MAKALAH
METODE MENGENAL KEBERADAAAN ALLAH
(DENGAN AKAL, ASMAUL HUSNA
DAN SIFAT-NYA)
Dosen Pengampu : Amirul
Bakhri, M.SI.

Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah
Pendidikan Akidah Akhlak di STIT Pemalang
Tahun akademik 2014/2015
Oleh :
1.
Siti Thohiroh 3120025
2.
Tias Lestiani 3120033
3. Dinazad 3120040
PROGRAM
STUDI PENDIDIKA AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH PEMALANG
TAHUN
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tidak
diragukan lagi bahwa sesuatu yang paling penting dan mempunyai peranan besar
dalam membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupan ini adalah akidah. Akidah
merupakan ideologi yang memberikan inspirasi berupa pemikiran bagi kehidupan
manusia dan masyarakat agar maju dan bangkit. Akan tetapi, pemikiran religius
seperti apa yang dapat mewujudkan kebangkitan dan kemajuan pada manusia?
Arti
akidah secara etimologi adalah berasal
dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Akidah adalah apa yang diyakini
oleh seseorang. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan
pembenarannya kepada sesuatu. Adapun makna akidah secara syara adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan kepada hari akhir, serta kepada qadar yang
baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.[1]
Pokok
dar segala pokok aqidah adalah beriman kepada Allah SWT yang berpusat pada
pengakuan terhadap eksistensi dan kemahaesaan-Nya. Keimanan kepada Allah
merupakan keimanan yang menduduki peringkat pertama. Dari sinilah akan lahir
keimanan-keimanan yang lani dalam rukun
iman.
Iman
kepada Allah bererti mengakui akan eksistensi Allah sebagai
satu-satunya dzat yang maha mencipta dan satu-satunya dzat yang wajib
disembah.
Adapun
metode pembuktian adanya Allah adalah dengan cara memperhatikan ciptaanNya,
sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang baik (Asmaul Husna). Dalam makalah ini
akan kita batasi pembahasannya yaitu mengenal Allah dengan akal, asmaul husna
beserta sifatNya.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut ini :
1.
Metode apa yang dapat digunakan untuk mengetahui
keberadaan Allah SWT ?
2.
Bagaimana peran akal dan asmaul husna dalam mengetahui
keberadaan Allah SWT ?
3.
Bagaimana cara mengamalkan Asmaul Husna dan
sifat-sifat Allah SWT ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode yang Dapat Digunakan Untuk
Mengetahui Keberadaan Allah SWT [2]
Pemikiran
itu harus berupa pemikiran yang utuh sebagaimana yang telah ditunjukkan pada
paparan di awal, yaitu pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan
yang dihubungkan dengan realitas yang ada sebelum dan setelah kehidupan dunia.
Dalam hal ini, mengharuskan adanya penentuan tentang hakikat kehidupan dunia
ini, apakah dia hasil ciptaan (makhluk) atau bukan?, dan apakah dia punya
hubungan dengan penciptanya (khalik) atau tidak?
Dari
keutuhan pemikiran yang mencakup seluruh aspek kehidupan ini, maka didapatilah
pada manusia apa yang dinamakan dengan al-fikrah al-kulliyyah (pemikiran
menyeluruh). Pemikiran menyeluruh ini akan menjadi al-qaidah al-fikriyyah
(landasan pemikiran) yang akan dibangun di atasnya seluruh pemikiran cabang.
Karena itu, lengkaplah sudah pemecahan masalah (solusi) bagi manusia yang
muncul dari interaksinya yang terus-menerus dengan segala yang ada di
sekitarnya, yaitu tiga unsur utama kehidupan yang terdiri dari manusia itu
sendiri, alam semesta, dan kehidupan, berupa pertanyaan tentang asal-usul dan
tujuan penciptaan ketiganya.[3]
Setelah
manusia mampu menyelesaikan masalah mendasar atau mendapat jawaban dari
pertanyaan mendasar tadi (memperoleh solusi fundamental), maka dia pun akan
mendapatkan jawaban untuk masalah-masalah cabang yang pasti muncul dari
interaksinya dengan ketiga unsur tadi.
Apa hubungan solusi fundamental dengan kebangkitan? Hubungan keduanya amatlah erat. Kebangkitan adalah satu proses yang diawali dengan peningkatan taraf berpikir yang kemudian diikuti oleh peningkatan materi (teknologi, sarana kehidupan, dan lain-lain). Solusi fundamental itulah yang memunculkan asas untuk peningkatan taraf berpikir. Meskipun demikian, yang penting adalah solusi fundamental dan asas tadi harus sama-sama benar (sahih) supaya terjadi kebangkitan yang benar pula.
Apa hubungan solusi fundamental dengan kebangkitan? Hubungan keduanya amatlah erat. Kebangkitan adalah satu proses yang diawali dengan peningkatan taraf berpikir yang kemudian diikuti oleh peningkatan materi (teknologi, sarana kehidupan, dan lain-lain). Solusi fundamental itulah yang memunculkan asas untuk peningkatan taraf berpikir. Meskipun demikian, yang penting adalah solusi fundamental dan asas tadi harus sama-sama benar (sahih) supaya terjadi kebangkitan yang benar pula.
Benar
tidaknya sebuah solusi ditentukan oleh sesuai tidaknya dengan fitrah manusia yaitu
mengakui adanya kekurangan dan kelemahan manusia dan solusi tadi dapat
memuaskan akal, dari sisi manusia menyadari bahwa tidak mungkin ada akibat
tanpa ada penyebabnya (dalam hal ini tidak mungkin ada makhluk tanpa ada penciptanya
[khalik]). Agar solusi fundamental tadi bersifat benar haruslah berupa
pemikiran cemerlang yang menjelaskan hakikat adanya alam semesta, asal-usul
kehidupan, maksud diciptakannya, dan menjelaskan tempat kembali dari semua
realitas tadi. Dengan pemikiran seperti itu, akan terbentuk akidah sahih yang
menjadi kaidah dalam mengatur semua masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek
kehidupan individu ataupun masyarakat. Selain itu, akidah itu juga digunakan untuk
membuat perundang - undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Untuk
itu Allah SWT memerintahkan semua umat manusia agar menggunakan akal-pikiran
dengan sebaik-baiknya, dan memperhatikan serta merenungkan segala ciptaanNya,
dan mengimani sifat-sifat dan kekuatan Allah SWT ialah dengan memperhatikan
segala makhluk ciptaanNya.[4]
Dari
pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mengetahui keberadaan
Allah adalah dengan berfikir dan terus berfikir artinya dengan menggunakan akal
dan dengan mengenal sifat-sifat-Nya.
B. Peran Akal dalam Mengetahui Keberadaan Allah SWT
Pandangan akal terhadap segala sesuatu yang
terindra memastikan keberadaan khalik yang telah menciptakannya. Semua bintang,
planet, semua sisi manusia, dan semua penampakan kehidupan merupakan dalil yang
dapat dibaca dengan gambaran yang jelas dan tidak diliputi kesamaran akan
adanya Allah Pencipta yang Maha Pengatur. Segala realitas yang ada di alam ini
telah menjelaskan kebutuhan mereka terhadap zat lain.[5]
Hal ini dikaitkan dengan pandangan akal, adapun
berkaitan dengan pandangan hukum syara’ yaitu pandangan al-Quran al-Karim
sebagai sumber hukum utama dalam Islam banyak ayat yang menegaskan keberadaan
Sang Pencipta. Dalam surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah Swt. Berfirman:
إن
في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal.”[6]
Ayat ini menggugah akal untuk memperhatikan
dengan seksama tentang adanya kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan terhadap
yang lain dari segala reaitas yang ada di alam ini.
Selain itu, dalam surat ar-Ruum (30) ayat 22,
Allah Swt. Berfirman:
ومن
آياته خلق السماوات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan
langit dan bumi, serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.”[7]
Ayat ini berbicara lebih jauh mengenai sisi-sisi
manusia hingga fenomena alam semesta untuk menggugah pemikiran dan perhatian
kita. Hal yang sama kita dapati dalam surat al-Ghaasyiyah (88) ayat 17 – 20 :
1. أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ
كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ
كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta,
bagaimana diciptakan? Lalu Langit, bagaimana ditinggikan? Kemudian,
gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Demikian pula bumi bagaimana dihamparkan?”[8]
Jika diperhatikan, ayat ini menunjuk pada unta
sebagai hewan yang paling dekat dengan orang yang diserukan al-Quran dan Islam.
Adapun dalam surat ath-Thariq (86) ayat 5 – 7 perhatian ditujukan pada manusia
saja, ketika Allah Swt. berfirman, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Ayat-ayat ini dan sejenisnya meminta manusia
untuk tidak melewatkan begitu saja segala sesuatu yang terindra di sekitarnya
tanpa dipikirkan, dipahami, dan direnungkan. Dengan begitu, manusia akan sampai
pada penarikan kesimpulan (konklusi) yang meyakinkan akan adanya Pencipta yang
Maha Pengatur. Kesimpulan ini bersifat pasti karena disandarkan pada sesuatu
yang terindra karena sesuatu yang dapat diindra akan menunjukkan keyakinan dan
kepastian pada suatu hasil. Hal seperti inilah yang menjadikan keimanan kepada
Allah Swt. tidak diliputi keraguan, tetapi keimanan yang tertancap kuat setelah
akal bekerja keras secara objektif dan jernih dengan mempergunakan dalil-dalil
dan bukti-bukti yang rasional dan konkret.
Kendatipun telah diperoleh kepastian dari proses keimanan secara rasional, namun masih ada dua hal penting yang perlu dibahas untuk menghilangkan keraguan pada keimanan tadi. Pertama, peranan fitrah dan wijdan (perasaan hati) dan kedua, keterbatasan akal dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan berada di luar jangkauan akal (irasional).
Kendatipun telah diperoleh kepastian dari proses keimanan secara rasional, namun masih ada dua hal penting yang perlu dibahas untuk menghilangkan keraguan pada keimanan tadi. Pertama, peranan fitrah dan wijdan (perasaan hati) dan kedua, keterbatasan akal dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan berada di luar jangkauan akal (irasional).
Peran fitrah dalam keimanan tidak diragukan lagi,
yaitu dapat menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, pada saat fitrah
manusia yang lurus dan tabiatnya yang suci mengakui hakikat manusia yang serba
kekurangan, lemah, dan butuh kepada Pencipta. Walaupun demikian, termasuk
bahaya besar apabila membiarkan fitrah menjadi sumber pemutus keimanan dan
bersandar pada perasaan hati semata.[9]
Begitu pula dalam keimanan tidak boleh
mencukupkan pada adanya wijdan (perasaan hati) karena wijdan
merupakan akumulasi perasaan dan letupan emosi yang penuh dengan imajinasi,
serta keraguan yang ditambahkan pada keimanan dengan nama hakikat. Padahal,
sesungguhnya itu adalah angan-angan dan khayalan. Inilah yang menjerumuskan
seorang Mukmin pada kekufuran dan kesesatan. Kalau tidak, dari mana datangnya
penyembahan berhala? Dari mana jiwa-jiwa manusia itu dipenuhi takhayul dan
cerita-cerita bohong? Hal itu tidak lain akibat menjadikan wijdan
sebagai satu-satunya jalan bagi keimanan.
Wijdan akan
menambah sifat-sifat yang bertentangan dengan ketuhanan, seperti gambaran bahwa
Allah SWT. yang Maha Suci mempunyai anggota tubuh seperti manusia; adanya
kemungkinan menyatunya jasad Allah dalam diri manusia atau hewan; serta adanya
dugaan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui penyembahan
benda-benda yang ada di alam atau melalui makhluk hidup.
Semua itu akan menjerumuskan pada kekufuran atau
syirik apabila tidak ada sikap tegas terhadap hal-hal tadi yang jelas-jelas
kontraproduktif dengan keimanan yang benar dan lurus. Di sinilah kita melihat
bagaimana Islam mengharuskan penggunaan akal yang disertai dengan wijdan.
Dalam masalah ini, tidak boleh membiarkan wijdan sendirian. Islam
mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menggunakan akalnya dan menjadikan akal
sebagai pemutus (hakim) bagi keimanannya terhadap Allah SWT.[10]
Islam tidak menerima taklid, jika tidak demikian apalah artinya ayat
yang menyatakan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
(QS Ali ‘Imran [3]: 190).
Dengan terbatasnya akal manusia dalam memahami
sesuatu yang tidak terindra dan irasional, bagaimana mungkin akal dapat
memutuskan keimanan kepada Allah SWT? Pertanyaan ini muncul akibat rancunya
memahami kepentingan akal yang sebenarnya dalam masalah keimanan. Memang benar,
akal itu lemah untuk menjangkau sesuatu yang tidak terindra karena kemampuannya
tidak bisa melebihi batas itu.
Oleh karena itu, akal tidak mampu memahami Zat
Allah karena Zat Allah SWT. tidak nyata dan berada di balik alam semesta,
manusia, dan kehidupan. Akan tetapi, fungsi akal dalam masalah ini dibatasi
pada mengimani keberadaan Pencipta saja, yang eksistensinya dapat dipahami dari
keberadaan makhluk-makhluk yang dapat dijangkau oleh akal.
Fungsi akal tidak untuk memahami Zat Pencipta
karena Dia berada di luar jangkauan akal dan alat indra. Dengan demikian, tidak
ada lagi kesamaran dalam masalah ini. Lebih dari itu dengan memahami hal ini,
iman akan menjadi kuat. Pemahaman yang sempurna terhadap keberadaan Pencipta
akan terwujud manakala keimanan kita kepada Allah diperoleh dengan jalan
berpikir (metode rasional). Demikian pula perasaan yakin akan adanya Pencipta
diperoleh manakala kita mengaitkan perasaan dengan akal.
Jangan kita biarkan perasaan itu berjalan sendiri. Pemahaman dan perasaan seperti itulah yang akan menambah kuat keimanan dan menjadikan kita akan menerima segala sesuatu yang akal kita tidak mampu menjagkaunya. Akal selamanya tidak dapat memahami Zat Allah Swt. atau beberapa makhluk gaib, seperti malaikat dan jin. Namun, keimanan kita terhadap keberadaan makhluk-makhluk ini diperoleh melalui penetapan akal.[11]
Jangan kita biarkan perasaan itu berjalan sendiri. Pemahaman dan perasaan seperti itulah yang akan menambah kuat keimanan dan menjadikan kita akan menerima segala sesuatu yang akal kita tidak mampu menjagkaunya. Akal selamanya tidak dapat memahami Zat Allah Swt. atau beberapa makhluk gaib, seperti malaikat dan jin. Namun, keimanan kita terhadap keberadaan makhluk-makhluk ini diperoleh melalui penetapan akal.[11]
Kalau sifat-sifat baik dan terpuji yang disandang
manusia/makhluk seperti hidup, kuasa/mampu, pengetahuan, pendengaran,
penglihatan, kemuliaan, kasih sayang, pemurah, perhatian dan sebagainya maka
pastilah Yang Maha Kuasa pun memiliki sifat-sifat baik dan terpuji dalam
kapasitas dan substansi yang lebih sempurna, kerana jika tidak demikian, apa arti
keperluan manusia kepadaNya ?
Terdapat empat ayat yang menggunakan redaksi
“Asmaul Husna’, yaitu :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ
وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٨٠﴾
Hanya milik Allah nama-nama (asmaul husna), maka
bermohonlah kepadaNya dengan menyebut nama-nama (asmaul husna) itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Al
A’raf 7:180)[13]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـٰنَ ۖ
أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ
سَبِيلًا ﴿١١٠﴾
Katakanlah: Serulah nama Allah atau Ar-Rahman,
yang mana sahaja kamu serukan; kerana bagi-Nyalah nama-nama yang baik Dan
janganlah kamu menyaringkan bacaan solatmu, dan janganlah kamu perlahankannya,
dan gunakanlah sahaja satu cara yang sederhana antara itu”. (QS. Al Isra’
17:110)[14]
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ
لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ ﴿٢٤﴾
Dialah Allah yang Menciptakan, Yang Mengadakan,
Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih
kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS. Al Hashr 59:24)[15]
اللَّهُ لَا إِلَـٰهَ
إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ﴿٨﴾
Allah! Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Dia, bagi-Nyalah segala nama yang baik.” (QS. Taha 20:8)[16]
Ayat-ayat yang agung diatas menunjukkan ha-hal berikut :
1.
Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah,
maka siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan Allah dan menentang
Allah.
2.
Bahwasanya asma’ Allah semuanya adalah husna.
Maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang
sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong yang
tak bermakna atau tak mengandung arti.
3.
Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo’a dan ber-tawasul
kepadaNya dengan nama-namaNya.
4.
Bahwasanya Allah mengancam orang-orang yang ilhad
(condong / menyeleweng) dalam asma’Nya.[17]
Kata Al Asma adalah bentuk jamak dari kata Al-Ism yang
biasa diterjemahkan dengan ‘nama’. Ia berakar dari kata assumu yang
bererti ketinggian, atau assimah yang bererti tanda. Memang nama
merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.
Kata al husna yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah
dengan kata yang berbentuk superlatif ini, menunjukkan bahawa nama-nama
tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan
yang baik lainnya, apakah yang baik selainNya itu wajar disandangNya atau
tidak. Sifat Pengasih misalnya adalah baik. Ia dapat disandang oleh
makhluk/manusia, tetapi kerana bagi Allah nama yang terbaik, maka pastilah
sifat kasihNya melebihi sifat kasih makhluk, dalam kapasiti kasih mahupun
substansinya. Di sisi lain sifat pemberani merupakan sifat yang baik disandang
oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang Allah kerana keberanian
mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani sehingga tidak mungkin
disandangkan kepadaNya. Ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan
sebagainya. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan tetapi sifat
kesempurnaan manusia ini tidak mungkin pula disandangNya karena ini
mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, disamping
menunjukkan keperluan, sedang hal tersebut mustahil bagiNya.
Demikianlah kata Husna menunjukkan bahawa nama-namaNya adalah
nama-nama yang amat sempurna tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.
Nama / sifat-sifat yang disandangNya itu, terambil dari bahasa manusia,
namun kata yang digunakan saat disandang manusia pasti selalu mengandung makna
keperluan serta kekurangan, walaupun ada diantaranya yang tidak dapat
dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat dipisahkan.
Keberadaan pada satu tempat atau arah, tidak mungkin dapat dipisahkan dari
manusia dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Tuhan, kerana
kemustahilan pemisahannya itu. Ini berbeda dengan kata “kuat”. Bagi manusia,
kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-otot
yang berfungsi baik, dalam arti kita memerlukan hal tersebut untuk memiliki
kekuatan. Keperluan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah,
sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat difahami dengan menyingkirkan dari
nama/sifat tersebut hal-hal yang mengandung makna kekurangan atau keperluan
itu.
No.
|
Nama
|
Arab
|
Indonesia
|
الله
|
Allah
|
||
1
|
الرحمن
|
Yang
Maha Pengasih
|
|
2
|
الرحيم
|
Yang
Maha Penyayang
|
|
3
|
الملك
|
Yang
Maha Merajai/Memerintah
|
|
4
|
القدوس
|
Yang
Maha Suci
|
|
5
|
السلام
|
Yang
Maha Memberi Kesejahteraan
|
|
6
|
المؤمن
|
Yang
Maha Memberi Keamanan
|
|
7
|
المهيمن
|
Yang
Maha Pemelihara
|
|
8
|
العزيز
|
Yang
Maha Perkasa
|
|
9
|
الجبار
|
Yang
Memiliki Mutlak Kegagahan
|
|
10
|
المتكبر
|
Yang
Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran
|
|
11
|
الخالق
|
Yang
Maha Pencipta
|
|
12
|
البارئ
|
Yang
Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan)
|
|
13
|
المصور
|
Yang
Maha Membentuk Rupa (makhluknya)
|
|
14
|
الغفار
|
Yang
Maha Pengampun
|
|
15
|
القهار
|
Yang
Maha Memaksa
|
|
16
|
الوهاب
|
Yang
Maha Pemberi Karunia
|
|
17
|
الرزاق
|
Yang
Maha Pemberi Rezeki
|
|
18
|
الفتاح
|
Yang
Maha Pembuka Rahmat
|
|
19
|
العليم
|
Yang
Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
|
|
20
|
القابض
|
Yang
Maha Menyempitkan (makhluknya)
|
|
21
|
الباسط
|
Yang
Maha Melapangkan (makhluknya)
|
|
22
|
الخافض
|
Yang
Maha Merendahkan (makhluknya)
|
|
23
|
الرافع
|
Yang
Maha Meninggikan (makhluknya)
|
|
24
|
المعز
|
Yang
Maha Memuliakan (makhluknya)
|
|
25
|
المذل
|
Yang
Maha Menghinakan (makhluknya)
|
|
26
|
السميع
|
Yang
Maha Mendengar
|
|
27
|
البصير
|
Yang
Maha Melihat
|
|
28
|
الحكم
|
Yang
Maha Menetapkan
|
|
29
|
العدل
|
Yang
Maha Adil
|
|
30
|
اللطيف
|
Yang
Maha Lembut
|
|
31
|
الخبير
|
Yang
Maha Mengenal
|
|
32
|
الحليم
|
Yang
Maha Penyantun
|
|
33
|
العظيم
|
Yang
Maha Agung
|
|
34
|
الغفور
|
Yang
Maha Pengampun
|
|
35
|
الشكور
|
Yang
Maha Pembalas Budi (Menghargai)
|
|
36
|
العلى
|
Yang
Maha Tinggi
|
|
37
|
الكبير
|
Yang
Maha Besar
|
|
38
|
الحفيظ
|
Yang
Maha Memelihara
|
|
39
|
المقيت
|
Yang
Maha Pemberi Kecukupan
|
|
40
|
الحسيب
|
Yang
Maha Membuat Perhitungan
|
|
41
|
الجليل
|
Yang
Maha Mulia
|
|
42
|
الكريم
|
Yang
Maha Mulia
|
|
43
|
الرقيب
|
Yang
Maha Mengawasi
|
|
44
|
المجيب
|
Yang
Maha Mengabulkan
|
|
45
|
الواسع
|
Yang
Maha Luas
|
|
46
|
الحكيم
|
Yang
Maha Maka Bijaksana
|
|
47
|
الودود
|
Yang
Maha Mengasihi
|
|
48
|
المجيد
|
Yang
Maha Mulia
|
|
49
|
الباعث
|
Yang
Maha Membangkitkan
|
|
50
|
الشهيد
|
Yang
Maha Menyaksikan
|
|
51
|
الحق
|
Yang
Maha Benar
|
|
52
|
الوكيل
|
Yang
Maha Memelihara
|
|
53
|
القوى
|
Yang
Maha Kuat
|
|
54
|
المتين
|
Yang
Maha Kokoh
|
|
55
|
الولى
|
Yang
Maha Melindungi
|
|
56
|
الحميد
|
Yang
Maha Terpuji
|
|
57
|
المحصى
|
Yang
Maha Mengkalkulasi
|
|
58
|
المبدئ
|
Yang
Maha Memulai
|
|
59
|
المعيد
|
Yang
Maha Mengembalikan Kehidupan
|
|
60
|
المحيى
|
Yang
Maha Menghidupkan
|
|
61
|
المميت
|
Yang
Maha Mematikan
|
|
62
|
الحي
|
Yang
Maha Hidup
|
|
63
|
القيوم
|
Yang
Maha Mandiri
|
|
64
|
الواجد
|
Yang
Maha Penemu
|
|
65
|
الماجد
|
Yang
Maha Mulia
|
|
66
|
الواحد
|
Yang
Maha Tunggal
|
|
67
|
الاحد
|
Yang
Maha Esa
|
|
68
|
الصمد
|
Yang
Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
|
|
69
|
القادر
|
Yang
Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
|
|
70
|
المقتدر
|
Yang
Maha Berkuasa
|
|
71
|
المقدم
|
Yang
Maha Mendahulukan
|
|
72
|
المؤخر
|
Yang
Maha Mengakhirkan
|
|
73
|
الأول
|
Yang
Maha Awal
|
|
74
|
الأخر
|
Yang
Maha Akhir
|
|
75
|
الظاهر
|
Yang
Maha Nyata
|
|
76
|
الباطن
|
Yang
Maha Ghaib
|
|
77
|
الوالي
|
Yang
Maha Memerintah
|
|
78
|
المتعالي
|
Yang
Maha Tinggi
|
|
79
|
البر
|
Yang
Maha Penderma
|
|
80
|
التواب
|
Yang
Maha Penerima Tobat
|
|
81
|
المنتقم
|
Yang
Maha Pemberi Balasan
|
|
82
|
العفو
|
Yang
Maha Pemaaf
|
|
83
|
الرؤوف
|
Yang
Maha Pengasuh
|
|
84
|
مالك
الملك
|
Yang
Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
|
|
85
|
الجلال
ذو الإكرام و
|
Yang
Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
|
|
86
|
المقسط
|
Yang
Maha Pemberi Keadilan
|
|
87
|
الجامع
|
Yang
Maha Mengumpulkan
|
|
88
|
الغنى
|
Yang
Maha Kaya
|
|
89
|
المغنى
|
Yang
Maha Pemberi Kekayaan
|
|
90
|
المانع
|
Yang
Maha Mencegah
|
|
91
|
الضار
|
Yang
Maha Penimpa Kemudharatan
|
|
92
|
النافع
|
Yang
Maha Memberi Manfaat
|
|
93
|
النور
|
Yang
Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)
|
|
94
|
الهادئ
|
Yang
Maha Pemberi Petunjuk
|
|
95
|
البديع
|
Yang
Indah Tidak Mempunyai Banding
|
|
96
|
الباقي
|
Yang
Maha Kekal
|
|
97
|
الوارث
|
Yang
Maha Pewaris
|
|
98
|
الرشيد
|
Yang
Maha Pandai
|
|
99
|
الصبور
|
Yang
Maha Sabar
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam mengenal keberadaan Allah, kita dituntut
menjadi seorang yang beriman dan beramal sholeh. Allah sangat menyayangi
manusia yang senantiasa
mengingat-Nya. Allah menjanjikan surga, keberkahan, keridhoan, kemerdekaan,
sera kemuliaan di dalam hidup kita.
Mengenal Allah yang benar
adalah dengan menimbulkan rasa malu, cinta dan takut kepada-Nya. Yang dimaksud
malu, karena merasa membawa beban dosa. Cinta yaitu rindu untuk menghadap Allah
dan senang memperoleh pahala-Nya. Dan takut kepada Allah ialah takut terkena
siksa-Nya. Jika hal tersebut telah timbul di dalam hati kita, insyaAllah kita
telah mampu mengenal Allah dengan cinta.
Demikan uraian singkat
mengenai pemahaman aqidah meyakini
keberadaan Allah melalui akal dan Asmaul Husna, semoga
nilai-nilai asmaul husna mewarnai setiap hembusan nafas dalam kehidupan
sehingga tercipta ketenangan hidup, keharmonisan, keserasian, kerukunan dan
kesejahteraan dengan
bertambahnya iman dan taqwa yang dibingkai oleh aqidah Islamiyah.
Dengan
memahami sifat-sifat Allah dan Asmaul Husna aqidah kita semakin kuat sehingga
sikap dan perbuatan kita sehari-hari adalah nilai-nilai ketuhanan yang dapat
membawa kemaslahatan bagi seluruh mahluk.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro. 2005.
Disampaikan
pada Perkuliahan Pengantar Agama Islam “Aqidah Islamiyah” oleh Dra. Siti
Badriyah, M.SI. di STIT Pemalang Tahun 2012
http://imatuzzahra.wordpress.com/2013/02/26/iman-kepada-allah/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014, pukul
15.15
http://sugandaindra.blogspot.com/2013/09/makalah-aqdah-ahlakmemahami-aqidah.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014 pukul
15.30.
Mengenal ALLAH
Melalui Asma ‘Ul Husna dari Buku Menyingkap Tabir-tabir Ilahi karangan
Prof. DR. M. Quraish Shihab (http://www.pustakaafaf.com/mengenal-allah-melalui-asma-ul-husna/).
MZ,
Labib. Pintar
Aqidah dan Syariat. Surabaya : Bintang Usaha Jaya. 2000).
Shalih
bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Kitab Tauhid I. Jakarta : Yayasan Al Sofwa. 2003.
Syukur,
M. Amin. Pengantar
Studi Islam. Semarang
: Pustaka Nuun.
2010.
Thoha,
Chabib.
dkk, Metodologi Pengajaran Agama. Semarang : Pustaka Pelajar. 2004.
[1]
M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang : Pustaka Nuun, 2010),
hlm. 35
[2] http://imatuzzahra.wordpress.com/2013/02/26/iman-kepada-allah/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014, pukul 15.15
[3]
Ibid.
[4]
Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang : Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 88
[5]
Disampaikan pada Perkuliahan Pengantar Agama Islam “Aqidah Islamiyah”
oleh Dra. Siti Badriyah, M.SI. di STIT Pemalang Tahun 2012
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro,
2005), hlm.75
[7]
Ibid, hlm. 406.
[8]
Ibid, hlm. 592.
[9] http://sugandaindra.blogspot.com/2013/09/makalah-aqdah-ahlakmemahami-aqidah.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014 pukul 15.30.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12] Mengenal ALLAH Melalui Asma ‘Ul Husna dari Buku Menyingkap
Tabir-tabir Ilahi karangan Prof. DR. M. Quraish Shihab (http://www.pustakaafaf.com/mengenal-allah-melalui-asma-ul-husna/).
[13]
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 174.
[14]
Ibid, hlm. 293.
[15]
Ibid, hlm. 548.
[16]
Ibid, hlm. 312.
[17]
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid I, (Jakarta :
Yayasan Al Sofwa, 2003), hlm. 102.
[18]
Labib MZ, Pintar Aqidah dan Syariat, (Surabaya : Bintang Usaha Jaya,
2000), hlm. 185-204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar