BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bani Abbas mencapai masa keemasannya
hanya pada periode pertama. Setelah itu dinasti ini mulai menurun terutama di bidang
politik. Ini disebabkan karena para penguasa cenderung memilih untuk hidup
mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.
Disintegrasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Ummayah. Dengan adanya
kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
dari persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas
dari genggaman penguasa Abass.
Faktor lain yang menyebabkan peran
politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan
Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang politik. Kondisi ekonomi
yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.[1]
Dalam makalah ini permaslahan yang
akan dibahas yaitu masa disintegrasi (1000-1250 M) diantaranya membahas tentang
dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan dari kekuasaan
di pusat pemerintahan Abbasiyah dan kondisi perkembangan intelektual dalam
Islam.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah
dipaparkan di atas maka rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Apa penyebab terjadinya disintegrasi?
2. Bagaimana perkembangan
intelektual dalam Islam pada masa disintegrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang
terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.
Benih-benih disintegrasi
mulai muncul pada saat penurunan tahta dari Harun ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid
telah mewariskan tahta kekhalifahan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin dan pada
putranya yang lebih muda yaitu Al-Ma’mun. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid,
Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya
sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh
militer Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan
Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan.
Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya dan megklaim khalifah
pada tahun 813 H, namun perang sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan
militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifahan
Al-Ma’mun juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah,
yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan gubernur Khurasa dan menjadi
jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut kekuasaan
Al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji
jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk
menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan
sebagai gantinya pemerintahan dikuasi oleh sebuah persekutuan khalifah dengan
penguasa gubernur barat.[2]
B. Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari
Baghdad
Disintegrasi dalam bidang
politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan
terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani
Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhanya,
sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam.
Ada kemungkinan bahwa para
khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari
propinsi-propinsi tertentu. Dengan
pembayaran upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah
tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani
Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada
politik dan ekspansi.[3]
Akibat dari kebijaksanaan yang
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan
yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur
oleh khalifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di
Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulanya patuh
membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah
sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya
menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya
keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan.
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki
kekuasaan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen.[4]
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :[5]
1.
Yang berbangsa Persia :
a.
Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.
Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c.
Samaniyah
di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d.
Sajiyyah
di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e.
Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H /
932-1055 M)
2.
Yang berbangsa Turki
a.
Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.
Ikhsyidiyahdi Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.
Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d.
Dinasti
Seljuk dan cabang-cabangnya
3.
Yang berbangsa Kurdi
a.
Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b.
Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c.
Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4.
Yang berbangsa Arab
a.
Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b.
Aghlabiyah
di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c.
Dulafiyah
di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
5.
Yang
mengaku dirinya sebagai khalifah
a.
Umawiyah
di spanyol
b.
Fathimiyah
di mesir
Faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan
diri, adalah :[6]
1. Luasnya wilayah kekuasaan
daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.
2. Dengan profesionalitas
angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keungan negara sangat sulit
karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar.
C. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan
peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan
Islam sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak
menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin setelah
ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan
dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat Arab dan
ajaran demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat
diantara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota bani Sa’idah di Madinah. Akan tetapi, karena pemahaman
keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan
itu dapat diselesaikan dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.[7]
Pertumpahan darah pertama
dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali
tidak mau menghukum para pembunuh Usman dna mereka menuntut bela terhadap darah
Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun, dibalik alasan itu, menurut Ahmad
Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang
banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk dapat menduduki kursi
khalifah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar
memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan
posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khalifah itu pula, Muawiyah,
gubernur Damaskus, memberontak. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan
yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini
sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti
pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Mukhtar.[8]
Pada pemerintahan bani Abbas,
perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya.
Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki
pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), Daulah
Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Ummayah
memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung
tersendiri di tengah-tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Dengan kekuatan
militer Bani Ummayah, beberapa dinasti kecil yang memerdekakan diri dari
Baghdad dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Jasa Bani Buwaih juga terlihat
dalam pembanguan kanal-kanal, masjid-masjid beberapa rumah sakit dan sejumlah
bangunan umum lainnya.[9]
Kekuatan politik bani Buwaih tidak
bertahan lama. Kekuasaan bani Buwaih akhirnya jatuh ke tangan Saljuk.
Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khalifah
Abbasiyah. Dinasti Saljuk berasal dari kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah
Turkistan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih
baik setelah dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak kewibawaannya dalam bidang
agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syi’ah.[10]
Dinasti Saljuk diakui
sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika itu. Diantara
jasa-jasanya antara lain :
1. Memperluas masjid al-Haram
dan masjid Nabawi
2. Pembangunan rumah sakit di
Naisabur
3. Pembangunan gedung peneropong
bintang
4. Pembangunan sarana
pendidikan.[11]
Di bawah pemerintahan Malik Syah
kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya, wilayah kekuasaan terbentang luas dari Kasygar.
Setelah kematian Malik Syah, sejumlah perang antara putra-putranya ditambah
berbagai kerusuhan telah melemakan otoritas Saljuk dan mengakibatkan hancurnya
pemerintahan.
D. Perang
Salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam
gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart,
tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000
prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr,
Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan
Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Bait
al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan
di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang
ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka.
Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada
tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya
melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi
dalam tiga periode.[12]
1.
Periode
Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang
Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju
Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh
Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18
Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha
(Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai
raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan
kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan
Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu,
tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan
kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.[13]
2.
Periode
Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak,
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin
Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang
suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad
II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria.
Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak
berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri
pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian
dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah
di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin
sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard
the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini
bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan
Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2
Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang
Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.[14]
3.
Periode
Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh
raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu
sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari
dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick
tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya,
Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir
dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib
yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai
umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara
Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu
terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[15]
E. Sebab-sebab Kemunduran
Bani Abbasiyah
Keruntuhan bani Abbasiyah banyak
disebabkan oleh kelemahan dari kalangan mereka sendiri, antara lain kekurang
percayaan khalifah terhadap warga negara menjadi tentara seperti dari Turki,
hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijaksanaan khalifah,
akan tetapi bahkan perkembangan selanjutnya orang Turki dapat menguasai
jabatan-jabatan pemerintahan di Baghdad, kemudian mengambil alih kekuasaan
pemerintah.
Pada abad ke-13 tenaga intelektual dan
hasil-hasil yang tiada taranya itu dihancurkan oleh bangsa Mongol pada waktu
mereka menguasai Baghdad dan para penduduk banyak yang dibunuh.[16]
Beberapa fakto lain yang menyebabkan
kemunduran dinasti Abbasiyah :
1. Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Ummayah berkuasa. Keduanya
sama-sama tertindas. Budak-budak bangsa Turki dan Persia dijadikan pegawai dan
tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas mereka
dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh
bangsa Persia dan Turki. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.[17]
2. Kemerosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di
bidang ekonomi bersama kemunduran di bidang politik. Menurunnya pendapatan
negara itu disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak terjadi
kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak dan
banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi bayar upeti.
Sedangkan, pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para
pejabat melakukan korupsi.[18]
3. Konflik keagamaan
Konflik
yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik anatara muslim dan
zindiq atau ahlus sunnah dengan syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam
Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh
golongan salaf. Aliran mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih.
Dengan didukung penguasa aliran asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya.[19]
4. Ancaman dari luar
Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kahlifah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung
beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Kedua, serangan
tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam sebagaimana telah disebutkan, orang-orang
Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II.[20]
F. Perkembangan Intelektual
dalam Masa Disintegrasi
Pada masa disintegrasi yang dimulai
dengan berdirinya dinasti Thahiriyah, perkembangan intelektual mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh
intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat
dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.[21]
1. Ilmu Sastra
Muncul
tokoh-tokoh seperti :
a. Abdul ‘Alla al-Ma’arry,
seorang penyair filosuf.
b. Pujangga Proza Shabi, bekerja
dibeberapa administrasi pemerintah.
c. Shahib Ibnu Ubbad, pujangga
yang pernah menjabat materi di masa Fakhrud Daulah. Dia terkenal seorang syi’ah
yang sangat fanatik.
d. Ulama penyair, Abu Bakar
Khuwarizmi
e. Penyair pengarang Badie’uz
Zaman Hamdani
f. Pengarang penyair Ibnu
‘Amied.
2. Ilmu Filsafat dan Kedokteran
Muncul
tokoh-tokoh seperti :
a. Muhammad ibn Zakaria ar-Razi,
seorang filosofi dari kedokteran yang terkenal.
b. Ali ibn Abbas al-Majusi,
dokter pribadi dari ‘Adhudud Daulah dan sekaligus pengarang dari buku “Kamil
as-Shina’at”.
3. Hukum dan Politik
Tokohnya
dalam bidang ini adalah Imam Mawardi, seorang pengarang ilmu politik yang
sangat aktif, penulis dari “Al-Ahkam as-Sulthaniyah” tentang hukum
pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari
kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Disintergasi muncul akibat adanya
perpecaan dalam pemerintah Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak
akhir pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau
mengangkat putranya yaitu Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbas adalah persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan,
dan ancaman dari luar. Tapi walaupun begitu perkembangan intelektual dalam masa
disintegrasi tetap menunjukkan perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan
munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya baik itu dalam bidang ilmu
sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
B. Saran
Kami menyarankan kepada kita semua untuk
mempelajari dan memahami masa disintegrasi kekhalifahan Islam agar kita
mengetahui dampak dari disintegrasi terhadap keutuhan dan kesatuan kita sebagai
umt Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni,
M. Yusran. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah
Islamiyah II). Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998.
Syukur,
Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar