Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

Metode Mengenal Keberadaan Allah



MAKALAH
METODE MENGENAL KEBERADAAAN ALLAH (DENGAN AKAL, ASMAUL HUSNA
DAN SIFAT-NYA)

Dosen Pengampu  :  Amirul Bakhri, M.SI.

Description: Description: 3--STIT black-RALAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Pendidikan Akidah Akhlak di STIT Pemalang
Tahun akademik 2014/2015
                                                                    
Oleh :
1.      Siti Thohiroh             3120025
2.      Tias Lestiani              3120033
3.     Dinazad                      3120040


PROGRAM STUDI PENDIDIKA AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH PEMALANG
TAHUN 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa sesuatu yang paling penting dan mempunyai peranan besar dalam membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupan ini adalah akidah. Akidah merupakan ideologi yang memberikan inspirasi berupa pemikiran bagi kehidupan manusia dan masyarakat agar maju dan bangkit. Akan tetapi, pemikiran religius seperti apa yang dapat mewujudkan kebangkitan dan kemajuan pada manusia?
Arti akidah secara etimologi adalah  berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Adapun makna akidah secara syara adalah  iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan kepada hari akhir, serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.[1]
Pokok dar segala pokok aqidah adalah beriman kepada Allah SWT yang berpusat pada pengakuan terhadap eksistensi dan kemahaesaan-Nya. Keimanan kepada Allah merupakan keimanan yang menduduki peringkat pertama. Dari sinilah akan lahir keimanan-keimanan yang lani dalam rukun  iman.
Iman kepada Allah bererti mengakui  akan eksistensi  Allah sebagai  satu-satunya dzat yang maha mencipta dan satu-satunya dzat yang wajib disembah.
Adapun metode pembuktian adanya Allah adalah dengan cara memperhatikan ciptaanNya, sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang baik (Asmaul Husna). Dalam makalah ini akan kita batasi pembahasannya yaitu mengenal Allah dengan akal, asmaul husna beserta sifatNya.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut ini :
1.      Metode apa yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan Allah SWT ?
2.      Bagaimana peran akal dan asmaul husna dalam mengetahui keberadaan Allah SWT ?
3.      Bagaimana cara mengamalkan Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah SWT ?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metode yang Dapat Digunakan Untuk Mengetahui Keberadaan Allah SWT [2]
Pemikiran itu harus berupa pemikiran yang utuh sebagaimana yang telah ditunjukkan pada paparan di awal, yaitu pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan yang dihubungkan dengan realitas yang ada sebelum dan setelah kehidupan dunia. Dalam hal ini, mengharuskan adanya penentuan tentang hakikat kehidupan dunia ini, apakah dia hasil ciptaan (makhluk) atau bukan?, dan apakah dia punya hubungan dengan penciptanya (khalik) atau tidak?
Dari keutuhan pemikiran yang mencakup seluruh aspek kehidupan ini, maka didapatilah pada manusia apa yang dinamakan dengan al-fikrah al-kulliyyah (pemikiran menyeluruh). Pemikiran menyeluruh ini akan menjadi al-qaidah al-fikriyyah (landasan pemikiran) yang akan dibangun di atasnya seluruh pemikiran cabang. Karena itu, lengkaplah sudah pemecahan masalah (solusi) bagi manusia yang muncul dari interaksinya yang terus-menerus dengan segala yang ada di sekitarnya, yaitu tiga unsur utama kehidupan yang terdiri dari manusia itu sendiri, alam semesta, dan kehidupan, berupa pertanyaan tentang asal-usul dan tujuan penciptaan ketiganya.[3]
Setelah manusia mampu menyelesaikan masalah mendasar atau mendapat jawaban dari pertanyaan mendasar tadi (memperoleh solusi fundamental), maka dia pun akan mendapatkan jawaban untuk masalah-masalah cabang yang pasti muncul dari interaksinya dengan ketiga unsur tadi.
Apa hubungan solusi fundamental dengan kebangkitan? Hubungan keduanya amatlah erat. Kebangkitan adalah satu proses yang diawali dengan peningkatan taraf berpikir yang kemudian diikuti oleh peningkatan materi (teknologi, sarana kehidupan, dan lain-lain). Solusi fundamental itulah yang memunculkan asas untuk peningkatan taraf berpikir. Meskipun demikian, yang penting adalah solusi fundamental dan asas tadi harus sama-sama benar (sahih) supaya terjadi kebangkitan yang benar pula.
Benar tidaknya sebuah solusi ditentukan oleh sesuai tidaknya dengan fitrah manusia yaitu mengakui adanya kekurangan dan kelemahan manusia dan solusi tadi dapat memuaskan akal, dari sisi manusia menyadari bahwa tidak mungkin ada akibat tanpa ada penyebabnya (dalam hal ini tidak mungkin ada makhluk tanpa ada penciptanya [khalik]). Agar solusi fundamental tadi bersifat benar haruslah berupa pemikiran cemerlang yang menjelaskan hakikat adanya alam semesta, asal-usul kehidupan, maksud diciptakannya, dan menjelaskan tempat kembali dari semua realitas tadi. Dengan pemikiran seperti itu, akan terbentuk akidah sahih yang menjadi kaidah dalam mengatur semua masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan individu ataupun masyarakat. Selain itu, akidah itu juga digunakan untuk membuat perundang - undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu Allah SWT memerintahkan semua umat manusia agar menggunakan akal-pikiran dengan sebaik-baiknya, dan memperhatikan serta merenungkan segala ciptaanNya, dan mengimani sifat-sifat dan kekuatan Allah SWT ialah dengan memperhatikan segala makhluk ciptaanNya.[4]
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mengetahui keberadaan Allah adalah dengan berfikir dan terus berfikir artinya dengan menggunakan akal dan dengan mengenal sifat-sifat-Nya.

B.     Peran Akal dalam Mengetahui Keberadaan Allah SWT
Pandangan akal terhadap segala sesuatu yang terindra memastikan keberadaan khalik yang telah menciptakannya. Semua bintang, planet, semua sisi manusia, dan semua penampakan kehidupan merupakan dalil yang dapat dibaca dengan gambaran yang jelas dan tidak diliputi kesamaran akan adanya Allah Pencipta yang Maha Pengatur. Segala realitas yang ada di alam ini telah menjelaskan kebutuhan mereka terhadap zat lain.[5]
Hal ini dikaitkan dengan pandangan akal, adapun berkaitan dengan pandangan hukum syara’ yaitu pandangan al-Quran al-Karim sebagai sumber hukum utama dalam Islam banyak ayat yang menegaskan keberadaan Sang Pencipta. Dalam surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah Swt. Berfirman:
إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”[6]

Ayat ini menggugah akal untuk memperhatikan dengan seksama tentang adanya kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan terhadap yang lain dari segala reaitas yang ada di alam ini.
Selain itu, dalam surat ar-Ruum (30) ayat 22, Allah Swt. Berfirman:
ومن آياته خلق السماوات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.”[7]
Ayat ini berbicara lebih jauh mengenai sisi-sisi manusia hingga fenomena alam semesta untuk menggugah pemikiran dan perhatian kita. Hal yang sama kita dapati dalam surat al-Ghaasyiyah (88) ayat 17 – 20 :
1.    أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Lalu Langit, bagaimana ditinggikan? Kemudian, gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Demikian pula bumi bagaimana dihamparkan?”[8]
Jika diperhatikan, ayat ini menunjuk pada unta sebagai hewan yang paling dekat dengan orang yang diserukan al-Quran dan Islam. Adapun dalam surat ath-Thariq (86) ayat 5 – 7 perhatian ditujukan pada manusia saja, ketika Allah Swt. berfirman, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Ayat-ayat ini dan sejenisnya meminta manusia untuk tidak melewatkan begitu saja segala sesuatu yang terindra di sekitarnya tanpa dipikirkan, dipahami, dan direnungkan. Dengan begitu, manusia akan sampai pada penarikan kesimpulan (konklusi) yang meyakinkan akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Kesimpulan ini bersifat pasti karena disandarkan pada sesuatu yang terindra karena sesuatu yang dapat diindra akan menunjukkan keyakinan dan kepastian pada suatu hasil. Hal seperti inilah yang menjadikan keimanan kepada Allah Swt. tidak diliputi keraguan, tetapi keimanan yang tertancap kuat setelah akal bekerja keras secara objektif dan jernih dengan mempergunakan dalil-dalil dan bukti-bukti yang rasional dan konkret.
Kendatipun telah diperoleh kepastian dari proses keimanan secara rasional, namun masih ada dua hal penting yang perlu dibahas untuk menghilangkan keraguan pada keimanan tadi. Pertama, peranan fitrah dan wijdan (perasaan hati) dan kedua, keterbatasan akal dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan berada di luar jangkauan akal (irasional).
Peran fitrah dalam keimanan tidak diragukan lagi, yaitu dapat menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, pada saat fitrah manusia yang lurus dan tabiatnya yang suci mengakui hakikat manusia yang serba kekurangan, lemah, dan butuh kepada Pencipta. Walaupun demikian, termasuk bahaya besar apabila membiarkan fitrah menjadi sumber pemutus keimanan dan bersandar pada perasaan hati semata.[9]
Begitu pula dalam keimanan tidak boleh mencukupkan pada adanya wijdan (perasaan hati) karena wijdan merupakan akumulasi perasaan dan letupan emosi yang penuh dengan imajinasi, serta keraguan yang ditambahkan pada keimanan dengan nama hakikat. Padahal, sesungguhnya itu adalah angan-angan dan khayalan. Inilah yang menjerumuskan seorang Mukmin pada kekufuran dan kesesatan. Kalau tidak, dari mana datangnya penyembahan berhala? Dari mana jiwa-jiwa manusia itu dipenuhi takhayul dan cerita-cerita bohong? Hal itu tidak lain akibat menjadikan wijdan sebagai satu-satunya jalan bagi keimanan.
Wijdan akan menambah sifat-sifat yang bertentangan dengan ketuhanan, seperti gambaran bahwa Allah SWT. yang Maha Suci mempunyai anggota tubuh seperti manusia; adanya kemungkinan menyatunya jasad Allah dalam diri manusia atau hewan; serta adanya dugaan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui penyembahan benda-benda yang ada di alam atau melalui makhluk hidup.
Semua itu akan menjerumuskan pada kekufuran atau syirik apabila tidak ada sikap tegas terhadap hal-hal tadi yang jelas-jelas kontraproduktif dengan keimanan yang benar dan lurus. Di sinilah kita melihat bagaimana Islam mengharuskan penggunaan akal yang disertai dengan wijdan. Dalam masalah ini, tidak boleh membiarkan wijdan sendirian. Islam mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menggunakan akalnya dan menjadikan akal sebagai pemutus (hakim) bagi keimanannya terhadap Allah SWT.[10] Islam tidak menerima taklid, jika tidak demikian apalah artinya ayat yang menyatakan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS Ali ‘Imran [3]: 190).
Dengan terbatasnya akal manusia dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan irasional, bagaimana mungkin akal dapat memutuskan keimanan kepada Allah SWT? Pertanyaan ini muncul akibat rancunya memahami kepentingan akal yang sebenarnya dalam masalah keimanan. Memang benar, akal itu lemah untuk menjangkau sesuatu yang tidak terindra karena kemampuannya tidak bisa melebihi batas itu.
Oleh karena itu, akal tidak mampu memahami Zat Allah karena Zat Allah SWT. tidak nyata dan berada di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan. Akan tetapi, fungsi akal dalam masalah ini dibatasi pada mengimani keberadaan Pencipta saja, yang eksistensinya dapat dipahami dari keberadaan makhluk-makhluk yang dapat dijangkau oleh akal.
Fungsi akal tidak untuk memahami Zat Pencipta karena Dia berada di luar jangkauan akal dan alat indra. Dengan demikian, tidak ada lagi kesamaran dalam masalah ini. Lebih dari itu dengan memahami hal ini, iman akan menjadi kuat. Pemahaman yang sempurna terhadap keberadaan Pencipta akan terwujud manakala keimanan kita kepada Allah diperoleh dengan jalan berpikir (metode rasional). Demikian pula perasaan yakin akan adanya Pencipta diperoleh manakala kita mengaitkan perasaan dengan akal.
Jangan kita biarkan perasaan itu berjalan sendiri. Pemahaman dan perasaan seperti itulah yang akan menambah kuat keimanan dan menjadikan kita akan menerima segala sesuatu yang akal kita tidak mampu menjagkaunya. Akal selamanya tidak dapat memahami Zat Allah Swt. atau beberapa makhluk gaib, seperti malaikat dan jin. Namun, keimanan kita terhadap keberadaan makhluk-makhluk ini diperoleh melalui penetapan akal.[11]

C.    Mengenal Allah melalui Sifat-SifatNya dan Pengamalan Asmaul HusnaTop of Form[12]
Kalau sifat-sifat baik dan terpuji yang disandang manusia/makhluk seperti hidup, kuasa/mampu, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, kemuliaan, kasih sayang, pemurah, perhatian dan sebagainya maka pastilah Yang Maha Kuasa pun memiliki sifat-sifat baik dan terpuji dalam kapasitas dan substansi yang lebih sempurna, kerana jika tidak demikian, apa arti keperluan manusia kepadaNya ?
Terdapat empat ayat yang menggunakan redaksi “Asmaul Husna’, yaitu :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٨٠﴾
Hanya milik Allah nama-nama (asmaul husna), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut nama-nama (asmaul husna) itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf 7:180)[13]

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَ‌ٰلِكَ سَبِيلًا ﴿١١٠﴾
Katakanlah: Serulah nama Allah atau Ar-Rahman, yang mana sahaja kamu serukan; kerana bagi-Nyalah nama-nama yang baik Dan janganlah kamu menyaringkan bacaan solatmu, dan janganlah kamu perlahankannya, dan gunakanlah sahaja satu cara yang sederhana antara itu”. (QS. Al Isra’ 17:110)[14]

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢٤﴾
Dialah Allah yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Al Hashr 59:24)[15]

اللَّهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ﴿٨﴾
Allah! Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, bagi-Nyalah segala nama yang baik.” (QS. Taha 20:8)[16]

Ayat-ayat yang agung diatas menunjukkan ha-hal berikut :
1.      Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah, maka siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan Allah dan menentang Allah.
2.      Bahwasanya asma’ Allah semuanya adalah husna. Maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong yang tak bermakna atau tak mengandung arti.
3.      Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo’a dan ber-tawasul kepadaNya dengan nama-namaNya.
4.      Bahwasanya Allah mengancam orang-orang yang ilhad (condong / menyeleweng) dalam asma’Nya.[17]
Kata Al Asma adalah bentuk jamak dari kata Al-Ism yang biasa diterjemahkan dengan ‘nama’. Ia berakar dari kata assumu yang bererti ketinggian, atau assimah yang bererti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.
Kata al husna yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif ini, menunjukkan bahawa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang baik lainnya, apakah yang baik selainNya itu wajar disandangNya atau tidak. Sifat Pengasih misalnya adalah baik. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi kerana bagi Allah nama yang terbaik, maka pastilah sifat kasihNya melebihi sifat kasih makhluk, dalam kapasiti kasih mahupun substansinya. Di sisi lain sifat pemberani merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang Allah kerana keberanian mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani sehingga tidak mungkin disandangkan kepadaNya. Ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan tetapi sifat kesempurnaan manusia ini tidak mungkin pula disandangNya karena ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, disamping menunjukkan keperluan, sedang hal tersebut mustahil bagiNya.
Demikianlah kata Husna menunjukkan bahawa nama-namaNya adalah nama-nama yang amat sempurna tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.
Nama / sifat-sifat yang disandangNya itu, terambil dari bahasa manusia, namun kata yang digunakan saat disandang manusia pasti selalu mengandung makna keperluan serta kekurangan, walaupun ada diantaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat dipisahkan. Keberadaan pada satu tempat atau arah, tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Tuhan, kerana kemustahilan pemisahannya itu. Ini berbeda dengan kata “kuat”. Bagi manusia, kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam arti kita memerlukan hal tersebut untuk memiliki kekuatan. Keperluan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah, sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat difahami dengan menyingkirkan dari nama/sifat tersebut hal-hal yang mengandung makna kekurangan atau keperluan itu.
Berikut ini akan dipaparkan Asmaul husna, arti dan aplikasinya dalam kehidupan :[18]
No.
Nama
Arab
Indonesia

الله
Allah
1
الرحمن
Yang Maha Pengasih
2
الرحيم
Yang Maha Penyayang
3
الملك
Yang Maha Merajai/Memerintah
4
القدوس
Yang Maha Suci
5
السلام
Yang Maha Memberi Kesejahteraan
6
المؤمن
Yang Maha Memberi Keamanan
7
المهيمن
Yang Maha Pemelihara
8
العزيز
Yang Maha Perkasa
9
الجبار
Yang Memiliki Mutlak Kegagahan
10
المتكبر
Yang Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran
11
الخالق
Yang Maha Pencipta
12
البارئ
Yang Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan)
13
المصور
Yang Maha Membentuk Rupa (makhluknya)
14
الغفار
Yang Maha Pengampun
15
القهار
Yang Maha Memaksa
16
الوهاب
Yang Maha Pemberi Karunia
17
الرزاق
Yang Maha Pemberi Rezeki
18
الفتاح
Yang Maha Pembuka Rahmat
19
العليم
Yang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
20
القابض
Yang Maha Menyempitkan (makhluknya)
21
الباسط
Yang Maha Melapangkan (makhluknya)
22
الخافض
Yang Maha Merendahkan (makhluknya)
23
الرافع
Yang Maha Meninggikan (makhluknya)
24
المعز
Yang Maha Memuliakan (makhluknya)
25
المذل
Yang Maha Menghinakan (makhluknya)
26
السميع
Yang Maha Mendengar
27
البصير
Yang Maha Melihat
28
الحكم
Yang Maha Menetapkan
29
العدل
Yang Maha Adil
30
اللطيف
Yang Maha Lembut
31
الخبير
Yang Maha Mengenal
32
الحليم
Yang Maha Penyantun
33
العظيم
Yang Maha Agung
34
الغفور
Yang Maha Pengampun
35
الشكور
Yang Maha Pembalas Budi (Menghargai)
36
العلى
Yang Maha Tinggi
37
الكبير
Yang Maha Besar
38
الحفيظ
Yang Maha Memelihara
39
المقيت
Yang Maha Pemberi Kecukupan
40
الحسيب
Yang Maha Membuat Perhitungan
41
الجليل
Yang Maha Mulia
42
الكريم
Yang Maha Mulia
43
الرقيب
Yang Maha Mengawasi
44
المجيب
Yang Maha Mengabulkan
45
الواسع
Yang Maha Luas
46
الحكيم
Yang Maha Maka Bijaksana
47
الودود
Yang Maha Mengasihi
48
المجيد
Yang Maha Mulia
49
الباعث
Yang Maha Membangkitkan
50
الشهيد
Yang Maha Menyaksikan
51
الحق
Yang Maha Benar
52
الوكيل
Yang Maha Memelihara
53
القوى
Yang Maha Kuat
54
المتين
Yang Maha Kokoh
55
الولى
Yang Maha Melindungi
56
الحميد
Yang Maha Terpuji
57
المحصى
Yang Maha Mengkalkulasi
58
المبدئ
Yang Maha Memulai
59
المعيد
Yang Maha Mengembalikan Kehidupan
60
المحيى
Yang Maha Menghidupkan
61
المميت
Yang Maha Mematikan
62
الحي
Yang Maha Hidup
63
القيوم
Yang Maha Mandiri
64
الواجد
Yang Maha Penemu
65
الماجد
Yang Maha Mulia
66
الواحد
Yang Maha Tunggal
67
الاحد
Yang Maha Esa
68
الصمد
Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
69
القادر
Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
70
المقتدر
Yang Maha Berkuasa
71
المقدم
Yang Maha Mendahulukan
72
المؤخر
Yang Maha Mengakhirkan
73
الأول
Yang Maha Awal
74
الأخر
Yang Maha Akhir
75
الظاهر
Yang Maha Nyata
76
الباطن
Yang Maha Ghaib
77
الوالي
Yang Maha Memerintah
78
المتعالي
Yang Maha Tinggi
79
البر
Yang Maha Penderma
80
التواب
Yang Maha Penerima Tobat
81
المنتقم
Yang Maha Pemberi Balasan
82
العفو
Yang Maha Pemaaf
83
الرؤوف
Yang Maha Pengasuh
84
مالك الملك
Yang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
85
الجلال ذو الإكرام و
Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
86
المقسط
Yang Maha Pemberi Keadilan
87
الجامع
Yang Maha Mengumpulkan
88
الغنى
Yang Maha Kaya
89
المغنى
Yang Maha Pemberi Kekayaan
90
المانع
Yang Maha Mencegah
91
الضار
Yang Maha Penimpa Kemudharatan
92
النافع
Yang Maha Memberi Manfaat
93
النور
Yang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)
94
الهادئ
Yang Maha Pemberi Petunjuk
95
البديع
Yang Indah Tidak Mempunyai Banding
96
الباقي
Yang Maha Kekal
97
الوارث
Yang Maha Pewaris
98
الرشيد
Yang Maha Pandai
99
الصبور
Yang Maha Sabar



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam mengenal keberadaan Allah, kita dituntut menjadi seorang yang beriman dan beramal sholeh. Allah sangat menyayangi manusia yang senantiasa mengingat-Nya. Allah menjanjikan surga, keberkahan, keridhoan, kemerdekaan, sera kemuliaan di dalam hidup kita.
Mengenal Allah yang benar adalah dengan menimbulkan rasa malu, cinta dan takut kepada-Nya. Yang dimaksud malu, karena merasa membawa beban dosa. Cinta yaitu rindu untuk menghadap Allah dan senang memperoleh pahala-Nya. Dan takut kepada Allah ialah takut terkena siksa-Nya. Jika hal tersebut telah timbul di dalam hati kita, insyaAllah kita telah mampu mengenal Allah dengan cinta.
Demikan uraian singkat mengenai pemahaman aqidah meyakini keberadaan Allah melalui akal dan Asmaul Husna, semoga nilai-nilai asmaul husna mewarnai setiap hembusan nafas dalam kehidupan sehingga tercipta ketenangan hidup, keharmonisan, keserasian, kerukunan dan kesejahteraan dengan bertambahnya iman dan taqwa yang dibingkai oleh aqidah Islamiyah.
            Dengan memahami sifat-sifat Allah dan Asmaul Husna aqidah kita semakin kuat sehingga sikap dan perbuatan kita sehari-hari adalah nilai-nilai ketuhanan yang dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh mahluk.


DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro. 2005.

Disampaikan pada Perkuliahan Pengantar Agama Islam “Aqidah Islamiyah” oleh Dra. Siti Badriyah, M.SI. di STIT Pemalang Tahun 2012

http://imatuzzahra.wordpress.com/2013/02/26/iman-kepada-allah/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014, pukul 15.15


Mengenal ALLAH Melalui Asma ‘Ul Husna dari Buku Menyingkap Tabir-tabir Ilahi karangan Prof. DR. M. Quraish Shihab (http://www.pustakaafaf.com/mengenal-allah-melalui-asma-ul-husna/).

MZ, Labib. Pintar Aqidah dan Syariat. Surabaya : Bintang Usaha Jaya. 2000).

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Kitab Tauhid I. Jakarta : Yayasan Al Sofwa. 2003.

Syukur, M. Amin. Pengantar Studi Islam. Semarang : Pustaka Nuun. 2010.

Thoha, Chabib. dkk, Metodologi Pengajaran Agama. Semarang : Pustaka Pelajar. 2004.

Bottom of Form


[1] M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang : Pustaka Nuun, 2010), hlm. 35
[2] http://imatuzzahra.wordpress.com/2013/02/26/iman-kepada-allah/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014, pukul 15.15
[3] Ibid.
[4] Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 88
[5] Disampaikan pada Perkuliahan Pengantar Agama Islam “Aqidah Islamiyah” oleh Dra. Siti Badriyah, M.SI. di STIT Pemalang Tahun 2012
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro, 2005), hlm.75
[7] Ibid, hlm. 406.
[8] Ibid, hlm. 592.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Mengenal ALLAH Melalui Asma ‘Ul Husna dari Buku Menyingkap Tabir-tabir Ilahi karangan Prof. DR. M. Quraish Shihab (http://www.pustakaafaf.com/mengenal-allah-melalui-asma-ul-husna/).
[13] Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 174.
[14] Ibid, hlm. 293.
[15] Ibid, hlm. 548.
[16] Ibid, hlm. 312.
[17] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid I, (Jakarta : Yayasan Al Sofwa, 2003), hlm. 102.
[18] Labib MZ, Pintar Aqidah dan Syariat, (Surabaya : Bintang Usaha Jaya, 2000), hlm. 185-204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar