KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM PADA
ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
MAKALAH
Dosen Pengampu : Purnama Rozak, M.Si.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Individu
Mata Kuliah Pendidikan SPI di STIT Pemalang
Tahun akademik 2014/2015
Oleh :
Nama : Dinazad
NIM : 3120040
Semester : Lima (5B)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKA AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
ILMU TARBIYAH PEMALANG
TAHUN 2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
merupakan catatan yang berusaha merekonstruksi hari lampau yang harus di bahas
secara cermat dan jujur untuk mendapatkan fakta sejarah yang tersembunyi.
Karena dari pengalaman sejarah kita dapat bercermin dan mendapat I'tibar
dalam menata dan mengatur serta memperjuangkan Islam di masa kini dan
mendatang.
Penyebaran agama Islam di Indonesia melalui
berbagai jalur, baik dari jalur perdagangan maupun dari perkawinan. Dan
masuknya Islam di Indonesia terjadi sebelum orang-orang Barat mencari
rempah-rempah di Indonesia sekitar abad ke-13 M, dimana masyarakat muslim sudah
berada di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatra. Sampai berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi
menjadi 3 fase, dari singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan
Nusantara, adanya komunitas Islam dari beberapa daerah kepulauan Indonesia,
sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Sehingga
dapat tergambar bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan Nusantara,
Islam telah berkembang luas di wilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah
menjadi agama mayoritas masyarakat nusantara. Sejak abad ke-13 di Pulau
Sumatera telah berdiri kerajaan Islam yaitu kerajaan Samudra Pasai,
disusul kerajaan Aceh Darussalam, sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah
mampu menguasai wilayah Malaka (pusat perdagangan Asia Tenggara).
Pada
bulan April tahun 1595, empat armada kapal Belanda di bawah komando
Corniles De Houtman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa Barat
(pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596. Adapun tujuan mereka datang ke
Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari
rempah-rempah yang kemudian akan dijual di negara mereka. Keberhasilan orang
Belanda di bawah perintah De Houtman membuat orang Belanda makin tertarik untuk
mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di
bawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan
Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari
kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang
dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia
dari perluasan wilayah imperialis Portugis, menjadikan Belanda lebih mudah
menguasai perdagangan di Indonesia, sehingga pada tahun 1599 armada Belanda
kembali datang ke Indonesia di bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600
di bawah pimpinan van Neck.
Sebelum
datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia berbeda, ada yang mengalami perluasan daerah kekuasaan
seperti Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai ke-10 M., dan ada pula yang
kekuasaannya mengalami kegoncangan, seperti Kerajaaan Majapahit. Situasi itu
dapat berlangsung lama sampai abad ke-15. Di samping itu juga setelah datangnya
Belanda ke Indonesia sekitar abad ke-15, situasi dan kondisi
kerajaan-kerajaannya juga berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan
politik tetapi juga proses Islamisasi.
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang di atas maka pemakalah akan membuat rumusan masalah
sebagai berikut :
- Bagaimana situasi dan kondisi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang?
- Bagaimana latar belakang kedatangan VOC, Hindia-Belanda?
- Bagaimana penetrasi politik dan politik Islam Hindia-Belanda?
- Bagaimanakah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Belanda?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Situasi dan
Kondisi Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada
akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan
dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di
kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduk sudah memeluk Islam
sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru
saja berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan
Portugis, percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan
segitiga: Aceh, Portugis, dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan
Malaka Islam.[1]
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para
pedang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan
transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan
nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada,
yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat
kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 M menjadi daerah vasal dari Aceh.[2]
Selain itu ekspansi Aceh ketika itu berhasil
menguasai perdagangan pantai barat Sumatra. Ketika itu Aceh memang sedang
berada dalam masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Dan ketika
Sultan Iskandar Muda telah wafat kemudian di gantikan oleh Sultan Iskandar
Tsani. Menantunya yang liberal ini dapat mengembangkan Aceh dalam beberapa
tahun kedepan. Dengan lembut dan adil, Iskandar Tsani mendorong perkembangan
agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik. Pada masa ini,
pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Setelah ia meninggal dunia aceh secara
bedrturut-turut di pimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun (1641-1699 M).
Ketika itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Banyak wilayah taklukannya yang
lemah dan kesultanan pun terpecah-pecah.[3]
Dan kemudian kondisi negeri juga mulai mengalami penurunan disebabkan oleh
banyaknya peperangan dan krisis ekonomi. Karena peperangan yang terus-menerus
melawan Barat, yang menyebabkan penderitaan yang sangat berat bagi Aceh.
Akhirnya, negeri ini jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1322 H/ 1904 M.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari
pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.
Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat
menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya :
1.
Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas
basis agraris,
2.
Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan
pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan
3.
Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan
dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[4]
Pada
tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah didalam kekuasaan Mataram, yang
ketika itu di bawah Sultan Agung. Pada Masa pemerintahan Sultan Agung inilah
kontak-kontak bersenjata antar kerajaan Mataram dan VOC Mulai terjadi.
Meskipun
ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan
perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama
pengekspor beras, posisis Mataram dalam
jaringan perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.
Sementara
itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain
karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat
politik Mataram dan munculnya Makasar sebagai pusat perdagangan membuat
jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Kalau di
awal abat ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat Malaka, maka
diakhir abad itu menjadi Maluku - Makasar - Selat Sunda. Sehubungan dengan
perubahan itu Banten dan saingannya, Sunda Kelapa, Bertambah strategis.[5]
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan
Makasar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis. Adapun faktor-faktor
historis yang mempercepat perkembangan tersebut adalah :[6]
1.
Pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan
terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makasar.
2.
Arus migrasi Melayu bertambah besar setelah
Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan ke
Semenanjung Melayu.
3.
Blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh
pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur.
4.
Merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan
fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar.
5.
Usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah
di Maluku membuat Makasar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara
Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon
sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang
Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore
dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol,
namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.[7]
B.
Latar Belakang
Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda
Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia
menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya
raya, maka datanglah bangsa-bangsa Barat, diantaranya Portugis di tahun 1512 M,
kemudian disusul Spanyol pada tahun 1521 M, lalu Prancis pada tahun 1529 M, dan
Belanda tahun 1596 M, baru Inggris datang kemudian.
Maksud awal dari kedatangan mereka semua adalah
hendak berniaga di samping mengembangkan kristen, sebagai alat menanamkan
pengaruh dan kekuasaan, di samping itu juga untuk mengembangkan usaha
perdagangan yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa.
Namun olehnya mereka melakukan tekanan dan paksaan, sehingga Indonesia menjadi
jajahan bangsa barat (Belanda) tiga setengah abad lamanya.[8]
Karena melihat hasil yang diperoleh perseroan
Amsterdam, yang mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun
1595 M terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis De Houtman.
Menyusul kemudian angkatan kedua tahun 1598 M di bawah pimpinan Van Nede, Van
Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal
dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 M dibawah
pimpinan Van Der Hagen dan angkatan keempat tahun 1600 M dibawah pimpinan Van
Neck. Sehingga banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan
berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602 M, perseroan-perseroan ini
bergabung dan disahkan oleh Staten-General Republik dengan satu piagam
yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang,
berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan
Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC).[9]
Melihat isi piagam tersebut, jelas bahwa VOC,
disamping berdagang dan berlayar, juga diberi hak untuk melakukan
kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang uasaha perdagangannya. Boleh
jadi, hak politik itu diberikan karena hal yang sama juga berlaku bagi
negara-negara Eropa lainnya, seperti Portugis yang datang ke kepulauan
Indonesia hampir seabad sebelum Belanda. Sebelum itu, Belanda sudah berhasil
mendirikan faktotai di Aceh (1601 M), Patani (1601 M) dan Gresik (1602 M).
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai
Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk
membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang
melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka mendirikan benteng
tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi
mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil
membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal
merebut benteng Portugis di Tidore.[10]
Dalam
perjalanan selanjutnya VOC berhasil menguasai
perdagangan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berbagai jenis
rempah-rempah mereka monopoli. Para penduduk harus menjual hasil panen mereka
kepada VOC dengan harga yang telah ditentukan oleh mereka yang tentunya
sangat murah. VOC melarang penjualan rempah-rempah ke pihak lain.
Tindakan sewenang-wenang VOC ini tentunya telah terlebih dahulu mendapat izin
atau pengakuan oleh pengusa setempat.
VOC terlebih dahulu menguasai atau mengalahkan penguasa setempat
dengan cara apapun misalnya dengan politik adu domba. Mereka saling mengadu
domba para penguasa akibatnya mereka saling berperang dan VOC tampil
seolah-olah sebagai pahlawan atau pihak penengah yang membantu salah satu pihak
dan pada akhirya VOC mendesak diberikan imbalan misal imbalan memonopoli
perdagangan. Dengan persenjataan yang lebih modern VOC tak jarang melakukakan
penyerangan ke daerah tertentu. Walaupun melakukan perlawanan namun karena
kalah strategi dan persenjataan mereka harus menyerah dan menerima segala
persyaratan yang diajukan oleh VOC.
Dalam
usaha mengembangkan usaha perdagangannya, VOC nampak ingin melakukan monopoli.
Karena itu, aktivitas ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan
perlawanan pedagang-pedagang pribumi karena merasa terancam.[11]
Pada tahun 1798 M, VOC dibubarkan dengan saldo
kerugian sebesar 134,7 juta golden. Sebelumnya pada tahun 1795 M izin
operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak
cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam
pengumpulan bahan-bahan / hasil tanaman penduduk menimbulkan kemeresotan moril
baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18
secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan
Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942 M dan hanya diinterupsi pemerintahan
Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816 M. Sampai pada tahun 1811 M,
pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan
pada tahun 1816 M, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi
keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah
ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun
1830 M, pemerintahan Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah
terusan Suez dibuka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah
menerapkan politik liberal di Indonesia.[12]
C.
Penetrasi
Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda
1.
Penetrasi
Politik Belanda
VOC
sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah belanda untuk melakukan
kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia.
Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta
hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai wilayah mengadakan perjanjian
politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju VOC, melakukan
politik ekspansi. Dengan kata lain abad ke 17 dan 18 adalah priode ekspansi dan
monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke 18
ekspansi di wilayah iniberhasil di Jawa.
Sejak
awal Belanda melihat bahwa dalam jaringan perdagangan di Indonesia bagian barat,
kedudukan Malaka, Johor, dan Banten adalah sangat penting. Mereka berpendapat,
pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya, mereka memilih Jakarta,
daerah yang paling lemah, sebagai basis kegiatannya.
Sultan
Agung sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah ancaman. Pada tahun 1628
dan 1629, Mataram dua kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal.
Masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat
II (1677-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati
Madura,dan pemberontakan Kajoran.[13]
Hubungan
Belanda dengan Banten menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta
tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya menghalangi
usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal
Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua
pelah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang di angkat menjadi
Sultan Muda tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang
memusuhi Belanda. Ia ingin mengadakan hubungan baik dengan orang Barat ini.
Pada 27 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Surosowan.[14]
Penetrasi Belanda dalam dunia politik
seringkali justru diundang oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan
atau konflik antar kerajaan di Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat konflik
dalam negeri antara Gowa-Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu memonopoli
di Makasar maupun di Indonesia bagian timur.
Ketika
terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan
Hasanuddin, mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan
mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makasar. Dalam pertempuran
antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis
kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makasar. VOC
mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang itu, persekutuan Soppeng
dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam peperangan
melawan Makasar. Dalam peperangan itu Makasar mengalami kekalahan. Konfrontasi
antara Makasar dan VOC baru berakhir setelah diadakan genjatan pada tanggal 6
November 1667.[15]
Selanjutnya penetrasi politik Belanda terjadi
di Banjarmasin. Pada mulanya Belanda datang pada abad ke-17, dengan susah payah
mendapat izin untuk berdagang di situ, namun diusir beberapa kali.
Akhirnya Belanda mendapat izin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan
oleh Pangeran Amir dan Pangeran Nata, yang mana dimenangkan Pangeran Nata
dengan bantuan Belanda, membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan
akhirnya secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik di
Banjarmasin.
Di samping itu juga Indonesia terjadi konflik
intern, sehingga seperti bola dalam keranjang yang mudah dipermainkan oleh
penjajah. Dan itu terjadi karena politik pecah belah penjajah itu. Ini semua
mempengaruhi ajaran agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari
hari ke hari menjadi kecil dan lemah.[16]
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan
menggunakan berbagai strategi sejak tahun 1663 M. Panglima Aceh yang
berkedudukan di Minangkabau dan raja Minangkabau diberi kredit dalam
transaksinya. VOC menuntut jabatan wali negara ditempatkan di sana dan secara de
facto berarti kekuasaan ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat
mengadakan kontrak dengan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan
Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik antara Minangkabau dan Aceh terputus.[17]
2.
Politik Islam
Hindia-Belanda
Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Agama
Islam secara terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus
membebaskan diri dari cengkraman pemerintah kafir. Perlawanan dari raja-raja Islam
terhadap pemerintahan kolonial bagai tak pernah henti. Padam di suatu tempat
muncul di tempat lain. Belanda menyadari bahwa perlawana itu di inspirasi oleh
ajaran Islam.[18]
Oleh
karena itu, agam Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring
dengan itu, di sana juga di selenggarakan indologie, ilmu untuk
mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk
mengukuhkan kekuasan Belanda di Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah
apa yang di kenal dengan "politik Islam". Tokoh utama dan peletak
dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia antara tahun
1889 dan 1906.
Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje,
politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan
sikap tidak mau mencampuri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
mereka secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut kepada
ungkapan-ungkapan apa yang disebut dengan fanatisme Islam sehingga mereka
berusaha menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan
mengenai Islam.
Kedatangan Snouck Hurgronje, seorang yang
sangat ahli tentang Islam. Snouck sendiri membuat sebuah teori yang disebut
dengan “Islam politiek” dengan dalih “asosiasi”. Snouck H bukan saja bertindak
sebagai seorang ilmuwan, tetapi juga selaku ilmuwan yang mengabdikan ilmunya
untuk kepentingan politik kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satu
pengabdiannya yang terpenting adalah membebaskan orang Indonesia dari Islam.[19]
Berdasarkan
analisisnya, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yang satu Islam religius
dan yang lain Islam politik terhadap masalah agama, pemerintah Belanda disarankan
agar bersikap toleran yang dijabarkan di dalam sikap netral terhadap kehidupan
keagamaan.
Asosiasi lebih memperlihatkan corak kolonial.
Ia mengandung maksud bagaimana mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah.
Dalam hubungan ini kebudayaan dianggap sebagai sarana yang sangat efektif,
manfaat kebudayaan negeri penjajah akan terbuka untuk dipergunakan oleh negeri
yang dijajah tanpa mengabaikan kebudayaan negeri yang dijajah ini.
Dengan politik itu Snouck membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Bidang agama murni atau ibadah
Terhadap bidang agama murni pemerintah kolonial
memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.
Bidang sosial kemasyarakatan
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah
teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie
yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan
dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
c.
Bidang politik
Pemerintah melarang orang Islam membahas hukum
Islam baik dari al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.[20]
Dalam
rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga
pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan bangsawan. Mereka
harus di tarik ke arah westernisasi.
Analisa
Snouck Hurgronje tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur
agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan perkembangan situasi, terutam 20
tahun terahir kekuasaan belanda di Indonesia. Oleh karena itu, peranan politik kantoor
voor islandsche zaken semakin menghilang pada tahun-tahun terakhir,
meskipun wewenangnya mengawasi gerakan politik lebih dipertegas sejak tahun
1931. Kantoor ini memang harus menjamin kelangsungan pemerintah Hindia
Belanda.[21]
D.
Perlawanan Terhadap
Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat
perlawanan sengit dari rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka
mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda karena bangsa Indonesia merasa
dijajah dan diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut tidak
hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga karena motif agama. Penjajah
Belanda di samping ingin menguasai Indonesia, juga menyebarkan agama mereka,
yaitu Kristenisasi terhadap penduduk pribumi. Akibatnya rakyat dan bangsa
Indonesia dihampir semua wilayah mengadakan perlawanan terhadap penjajahan
Belanda.
Di samping itu perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap penjajahan juga berlangsung terus-menerus di satu wilayah dan wilayah
yang lainnya.[22]
Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai
berikut:
1.
Perang Padri di
Minangkabau
Perang melawan
kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua pihak
dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan padri yang di mulai pada awal
abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, membasmi adat
dan kebiasaan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Perkembangan
yang kemudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk
yaitu menyabung ayam, berjudi dan minum-minuman keras. Kebiasaan ini makin
meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya.
Menghadapi
keadaan ini kaum ulama/padri mulai mengadakan reaksi, sehingga gerakannya
dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ini memperbaiki keadaan masyarakat
dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni, sejak itu timbul
bibit-bibit pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat.[23]
Pusat kekuasaan
Minangkabau adalah Pagaruyung, tetapi raja hanya berfungsi sebagai lambang.
Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan penghulu adat. Walaupun Islam sudah
masuk sejak abad ke-16, tetapi proses sinkretisme berlangsung lama.
Pemurnian Islam di mulai oleh Tuanku Koto Tuo dengan pendekatan damai. Tetapi,
pendekatan itu tidak di terima oleh murid-muridnya yang lebih radikal, terutama
Tuanku Nan Renceh, seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di
daerah Luhak Agam.[24]
Pada akhir abad
ke-18, seorang ulama dari kampung Kuta Tuo yaitu Tuanku Koto Tuo mulai
mengajarkan pembaharuan-pembaharuan. Beliau mengajarkan bahwa masyarakat sudah
terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kemudian ditunjukkannya
bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sementara itu, pada
tahun 1803 telah kembali dari Makkah tiga orang haji, yakni Haji Miskin, Pandai
Sikat, dan Haji Sumanik, dari delapan kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar.
Ketiga ulama ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Makkah
meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula
agama di negerinya Minangkabau.[25]
Di antara
kedudukan kaum padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan benteng yang
cukup besar, di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan 3 gubug kecil.
Ketika Datuk
Bandoro meninggal karena terkena racun. Ia digantikan oleh Muhammad Syahab atau
Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku
Imam Bonjol yang lahir pada tahun 1774 adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari
kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah lembah Alahan Panjang.
Perang saudara
ini meluas terus dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan
asing mulai campur tangan. Kemudian kaum adat ini minta bantuan kepada Belanda.[26]
Pada tanggal 10
Februari 1821, Residen Do Puy beserta Tuanku Suruaso (pemerintah dari Belanda)
dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar
perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah
Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri akan tetapi lebih
banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada tanggal 18 Februari 1821,
Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan 100 orang tentara.
Sejak itu dimulailah perang padri melawan Belanda. Peranan kaum adat sebagai
musuh utama kaum padri digantikan oleh Belanda. Kaum padri menghadap Belanda
yang mempunyai sistem persenjataan yang modern serta personel yang terlatih.
Peperangan ini
dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825,
ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa
kedua antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran
karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum padri yang
mulai melemah. Ketika itu pihak Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada perang
Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan
perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran.
Kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri.
Kaum Padri
mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap
pasukan patroli mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi sasaran penyerangan
kaum Padri dalam bulan September 1821 M.[27]
Baru pada akhir
tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang Bonjol. Setelah
jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh
Belanda. Pada akhir september 1834 pasukan Belanda menyiapkan pasukan
besar untuk mulai menyerang Bonjol. Pada tanggal 11 Mei 1835 benteng Padri di
sebuah bukit dekat Bonjol juga telah diduduki pasukan Belanda.
Pada tanggal 10
Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi untuk mengadakan
perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu gagal. Sehingga
menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Dalam
pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan
Belanda di luar Benteng Bonjol. Tembak-menembak terjadi antara pasukan Belanda
di luar benteng dan pasukan padri di dalam benteng. Akhirnya benteng Bonjol
yang dipatahkan oleh kaum padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh
pasukan Belanda. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada
tanggal 25 Oktober 1837 dan merupakan pukulan berat bagi penawanan kaum padri
pada umumnya. Kaum padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang
di hutan-hutan.
Tuanku Imam
Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 19 Januari 1839
dibuang ke Ambon pada tahun 1841 dipindahkan ke Menado, dan meninggal disana
pada tanggal 6 Nopember 1864.[28]
2.
Perang
Diponegoro
Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga
perang Diponegoro atau Perang Jawa, karena meletus di hampir seluruh daerah di
Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia
Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang
menjadi pemimpin peperangan ini adalah Putra Sultan Hamengku Buwono III dari
selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro.
Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan
tata pemerintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam
negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar bangsawan.
Kericuhan istana, perebutan tahta, perang antara bangsawan merupakan gejala
kronis dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke-18.
Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai
akibat hubungan dengan kekuasaan itu, ialah makin meluasnya peredaran minuman
keras baik dikalangan bangsawan maupun rakyat umum. Gejala umum ini oleh golongan
agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama Islam. Golongan
bangsawan yang taat menjalankan syariat agama, diantaranya termasuk Pangeran
Diponegoro, menyaksikan gejala tersebut dengan kekhawatiran.
Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang
dalam bidang politik banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah sebab utama
mengapa Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo dari pada di istana. Di
tempat ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan
tentang adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian.[29]
Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan
tujuan perlawanan terhadap Belanda, para pejabat dan agen Belanda; pertama, untuk
mencapai cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan agama Islam. Kedua,
mengembalikan keluhuran adat Jawa, yang bersih dari pengaruh barat.
Tekat yang luhur itu memantapkan hati para pengikutnya untuk memulai peperangan
besar melawan Belanda.[30]
Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan
pasang surut. Banyak korban berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda
memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak
tentara Pangeran Diponegara. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri
Belanda sekitar 3000 orang.
Pada waktu merayakan idul fitri 28 Maret 1830,
Pangeran Diponegoro diundang ke rumah residen untuk melanjutkan perundingan.
Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar diberi kebebasan
untuk mendirikan negara yang merdeka yang bersendikan Islam. Akhirnya Ia
ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian di buang ke Manado
pada 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Ujung Pandang, Makasar. Di
pengasingan terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1855
dalam usia kurang lebih 70 tahun.[31]
Walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama
telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan atas nama
Islam telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial.
3.
Perang
Banjarmasin
Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan,
di wilayah Kerajaan Banjar berlangsung hampir setengah abad lamanya. Perang
Banjar berlangsung antara tahun 1854-1864 M, berawal dari ketidaksenangan
rakyat Banjar terhadap tindakan campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan
intern kerajaan. Ketidaksenangan itu memuncak saat pemerintah mengakui Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Sultan baru itu tidak disenangi rakyat.[32]
Di kalangan rakyat terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak.
Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja-wajib untuk kepentingan golongan yang
berkuasa. Ketidaksenangan itu juga disebabkan karena Pangeran Tamjid adalah
anak Sultan Muda dengan Nyai Aminah. Ia amat dibenci baik oleh golongan kraton
maupun rakyat. Kebiasaan mabuk menyebabkan ia dimusuhi oleh golongan agama.[33]
Dan juga menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya.
Akibatnya timbul kericuhan di dalam wilayah kerajaan Banjarmasin. Melihat
kericuhan yang terjadi, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk
mengambil keuntungan yang lebih besar. Colonel Andresen sengaja didatangkan
dari Batavia (Jakarta) untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen
berkesimpulan bahwa Pangeran Tamjid adalah sumber kericuhan tersebut. Ia
kemudian diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.[34]
Pengambil alihan kekuasaan itu mengalihkan
penentangan rakyat yang semua diarahkan kepada sultan Tamjidillah, kini
ditunjukan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itulah perang
Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di
daerah-daerah yang di pimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun
pasukan sebanyak 3600 orang yang menyerbu pos-pos Belanda. Ia di dukung oleh
pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat sendiri berbelot kepada Pangeran
Antasari untuk bersama-sama berperang melawan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut banyak pasukan
Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang dilakukan Antasari sangat menyulitkan
pasukan Belanda. Namun akhirnya beberapa pembesar kerajaan yang melawan Belanda
satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat sendiri
tertangkap dan di buang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran
Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari memproklamasikan suatu
pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas dan merdeka, pengganti kerajaan
Banjarmasin yang dirampas Belanda. Ketika itu diumumkan pengangkatan raja baru
yaitu Pangeran Antasari sendiri, dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin. Ibu kota sementara di tetapkan di Teweh, yang ketika itu merupakan
markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi
Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada tanggal 11 Oktober 1862, ia wafat di
Hulu Teweh. Kemudian ia digantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman.
Perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh
sebagai syahid dalam medan pertempuran.[35]
4.
Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara
tahun 1837-1904. Belanda memang membutuhkan waktu lama untuk memadamkan perang
itu, mengingat perang ini melibatkan seluruh rakyat Aceh.
Diantara perlawanan-perlawanan besar yang
terjadi di daerah-daerah di Indonesia dalam abad ke-19, perlawanan di Aceh
termasuk yang paling berat dan terlama bagi Belanda.
Pada tanggal 17 maret 1824, sebuah persetujuan
antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan
Semenanjung Malaya di tandatangani. Isinya antara lain, bahwa setelah
memperoleh kembali jajahan yang selama perang direbut oleh Inggris, Belanda
tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Aceh tetap merdeka dan
bebas menjalankan politik dalam berkembang. Tampaknya jaminan untuk
mempertahankan kemerdekaan Aceh hanyalah bersifat politik saja.[36]
Dorongan untuk menguasai Aceh semakin kuat sejak dibukanya Terusan Suez.
Setelah Terusan Suez dibuka pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena
berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan
kapitalisme memuncak dan negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan
baru.[37]
Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah
kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda. Dicantum di dalamnya kebebasan
perdagangan dan larangan perdagangan budak dan perampokan. Pada tanggal 2
November 1871, Inggris dan Belanda bersepakat menandatangani Traktat Sumatra.
Berdasarkan perjanjian tersebut pihak Belanda diberi kebebasan memperluas
daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di
daerah Siak.
Traktat itu memberi keluasaan kepada Belanda
untuk meneruskan agresinya. Diplomasi Aceh untuk melawannya, antara lain lewat
hubungan dengan wakil Itali dan Amerika serikat, tidak berhasil. Setelah
ultimatum tidak ditanggapi, pemakluman terhadap Aceh dinyatakan pada tanggal 26
Maret 1873.[38]
Itulah awal perang Aceh yang menurut waktu dan
ruang tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial.
Perang ini disebut juga perang rakyat, karena seluruh rakyat Aceh terlibat
secara aktif melawan kolonial. Pejuang aceh dipersenjatai oleh ideologi perang
sabil sepanjang berlangsungnya perang yang jelas mempersulit belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda
mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil. Dalam serangan pertama itu,
masjid diserang dan dapat diduduki tentara Belanda, tetapi segera direbut
kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik
untuk menunggu bala bantuan di Batavia. Bulan November tahun itu juga, Belanda
mengirikm ekspedisi kedua dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini
dengan mudah Belanda menduduki masjid dan keraton, karena sultan dan
penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan semangat juang
rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874, Sultan
meninggal dunia karena penyakit kolera dan para pengikutnya mengungsi lebih
jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak ditanggapi
oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai strategi menunggu dan menjalankan
sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan
mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh besar. Mereka mendirikan
benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat
serangan dari tentara Aceh yang mulai terorganisasi. Di samping itu, di sekitar
pos-pos tersebut berjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antarpos
tersebut dapat ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah
itu, belanda melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII,
tempat Panglima Polim memimpin perlawanan. Panglima Polim terpaksa mengungsi
dan daerah- daerah sekitar Aceh Besar jatuh ketangan Belanda.
Gerakan pelawanan masih terus berlangsung,
walaupun pengganti sultan belum ditunjuk dan keraton telah diduduki Belanda.
Perlawanan masih perpusat di daerah sultan, karena putra mahkota, Muhammad
Daud, tetap berperan sebagai pusat dan pemimpin perang. Dia baru
dinobatkan sebagai sultan pada tahun 1884.[39]
Dalam tahun itu juga Belanda mulai melaksanakan
sistem konsentrasinya. Kotaraja sebagai pusatnya, dikelilingi benteng-benteng
yang terletak dalam setengah lingkaran serta berjarak 5-6 km dari kota itu.
Dibuat jalan untuk saling berhubungan, kemudian benteng-benteng itu dihubungkan
dengan term. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga
ada tanah lapang selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan
Aceh. Selama pembangunan benteng-benteng itu banyak korban yang jatuh karena
serbuan dari pihak Aceh. Strategi berdasarkan sistem konsentrasi ternyata
memberi peluang luas kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya,
maka serangan dapat dilancarkan sampai ke dalam kotanya dimana terjadi
banyak pembunuhan.[40]
Perang Aceh yang sangat menguras perbendaharaan
keuangan Belanda ini menjadi dilematis. Biaya perang yang banyak dikeluarkan
memaksa pemerintah melakukan penghematan pada tahun 1884-1885. Namun, kebijakan
ini menjadikan wilayah-wilayah pedalaman kembali dalam kekuasaan pihak
gerilyawan Aceh. Belanda akhirnya menemukan cara pemecahan di dalam
kebijakannya. Pemecahan ini diajukan oleh Dr.C.Snouck Hugronje (1857-1936) dan
Johannes Benedictus Van Heutsz (1851-1921).[41]
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha
mendekati kaum bangsawan atau ulebalang. Dengan demikian, perlawanan kembali
bergolak di seluruh Aceh besar. Belanda kembali melakukan ofensif yang
memaksa pihak Aceh bersikap defensif. Setelah itu, Belanda melakukan pengejaran
terhadap rombongan Sultan. Bahkan, untuk memancing agar Sultan mau menyerahkan
diri, Belanda melakukan penyanderaan terhadap istri-istri dan putra sultan.
Akhirnya,Sultan menyerah pada 3 Januari 1903. Taktik yang sama juga dilakukan
terhadap Panglima Polim, yang terpaksa menyerah pada 6 September 1903.
Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim
menyerah, peperangan terus berlangsung, sampai Belanda meninggalkan Indonesia
tahun 1942. Antara 1903-1930-an, di daerah Pidie Aceh tengah dan tenggara,
namun di Aceh Barat dan Aceh timur masih sering muncul perlawanan sengit yang
sebagian besar dipimpin oleh para ulama. Bahkan, tahun 1942, kelompok-kelompok
kecil pejuang Aceh masih melakukan perlawanan.[42]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan
makalah di atas adalah :
1.
Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi
dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, baik kemajuan
politik, atau pun proses Islamisasi.
2.
Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia
menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya
raya, maka datanglah bangsa-bangsa barat, termasuk Belanda.
3.
Penetrasi Belanda dalam dunia politik
seringkali justru diundang oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan
atau konflik antar kerajaan di Indonesia. Kedatangan Snouck Hurgronje seorang
yang sangat ahli tentang Islam membuat sebuah teori yang di sebut dengan “Islam
politik” dengan dalih “asosiasi”.
4.
Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia
mendapat perlawanan sengit dari Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka
mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda karena merasa dijajah dan
diperlakukan semena-mena. Perlawanan-perlawanan tersebut diantaranya: Perang
Padri, Perang Diponegoro, Perang Banjar dan perang Aceh.
B.
Saran
Kita, sebagai generasi penerus perjuangan
Islam, tidaklah pantas menelantarkan sejarah, karena dengan sejarah kita bisa
belajar dari pejuang-pejuang masa lampau untuk dijadikan pelajaran dan
pengalaman dalam menghadapi berbagai tantangan zaman sebab experience is the
best teacher. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Huda, Nur. 2007.
Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta
: Ar-Ruzz Media.
Kartodirdjo,
Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jilid 1.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Notosusanto,
Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Syukur, Fatah.
2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Thohir, Ajid.
2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Yatim, Badri.
2011, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 231
[3] Nur Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial
Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 67
[5] Ibid,
hlm. 233.
[6] Ibid,
hlm. 233-234.
[7] Ibid, hlm. 234.
[9] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1987), hlm. 70-71
[10] Badri Yatim, Op.Cit,
hlm. 235.
[11] Log.Cit,
hlm. 235.
[13] Ibid,
hlm. 237.
[14] Ibid,
hlm. 238.
[15] Ibid,
hlm. 239.
[18] Badri Yatim,
Op.Cit, hlm. 252.
[20] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 298
[21] Badri Yatim, Op.Cit,
hlm. 255.
[23] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 167-169
[25] Ibid,
hlm. 242.
[26] Ibid,
hlm. 243.
[30] Badri Yatim, Op.Cit,
hlm. 246
[32] Ibid, hlm. 400
Tidak ada komentar:
Posting Komentar