dalam sabdanya,
“Dari Sahal bin Saad ia berkata: Ada seorang lelaki
mengintip dari sebuh lubang pintu rumah Rasulullah SAW dan pada waktu itu
beliau sedang menyisir rambutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku tahu
engkau mengintip, niscaya aku colok matamu. Sesungguhnya Allah
memerintahkanuntuk meminta izin itu adalah karena untuk menjaga pandangan
mata.” (HR Bukhari)
7. Meminta izin sebelum memasuki
rumah[8]
Dalam hal ini (memberi salam
dan minta izin), sesuai dengan poin pertama, maka batasannya adalah tiga kali.
Maksudnya adalah, jika kita telah memberi salam tiga kali namun tidak ada
jawaban atau tidak diizinkan, maka itu berarti kita harus menunda kunjungan
kita kali itu. Adapun ketika salam kita telah dijawab, bukan berarti kita dapat
membuka pintu kemudian masuk begitu saja atau jika pintu telah terbuka, bukan
berarti kita dapat langsung masuk. Mintalah izin untuk masuk dan tunggulah izin
dari sang pemilik rumah untuk memasuki rumahnya. Hal ini disebabkan, sangat
dimungkinkan jika seseorang langsung masuk, maka ‘aib atau hal yang
tidak diinginkan untuk dilihat belum sempat ditutupi oleh sang pemilik rumah.
“jika kamu tidak
menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin. dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu
kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS An Nur : 28).
Hadis Riwayat Abu
Musa Al-Asy’ary ra, dia berkata: “Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk rumah
itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka
pulanglah!’” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Bertamu
dengan memakai pakaian yang pantas berarti menghormati tuan rumah dan dirinya
sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh tuan
rumah, demikian pula sebaliknya. Firman Allah,
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi
dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu
sendiri….” (QS. Al Isra : 7)
9. Membacakan salam
Setelah
tuan rumah mempersilahkan masuk maka tamu tersebut masuk dengan membacakan
salam untuk semua penghuni rumah, dan diikuti dengan berjabat tangan.[10]
10. Memperkenalkan diri sebelum
masuk
Apabila
tuan rumah belum tahu/belum kenal, hendaknya tamu memperkenalkan diri secara
jelas, terutama jika bertamu pada malam hari. Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
“dari Jabir ra Ia berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu aku
mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “Siapakah itu?” Aku menjawab:
“Saya” Beliau bersabda: “Saya, saya…!” seakan-akan beliau marah” (HR
Bukhari)
11. Tamu lelaki dilarang masuk
kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
Dalam hal ini, perempuan
yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak memberi izin masuk tamunya.
Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah sedangkan ia hanya seorang diri sama
halnya mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tamu cukup
ditemui diluar saja.
12. Masuk dan duduk dengan sopan
Setelah tuan rumah
mempersilahkan untuk masuk, hendajnya tamu masuk dan duduk dengan sopan di
tempat duduk yang telah disediakan. Tamu hendaknya membatasi diri, tidak
memandang kemana-mana secara bebas. Pandangan yang tidak dibatasi (terutama
bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu dapat
dinilai sebagai orang yang tidak sopan, bahkan dapat pula dikira sebagai orang
jahat yang mencari-cari kesempatan. Apabila tamu tertarik kepada sesuatu (hiasan
dinding misalnya), lebih ia berterus terang kepada tuan rumah bahwa ia tertarik
dan ingin memperhatikannya.
13. Menerima jamuan tuan rumah
dengan senang hati
Apabila tuan rumah
memberikan jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan tersebut dengan senang hati,
tidak menampakkan sikap tidak senang terhadap jamuan itu. Jika sekiranya tidak
suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berterus terang bahwa dirinya tidak
terbiasa menikmati makanan atau minuman seperti itu. Jika tuan rumah telah
mempersilahkan untuk menikmati, tamu sebaiknya segera menikmatinya, tidak usah
menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya. Mulailah makan
dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah
Rasulullah bersabda, “Jika
seseorang diantara kamu hendak makan maka sebutlah nama Allah, jika lupa
menyebut nama Allah pada awalnya, hendaklah membaca: Bismillahi awwaluhu
waakhiruhu.” ( HR Abu Daud dan Turmudzi)
14. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk
menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak
menolak tempat duduk yang telah disediakan.[11]
15. Makanlah dengan tangan kanan,
ambilah yang terdekat dan jangan memilih
Islam telah memberi
tuntunan bahwa makan dan minum hendaknya dilakukan dengan tangan kanan, tidak
sopan dengan tangan kiri (kecuali tangan kanan berhalangan). Cara seperti ini
tidak hanya dilakukan saat bertamu saja. Mkelainkan dalam berbagai suasana,
baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain
16. Bersihkan piring, jangan
biarkan sisa makanan berceceran
Sementara ada orang yang
merasa malu apabila piring yang habis digunakan untuk makan tampak bersih,
tidak ada makann yang tersisa padanya. Mereka khawatir dinilai terlalu lahap.
Islam memberi tuntunan yang lebih bagus, tidak sekedar mengikuti perasaan
manusia yang terkadang keliru. Tamu yang menggunakan piring untuk menikmati
hidangan tuan rumah, hendaknya piring tersebut bersih dari sisa makanan. Tidak
perlu menyisakan makanan pada pring yang bekas dipakainya yang terkadang
menimbulkan rasa jijik bagi yang melihatnya.
17. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap
disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada
muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk
menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:اد دعى
احدكم فليجب فان كان صائما فليصل وان كان مفطرا فليطعم
‘’Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah!
Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim).
18. Segeralah pulang setelah
selesai urusan[12]
Kesempatan bertamu dapat
digunakan untuk membicarakan berbagai permasalahan hidup. Namun demikian,
pembicaraan harus dibatasi tentang permasalahan yang penting saja, sesuai
tujuan berkunjung. Hendaknya dihindari pembicraan yang tidak ada ujung
pangkalnya, terlebih membicarakan orang lain. Tamu yang bijaksana tidak suka
memperpanjang waktu kunjungannya, ia tanggap terhadap sikap tuan rumah. Apabila
tuan rumah tekah memperhatikan jam, hendaknya tamu segera pamit karena mungkin
sekali tuan rumah akan segera pergi atau mengurus masalah lain. Apabila tuan
ruamh menghendaki tamunya untuk tetap tinggal dahulu, hendaknya tamu
pandai-pandai membaca situasi, apakah permintaan itu sungguh-sungguh atau hanya
sekadar pemanis suasana. Apabila permintaan itu sungguh-sungguh maka tiada
salah jika tamu memperpanjang masa kunjungannya sesuai batas kewajaran.
19. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu
pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan
memaafkan segala kekurangan tuan rumah.[13]
20. Lama Waktu Bertamu Maksimal
Tiga Hari Tiga Malam
Terhadap tamu yang jauh
tempat tinggalnya, Islam memberi kelonggaran bertamu selama tiga hari tiga
malam. Waktu twersebut dikatakan sebagai hak bertamu. Setelah waktu itu berlalu
maka habislah hak untuk bertamu, kecuali jika tuan rumah menghendakinya. Dengan
pembatasan waktu tiga hari tiga malam itu, beban tuan rumah tidak telampau
berat dalam menjamu tamunya.[14]
C.
Membiasakan
Akhlak Bertamu[15]
Bertamu
merupakan tradisi masyarakat yang selalu dilestarikan. Dengan bertamu seorang
bias menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja ama untuk meringankan
berbagai maalah yang dihadapi dalam kehidupan.adakalanya seorang bertamu karena
adanya urusan yang serius, mialnya untuk mencari solusi terhadap problema
masyarakat actual, sekedar bertandang, karena lama tidak ketemu (berjumpa)
ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertangang ke rumah kerabat atau
sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun ahabat dapat tersalurkan,
sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.
Tujuan
bertamu sudah barang udah barang tentu untuk menjalin persaudaraan ataupun
perahabatan. Sedangkan bertamu kepadea orang yang belum dikenal, memiliki
tujuan untuk saling memperkenalkan diri ataupun bermaksud lain yang belu
diketahui kedua belah pihak.
Bertamu
merupakan kebiaaan positif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional
sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiaaan kunjung mengunjungi, maka
segala persoalan mudah dilestarikan, segala urusan mudah diberskan dan segala
masalah mudah diatasi.
Al
Qur’an memberikan isyarat yang tegas, betapa pentingnya setiap orang yang
bertemu dapat nejaga diri agar tetap menghormati tuan rumah. Setiap tamu haru
berusaha menahan segala keinginan dan kehendaknya baiknya sekalipun, jika tuan
rumah tidak berkenan menerimanya. Demikin pula apabila kegiatan bertamu telah
uai, maka seorang yang bertamu telah usai, maka seorang yang bertamu harus
meninggalkan kesan yang beik dan menyenagkan bagi tuan rumah. Karena itu haram
hukumnya orang yang bertamu meninggalkan kekecewaan ataupun kesusahan bagi tuan
rumah.[16]
D.
Hikmah
- Bertamu secara baik dapat menumbuhkan sikap toleran terhadap oaring lain dan menjauhkan sikap pakaan, tekanan, dan intimidasi. Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam usaha meyakinkan orang lain terhadap tujuan dan maksud beik kedatangan, tetapi juga dalam tindak laku dan pergaulan dengan sesame manuia harus terhindar cara-cara pakaan dan kekerasan.
- Dengan bertamu seorang akan mempertemukan persamaan ataupun kesesuaian sehingga akan terjalin persahabatan dan kerjasama dalam menjalin kehidupan.
- Dengan bertamu, seorang akan melakukan diskui yang baik, sikap yang sportif, dan elegan terhadap seamanya.
- Bertamu dianggap sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah dan menciptakan kehidupan mesyarakat yang bermartabat.[17]
E.
Etika
menerima tamu
Tuan
rumah yang baik adalah yang memuliakan tamunya, dan sikap ini merupakan
cerminan iman seseorang.[18]
Adapun etika bagi tuan rumah sebagai berikut : [19]
1.
Ketika
mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan
orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,:
لا تصاحب
الا مؤمنا ولا ياءكل طعامك الا
تقي
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang
mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
2.
Tidak
mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,: شر
الطعام طعام الوليمة يدعى لها الا غنيآ,ويترك الفقرآ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang
kayanya diundang dan orang-orangmiskinnya ditinggalkan.”
(HR. Bukhari Muslim(
3.
Tidak
mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4.
Disunahkan
mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkandari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda,:مرحبا با لوفد الذين جاؤا غير خزايا ولالندمى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa
terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari).
5.
Menerima
tamu dengan sikap yang baik[20]
Tuan rumah hendaknya
menerima kedatangan tamu dengan sikap yang baik, misalnya dengan wajah yang
cerah, muka senyum dan sebagainya. Sekali-kali jangan acuh, apalagi memalingkan
muka dan tidak mau memandangnmya secara wajar. Memalingkan muka atau tidak
melihat kepada tamu berarti suatu sikap sombong yang harus dijauhi
sejauh-jauhnya.
6.
Menjamu
tamu sesuai kemampuan dan tidak perlu mengada-adakan
Termasuk salah satu cara
menghormati tamu ialah memberi jamuan kepadanya. Kewajiban menjamu tamu yang
ditentukan oleh Islam hanyalah sebatas kemampuan tuan rumah. Oleh sebab itu,
tuan rumah tidak perlu terlalu repot dalam menjamu tamunya. Bagi tuan rumah yang
mampu hendaknya menyediakan jamuan yang pantas, sedangkan bagi yang kurang
mampu henaknya menyesuaikan kesanggupannya. Jika hanya mampu memberikan air
putih maka air putih itulah yang disuguhkan. Apabila air putih tidak ada,
cukuplah menjamu tamunya dengan senyum dan sikap yang ramah
7.
Dalam
penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi
bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.Beliau diberi
gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam
menjamu tamu.[21]
8.
Jangan
mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
9.
Hendaknya
mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.[22]
Salah satu cara terpuji
yang dapat menyenangkan tamu adalah apabila tuan rumah mengantarkan tamunya
sampai ke pintu halaman. Tamu akan merasa lebih semangat karena merasa
dihormati tuan rumah dan kehadirannya diterima dengan baik.
10.
Lama
waktu[23]
Sesuai
dengan hak tamu, kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari, termasuk hari
istimewanya. Selebihnya dari waktu itu adalah sedekah baginya. Sabda
Rasulullah,
اَلضِّيَافَةُ
ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَالِكَ فَهُوَ صَدَقَةُ عَلَيْهِ (متفق
عليه)
“ Menghormati
tamu itu sampai tiga hari. Adapun selebihnya adalah merupakan sedekah baginya,.”
(HR Muttafaqu Alaihi)
11.
Wanita
yang sendirian di rumah dilarang menerima tamu laki-laki masuk ke dalam
rumahnya tanpa izin suaminya
Larangan ini bermaksud
untuk menjaga fitnah dan bahaya yang mungkin terjadi atas diri wanita tersebut.
Allah berfirman,
“… Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…”. (QS. An Nisa : 34)
Rasulullah
SAW bersabda;
اَلْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَ هِيَ
مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا (رواه احمد و البجارى و مسلم و ابو داود و الترمدى
و ابن عمر)
“ Wanita itu adalah (ibarat)
pengembala di rumah suaminya. Dia akan ditanya tentang pengembalaannya
(dimintai pertanggung jawaban).” (HR Ahmad, bukhari, Muslim, Abu Daud,
Turmudzi dan Ibnu Umar).
Oleh
sebab itu, tamu lelaki cukup ditemui diluar rumah saja, atau diminta datang
lagi (jika perlu) saat suaminya telah pulang bekerja. Membiarkan tamu lelaki
masuk ke dalam rumah padahal dia (wanita tersebut) hany seorang diri, sama saja
dengan membuka peluang besar akan timbulnya bahaya bagi diri sendiri. Bahaya
yang dimaksud dapat berupa hilangnya harta dan mungkin sekali akan timbul
fitnah yang mengancam kelestarian rumah tangganya.
F.
Membiasakan
Berakhlak Menerima Tamu[24]
Islam sebagai agama yang sangat
serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang bertamu. Sesungguhnya orang
yang bertau telah dijamun hak-haknya dalam islam.karena itu menghormati tamu merupakan
perhatian yang mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Setiap muslim wajib
memuliakan tamu, tanpa membeda-bedakan statu social ataupun maksud dan tujuan
bertamu.
Memuliakan tamu dilakukan
antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka menis dan tutur kata
yang lemah lembut, mempersilahkan duduk ditempat yang baik. Kalau perlu,
disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selau dijaga kerapian dan
kelestariannya.
Kalau tamu dating dari tempat
yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya mekimal
tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk
tetap menjamunyaatau tidak.Menurut Rasulullah saw menjamu tamu lebih dari tiga
hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
Menerima tamu merupakan bagian
dari aspek soial dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga. Menerima tamu
dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan menunjukkan kualitas
kepribadian seorang muslim. Setiap muslim harus membiasakan diri untuk
menyambut setiap tamu yang dating dengan penyambutan dengan suka cita.
Agar dapat menyambut tamu
dengan suka cita maka tuan rumah harua menghadirkan pikiran yang positif
(husnudon)terhadap tammu, jangan sampai kehadiran tamu disertai dengan
munculnya pikiran negative dari tuan rumah (su’udzon).
Apabila
suatu saat tuan rumah meraakan berat untuk menerima kehadirab tamunya, maka
tuan rumah haru tetap menunjukkan sikap yang arif dan bijak, jngan sampai
menyinggung perasaan tamu. Seyogyanya setiap muslim harus menunjukkan sikap
yang baik terhadap tamunya, mulai dari keramahan diri dalam menyambut tamu,
menyediakan sarana dan prasarana penyambutan yang memadai, serta memberikan
jamuan makan ataupun minuman yang memenui tamu.
G.
Hikmah
- Setiap muslim telah diikat oleh suetu tata aturan supaya hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang lain, sekalipun berbeda agama atau suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian yang mengikat di antara sesame manusia.
- Menerima tamu sebagai perwujudan keimanan, artinya semakin kuat iman seseorang, maka semakin ramah dan antun dalam menyambut tamunya karena orang yang beriman meyakini bahwa menyambut tamu bagian dari perintah Allah.
- Menyambut tamu dapat meningkatkan akhlak, mengembangkan kepribadian, dan tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendpatkan kemashalatan dunia ataupun akhirat.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Islam adalah agama yang sempurna, mengatur
manusia dalam segala aspeknya seperti bertamu serta menerima tamu tetap ada
aturannya dalam Islam. Bertamu
dapat menyambung tali silaturahmi, baik kepada siapapun. Ketika kita bertamu,
juga harus ingat aturan, karena kita bukan berada didalam rumah kita sendiri.
Menerima tamu juga hal yang mulia. Menerima tamu hukumnya wajib, kita wajib
menerima tamu apabila ia berada didalam rumah kita selama tiga hari. Apabila
tamu itu menginap dirumah kita lebih dari tiga hari, maka menerima ia dirumah
kita bukanlah wajib lagi. Kita berhak mengusir ia apabila mengganggu
ketentraman didalam rumah. Dan menjadi sedekah apabila kita tetap melayani ia
didalam rumah kita.
B. Saran
Didalam bertamu hendaklah kita menerapkan etika
bertamu. Karena dengan beretika kita dapat menghindari hal-hal yang tidak baik
dan tetap dapat menjaga akhlak yang mulai di dalam bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Syarifuddin. 1997. Mutiara Hadits. Jakarata : PT. LOGOS
Wacana Ilmu.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Hikmah
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro.
Khalaf, Abdul Wahab. 1996. ‘’Hadits-Hadits Nabi’’.
Bandung : Gema Risalah Perss.
Ritonga, Rahman. 2005. Akhlak
Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia. Surabaya : Amelia.
http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.45.
http://makalahfull.blogspot.com/2013/02/adab-bertamu.html,
diakses pada tanggal 24 Maret 2014 Pukul 15.00
http://warkopmbahlalar.com/3461/etika-bertamu-menurut-islam/
diakses pada tanggal 24 Maret pukul 14.00
[1] Rahman Ritonga, Akhlak
Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia, (Surabaya : Amelia, 2005), hlm.176
[2] Ibid., hlm. 176
[3] Departemen Agama RI, Al-Hikmah
Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Bandung : Diponegoro, 2005)
[4] Ibid.
[5]
Prof.Dr.Abdul Wahab Khalaf, ‘’Hadits-Hadits Nabi’’, (Bandung : Gema
Risalah Perss, 1996), hlm. 197.
[6] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 178.
[7] http://warkopmbahlalar.com/3461/etika-bertamu-menurut-islam/ diakses pada tanggal 24 Maret pukul 14.00
[8] Ibid, hlm. 179.
[9] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/, diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul.
14.45.
[10] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 180.
[11] Prof.Dr.Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 198.
[12] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 182.
[13] Prof.Dr.Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 198.
[14] http://makalahfull.blogspot.com/2013/02/adab-bertamu.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2014 Pukul
15.00
[15] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.15.
[16] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 176.
[17] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.15.
[18] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 183.
[19] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.00.
[20] Rahman Ritonga, Op. Cit.,
hlm. 184.
[21] Syarifuddin Amir, Mutiara Hadits, (Jakarata : PT. LOGOS
Wacana Ilmu, 1997), hlm.124.
[22] Ibid., hlm. 125.
[23] http://makalahfull.blogspot.com/2013/02/adab-bertamu.html,
diakses pada tanggal 24 Maret 2014 Pukul 15.00
[24] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.15.
[25] http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-bertamu-dan-menerima-tamu/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013 Pukul. 14.15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar