Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

MASA DISINTEGRASI



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Bani Abbas mencapai masa keemasannya hanya pada periode pertama. Setelah itu dinasti ini mulai menurun terutama di bidang politik. Ini disebabkan karena para penguasa cenderung memilih untuk hidup mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Ummayah. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Abass.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang politik. Kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.[1]
Dalam makalah ini permaslahan yang akan dibahas yaitu masa disintegrasi (1000-1250 M) diantaranya membahas tentang dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan dari kekuasaan di pusat pemerintahan Abbasiyah dan kondisi perkembangan intelektual dalam Islam.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa penyebab terjadinya disintegrasi?
2.      Bagaimana perkembangan intelektual dalam Islam pada masa disintegrasi?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Masa Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.
Benih-benih disintegrasi mulai muncul pada saat penurunan tahta dari Harun ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifahan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin dan pada putranya yang lebih muda yaitu Al-Ma’mun. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya dan megklaim khalifah pada tahun 813 H, namun perang sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan gubernur Khurasa dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut kekuasaan Al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasi oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur barat.[2]
  
B.     Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu. Dengan pembayaran upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.[3]
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki kekuasaan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.[4]
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :[5]
1.      Yang berbangsa Persia :
a.       Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.      Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c.       Samaniyah di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d.      Sajiyyah di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e.       Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
2.      Yang berbangsa Turki
a.       Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.      Ikhsyidiyahdi Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.       Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d.      Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3.      Yang berbangsa Kurdi
a.       Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b.      Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c.       Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4.      Yang berbangsa Arab
a.       Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b.      Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c.       Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
5.      Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
a.       Umawiyah di spanyol
b.      Fathimiyah di mesir
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :[6]
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.
2.      Dengan profesionalitas angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keungan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar.

C.    Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota bani Sa’idah di Madinah. Akan tetapi, karena pemahaman keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.[7]
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dna mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun, dibalik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk dapat menduduki kursi khalifah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khalifah itu pula, Muawiyah, gubernur Damaskus, memberontak. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Mukhtar.[8]
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Ummayah memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah-tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Dengan kekuatan militer Bani Ummayah, beberapa dinasti kecil yang memerdekakan diri dari Baghdad dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembanguan kanal-kanal, masjid-masjid beberapa rumah sakit dan sejumlah bangunan umum lainnya.[9]
Kekuatan politik bani Buwaih tidak bertahan lama. Kekuasaan bani Buwaih akhirnya jatuh ke tangan Saljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khalifah Abbasiyah. Dinasti Saljuk berasal dari kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syi’ah.[10]
Dinasti Saljuk diakui sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika itu. Diantara jasa-jasanya antara lain :
1.      Memperluas masjid al-Haram dan masjid Nabawi
2.      Pembangunan rumah sakit di Naisabur
3.      Pembangunan gedung peneropong bintang
4.      Pembangunan sarana pendidikan.[11]
Di bawah pemerintahan Malik Syah kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya, wilayah kekuasaan terbentang luas dari Kasygar. Setelah kematian Malik Syah, sejumlah perang antara putra-putranya ditambah berbagai kerusuhan telah melemakan otoritas Saljuk dan mengakibatkan hancurnya pemerintahan.

D.    Perang Salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.[12]
1.      Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.[13]

2.      Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.[14]

3.      Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[15]

E.     Sebab-sebab Kemunduran Bani Abbasiyah
Keruntuhan bani Abbasiyah banyak disebabkan oleh kelemahan dari kalangan mereka sendiri, antara lain kekurang percayaan khalifah terhadap warga negara menjadi tentara seperti dari Turki, hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijaksanaan khalifah, akan tetapi bahkan perkembangan selanjutnya orang Turki dapat menguasai jabatan-jabatan pemerintahan di Baghdad, kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah.
Pada abad ke-13 tenaga intelektual dan hasil-hasil yang tiada taranya itu dihancurkan oleh bangsa Mongol pada waktu mereka menguasai Baghdad dan para penduduk banyak yang dibunuh.[16]
Beberapa fakto lain yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah :
1.      Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Ummayah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Budak-budak bangsa Turki dan Persia dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.[17]
2.      Kemerosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersama kemunduran di bidang politik. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak dan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi bayar upeti. Sedangkan, pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.[18]
3.      Konflik keagamaan
      Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik anatara muslim dan zindiq atau ahlus sunnah dengan syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Aliran mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Dengan didukung penguasa aliran asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya.[19]
4.      Ancaman dari luar
Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kahlifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II.[20]

F.     Perkembangan Intelektual dalam Masa Disintegrasi
Pada masa disintegrasi yang dimulai dengan berdirinya dinasti Thahiriyah, perkembangan intelektual mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.[21]
1.      Ilmu Sastra
Muncul tokoh-tokoh seperti :
a.       Abdul ‘Alla al-Ma’arry, seorang penyair filosuf.
b.      Pujangga Proza Shabi, bekerja dibeberapa administrasi pemerintah.
c.       Shahib Ibnu Ubbad, pujangga yang pernah menjabat materi di masa Fakhrud Daulah. Dia terkenal seorang syi’ah yang sangat fanatik.
d.      Ulama penyair, Abu Bakar Khuwarizmi
e.       Penyair pengarang Badie’uz Zaman Hamdani
f.       Pengarang penyair Ibnu ‘Amied.
2.      Ilmu Filsafat dan Kedokteran
Muncul tokoh-tokoh seperti :
a.       Muhammad ibn Zakaria ar-Razi, seorang filosofi dari kedokteran yang terkenal.
b.      Ali ibn Abbas al-Majusi, dokter pribadi dari ‘Adhudud Daulah dan sekaligus pengarang dari buku “Kamil as-Shina’at”.
3.      Hukum dan Politik
Tokohnya dalam bidang ini adalah Imam Mawardi, seorang pengarang ilmu politik yang sangat aktif, penulis dari “Al-Ahkam as-Sulthaniyah” tentang hukum pemerintah.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Disintergasi muncul akibat adanya perpecaan dalam pemerintah Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak akhir pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat putranya yaitu Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar. Tapi walaupun begitu perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.

B.     Saran
Kami menyarankan kepada kita semua untuk mempelajari dan memahami masa disintegrasi kekhalifahan Islam agar kita mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap keutuhan dan kesatuan kita sebagai umt Islam.











DAFTAR PUSTAKA


Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Islamiyah II). Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998.

Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.



[1] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 111.
[2] Ibid, hlm. 112.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 63.
[4] Ibid, hlm. 64
[5] Fatah Syukur, Op. Cit, hlm. 113.
[6] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 66.
[7] Ibid, hlm. 67.
[8] Ibid, hlm. 68.
[9] Fatah Syukur, Op. Cit, hlm. 114
[10] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 73.
[11] Fatah Syukur, Op.Cit, hlm. 115.
[12] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 76.
[13] Ibid, hlm. 77
[14] Ibid, hlm. 78.
[15] Ibid, hlm. 79.
[16] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Islamiyah II),(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 12.
[17] Fatah Syukur, Op.Cit, hlm. 116
[18] Log. Cit, hlm. 116.
[19] Ibid, hlm. 117.
[20] Log. Cit, hlm. 117
[21] Ibid, hlm. 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar