PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
merupakan hal yang penting dan memerlukan perhatian yang serius. Banyak
kritikan dari praktisi pendidikan, akademisi dan masyarakat yang sering
dilontarkan kepada sistem pendidikan. Kritik tersebut sangat komplek, di mulai
dari sistem pendidikan yang berubah-ubah ketika ganti menteri pendidikan, kurikulum
yang kurang tepat dengan mata pelajaran yang terlalu banyak dan tidak berfokus
pada hal-hal yang seharusnya diberikan, dan lain sebagainya, namun demikian,
masalah sering menjadi perhatian setiap sistem pendidikan problem penilaian
hasil belajar yang kurang efektif.
Kritik
dari berbagai pihak tentang penilaian hasil belajar tersebut merupakan hal yang
wajar, sebab penilaian hasil belajar merupakan kerangka dasar untuk mengetahui
kualitas dan mutu pendidikan. Hal tersebut dikarenakan, penilaian hasil belajar
sangat terkait dengan keseluruhan proses belajar mengajar, tujuan pengajaran
dan proses belajar mengajar. Penilaian hasil belajar mengajar merupakan bagian
dalam proses pendidikan. Penilaian hasil belajar pencapaian belajar siswa tidak
hanya menyangkut aspek-aspek kognitifnya saja, tetapi juga mengenai aplikasi
atau performance, aspek afektif yang menyangkut sikap serta
internalisasi nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dibina melalui mata ajar
atau mata kuliah yang diberikannya. Tujuan penilaian hasil belajar untuk
mengetahui perbedaan kemampuan peserta didik dan mengukur keberhasilan mereka,
baik secara individu maupun kelompok.
Masalah
afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang.
Hal ini di sebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak
semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus
merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif
dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif
dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh
karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah
afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.
Melihat
pentingnya evaluasi pendidikan, khususnya mengukur kegiatan belajar mengajar,
maka penilaian hasil belajar pendidikan harus dilakukan pada semua mata
pelajaran. Evaluasi dilaksanakan tidak hanya mengukur aspek kognitif dan
psikomotorik, namun juga harus aspek afektif. Oleh sebab itu penulis berasumsi
untuk membuat makalah yang berjudul “ Penilaian Autentik Terhadap Hasil Belajar
Afektif”.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas maka pemakalah membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud hasil belajar afektif ?
2.
Apa
saja komponen yang harus ada dalam penyusunan tes afektif ?
3.
Bagaimana
prosedur penyusunan tes afektif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hasil Belajar Ranah
Afektif
Ranah afektif adalah ranah
yang berkaitan dengan sikap dan nilai.[1]Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan
dengan aspek-aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap
moral dan sebagainya.
Ciri-ciri hasil belajar
afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Evaluasi ranah afektif ialah penilaian terhadap aspek sikap siswa
untuk mengetahui sejauhmana perilaku siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang diharapkan.
Penilaian sikap adalah penilaian terhadap
perilaku dan keyakinan siswa terhadap suatu obyek, fenomena, atau masalah.
Sikap dapat dibentuk dan merupakan ekspresi perasaan, nilai, atau pandangan
hidup yang terkait dengan kecenderungan bertindak seseorang dalam merespon
sesuatu/objek. Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: komponen afektif,
komponen kognitif, dan komponen konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang
dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek. Komponen
kognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai objek. Adapun komponen konatif
adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu
berkenaan dengan kehadiran objek sikap.[2]
Dalam aspek afektif ini peserta didik dinilai sejauh mana ia mampu
menginternalisasikan nilai-nilai pembelajaran ke dalam dirinya. Aspek afektif
ini erat kaitannya dengan tata nilai dan konsep diri. Dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam, aqidah akhlak merupakan salah satu pelajaran yang tidak
terpisahkan dari domain/aspek afektif.Komponen afektif adalah
perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek.
Ranah afektif terbagi
menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: [3]
1)
Receiving
atau attending (menerima atau memperhatikan)
Adalah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia untuk
menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau
menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai
itu. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving, misalnya ialah
peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak
berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
2)
Responding (menanggapi)
Mengandung
arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini
setingkat dengan jenjang receiving.Contoh
hasil belajar ranah afektif jenjang responding ialah peserta didik
tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi,
ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
3)
Valuing (menilai / menghargai)
Menilai atau menghargai artinya
memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau
obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa
kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang
lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan
dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima
nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau
fenomena, yaitu baik atau buruk.Contoh
hasil belajar afektif jenjang valuing ialah tumbuhnya kemauan yang kuat
pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah
maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
4)
Organization
(mengatur atau mengorganisasikan)
Artinya mempertemukan perbedaan
nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan
umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam
satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan
nilai lain, pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya.Contoh hasil belajar afektif jenjang organization ialah peserta
didik mendukung penegakan disiplin nasional. Mengatur dan mengorganisasikan
merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving,
responding dan valuing.
5)
Characterization
by evalue or calue complex (karakterisasi
dengan suatu nilai atau kompleks nilai)
Yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang,
yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses
internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam
suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya
dan telah mempengaruhi emosinya. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah
memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu
yang lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya
menetap, konsisten dan dapat diramalkan.
Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini ialah siswa telah
memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah
Allah SWT., yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Ashr sebagai pegangan
hidupnya. Dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah,
di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
B.
Penilaian
Kompetensi Afektif / Sikap dalam Kurikulum 2013
Sikap merupakan sebuah
ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang. Dalam
kurikulum 2013, kompetensi sikap dibagi menjadi dua, yaitu sikap spiritual yang
terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap
sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab.[4]Sikap spiritual tertuang
dalam kompetensi inti yang pertama (KI 1) dan sikap sosial tertuang dalam
kompetensi inti yang kedua (KI 2).
Kompetensi
siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan
minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan
melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan
dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap
afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.
Sikap
(spiritual dan sosial) untuk LHB terdiri atas sikap dalam mata pelajaran dan
sikap antar mata pelajaran. Sikap dalam mata pelajaran diisi oleh setiap guru
mata pelajaran berdasarkan rangkuman hasil pengamatan guru, penilaian diri,
penilaian sejawat, dan jurnal, ditulis dengan predikat Sangat Baik (SB), Baik
(B), Cukup (C), atau Kurang (K). Sikap antar mata pelajaran diisi oleh wali
kelas setelah berdiskusi dengan semua guru mata pelajaran, disimpulkan secara
utuh dan ditulis dengan deskripsi koherensi.
Untuk penilaian
Sikap Spiritual dan Sosial (KI-1 dan KI-2) menggunakan nilai Kualitatif sebagai
berikut:
Bentuk Nilai
|
Nilai (Angka)
|
SB
= Sangat Baik
|
= 80 – 100
|
B =
Baik
|
= 70 – 79
|
C =
Cukup
|
= 60 – 69
|
K
= Kurang
|
= < 60
|
C.
Karakteristik
Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus
memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama,
perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal
perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas,
arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan.
Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari
senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat
dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau
negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk.
Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai
negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka
karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu
pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan
merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target.
Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial,
atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan.
Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak
diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di
kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah
tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik
afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral :[5]
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan
untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat
dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian
melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat
diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan
konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan
untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975)
sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif
atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta
didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata
pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999).
Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya PAI, harus lebih positif
setelah peserta didik mengikuti pembelajaran PAI dibanding sebelum mengikuti
pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan
pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus
membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang
membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah
suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang
untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk
tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang
tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara
umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan
untuk:
a.
mengetahui minat peserta didik
sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b.
mengetahui bakat dan minat peserta
didik yang sebenarnya,
c.
pertimbangan penjurusan dan
pelayanan individual peserta didik,
d.
menggambarkan keadaan langsung di
lapangan/kelas,
e.
mengelompokkan peserta didik yang
memiliki minat sama,
f.
acuan dalam menilai kemampuan
peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam
penyampaian materi,
g.
mengetahui tingkat minat peserta
didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h.
bahan pertimbangan menentukan
program sekolah,
i.
meningkatkan motivasi belajar
peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah
evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang
dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah
afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi
seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya
bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai
tinggi.
Konsep diri ini penting untuk
menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta
didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan
motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat
dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai
berikut.
a.
Pendidik mampu mengenal kelebihan
dan kekurangan peserta didik.
b.
Peserta didik mampu merefleksikan
kompetensi yang sudah dicapai.
c.
Pernyataan yang dibuat sesuai dengan
keinginan penanya.
d.
Memberikan motivasi diri dalam hal
penilaian kegiatan peserta didik.
e.
Peserta didik lebih aktif dan
berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f.
Dapat digunakan untuk acuan menyusun
bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
g.
Peserta didik dapat mengukur
kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
h.
Peserta didik dapat mengetahui
ketuntasan belajarnya.
i.
Melatih kejujuran dan kemandirian
peserta didik.
j.
Peserta didik mengetahui bagian yang
harus diperbaiki.
k.
Peserta didik memahami kemampuan
dirinya.
l.
Pendidik memperoleh masukan objektif
tentang daya serap peserta didik.
m.
Mempermudah pendidik untuk
melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang
dilakukan.
n.
Peserta didik belajar terbuka dengan
orang lain.
o.
Peserta didik mampu menilai dirinya.
p.
Peserta didik dapat mencari materi
sendiri.
q.
Peserta didik dapat berkomunikasi
dengan temannya.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968)
merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang
dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap
mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau
situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi
ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah
nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat
dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai
disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas,
atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan
kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek,
aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap,
dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik
menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik
untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap
masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas
tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan
antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral
seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau
dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral berkaitan
dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan
terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain,
membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral
juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip,
nilai, dan keyakinan seseorang. Ranah afektif lain yang penting adalah:
a.
Kejujuran: peserta didik harus
belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
b.
Integritas: peserta didik harus
mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
c.
Adil: peserta didik harus berpendapat
bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
d.
Kebebasan: peserta didik harus yakin
bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara
maksimal kepada semua orang.
D.
Teknik Penilaian Sikap
Teknik yang dapat digunakan dalam penilaian
afektif peserta didik adalah sebagai berikut :[6]
a)
Teknik Observasi
Kemendikbud (2013)
menjelaskan bahwa observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara
berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator
perilaku yang diamati. Observasi dilaksanakan oleh guru secara langsung tanpa
perantara orang lain. Sedangkan observasi tidak langsung dengan bantuan orang
lain, seperti guru lain, orang tua, siswa, dan karyawan sekolah.
Teknik penilaian
observasi dapat digunakan untuk menilai ketercapaian sikap spiritual dan sikap
sosial. Pengembangan teknik penilaian observasi untuk menilai sikap spiritual
dan sikap sosial berasarkan pada kompetensi inti kedua ranah ini. Sikap
spiritual ditunjukkan dengan perilaku beriman, bertaqwa, dan bersyukur.
Sedangkan sikap sosial adalah sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli
(toleransi, gotong royong), santun, dan percaya diri dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya. Sikap spiritual dan sikap sosial dalam kompetensi ini dijabarkan
secara spesifik dalam kompetensi dasar. Oleh karena itu sikap yang diobservasi
juga memperhatikan sikap yang dikembangkan dalam kompetensi dasar.
Bentuk instrumen
yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang berupa daftar cek
atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek
digunakan untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku. Sedangkan
skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku siswa dalam suatu
rentangan sikap.
Pedoman observasi
secara umum memuat pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil
pengamatan sikap atau perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau
perilaku yang positif atau negatif sesuai indikator penjabaran sikap dalam
kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Contoh Rubrik
Penilaian Sikap Santun
Kriteria
|
Skor
|
Indikator
|
Sangat Baik
(SB)
|
4
|
Selalu santun
dalam bersikap dan bertutur kata kepada guru dan teman
|
Baik (B)
|
3
|
Sering santun
dalam bersikap dan bertutur kata kepada guru dan teman
|
Cukup (C)
|
2
|
Kadang-kadang
santun dalam bersikap dan bertutur kata kepada guru dan teman
|
Kurang (K)
|
1
|
Tidak pernah
santun dalam bersikap dan bertutur kata kepada guru dan teman.
|
b)
Teknik Penilaian Diri Sendiri
Penilaian diri
merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik mengemukakan
kelebihan dan kekurangan dirinya, penguasaan kompetensi yang ditargetkan, dan
menghargai, menghayati serta pengamalan perilaku berkepribadian jujur, jujur
adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Skala Likert
adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena
pendidikan. Dalam skala Likert terdapat dua bentuk pernyataan yaitu pernyataan
positif yang berfungsi untuk mengukur sikap positif, dan pernyataan negatif yang
berfungsi untuk mengukur sikap negatif objek sikap.
Contoh Daftar
Cek Penialian Diri
No
|
Pernyataan
|
Ya
|
Tidak
|
1
|
Dalam
penelitian PAI terhadap tatacara khutbah sholat jum’at, saya mencatat data
apa adanya
|
|
|
2
|
Saya
melaksanakan tugas penelitian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
|
|
|
3
|
Saya
melaporkan hasil penelitian sesuai dengan literatur, meskipun tidak didukung
data
|
|
|
4
|
Dsb
|
|
|
c)
Teknik Penilaian diri Terbuka
Peserta didik
mampu untuk menentukan sikap terhadap suatu situasi atau pernyataan yang
membutuhkan tanggapan, lengkap dengan alasan terhadap pilihannya tersebut.
Teknik ini menuntut siswa berani untuk mengungkapkan pendapat pribadi dari
masing-masing siswa. Guru bisa memilah jawaban-jawaban siswa yang mampu
mengarahkan siswa untuk menentukan pilihan yang posistif dalam hidup mereka.
d)
Skala SemanticDifferential
Skala diferensial yaitu skala untuk
mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda maupun checklist,
tetapi tersusun dalam satu garis kontinum di mana jawaban yang sangat positif
terletak dibagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di
bagian kiri garis, atau sebaliknya. Data yang diperoleh melalui pengukuran
dengan skala semantic differential adalah data interval. Skala bentuk
ini biasanya digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang
dimiliki seseorang.
Contoh skala beda Semantik:
Pelajaran ekonomi
a
|
b
|
c
|
d
|
E
|
f
|
g
|
h
|
||
Menyenangkan
|
Membosankan
|
||||||||
Sulit
|
Mudah
|
||||||||
Bermanfaat
|
Sia-sia
|
||||||||
Menantang
|
Menjemukan
|
||||||||
Banyak
|
Sedikit
|
||||||||
Dst.
|
Dst
|
e)
Penilaian Antarteman
Penilaian antar
peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik
untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Aspek kompetensi
yang dinilai adalah kompetensi inti spritual yaitu menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya, dan kompetesi inti sosial yaitu perilaku jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, dan percaya
diri.
Instrumen yang
digunakan untuk penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek dan skala
penilaian (ratingscale) dengan teknik sosiometri berbasis kelas. Guru
dapat menggunakan salah satu dari keduanya atau menggunakan dua-duanya.
Instrumen ini
digunakan sebagai crosscheck terhadap hasil penilaian diri yang
dilakukan oleh peserta didik. Daftar cek disusun oleh pihak sekolah dan dapat
diperbaiki atau disempurnakan setiap semester. Instrumen daftar cek yang
disediakan oleh sekolah sekurang-kurangnya 10 eksemplar untuk setiap peserta
didik atau 20% dari jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar. Peserta
didik dinilai oleh teman satu kelasnya.
f)
Jurnal Harian
Teknik penilaian
selanjutnya adalah Jurnal Harian. Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam
dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan
kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Guru
memberikan penilaian kepada peserta didik dengan memberikan deskripsi terhadap
sikap dan perilaku peserta didik khususnya berkaitan dengan Kompetensi Inti 1
(yang mencakup menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya) dan
Kompetensi Inti 2 (yaitu menghargai dan menghayati perilaku Jujur, disiplin,
tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan
pergaulan dan keberadaannya).
Teknik jurnal
harian memiliki kelebihan dimana peristiwa/kejadian dicatat dengan segera.
Dengan demikian, jurnal bersifat asli dan objektif dan dapat digunakan untuk
memahami siswa dengan lebih tepat. Sementara itu, kelemahan yang ada pada
jurnal adalah reliabilitas yang dimiliki rendah, menuntut waktu yang banyak,
perlu kesabaran dalam menanti munculnya peristiwa sehingga dapat mengganggu
perhatian dan tugas guru, apabila pencatatan tidak dilakukan dengan segera,
maka objektivitasnya berkurang.
Pencatatan
peristiwa pribadi dalam jurnal, membutuhkan perhatian khusus dan guru perlu
mengenal dan memperhatikan perilaku peserta didik baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Aspek-aspek pengamatan ditentukan terlebih dahulu oleh guru sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran yang diajar. Aspek-aspek pengamatan yang
sudah ditentukan tersebut kemudian dikomunikasikan terlebih dahulu dengan
peserta didik di awal semester.
E. Pengukuran Aspek Afektif
Dalam memilih karakterisitik afektif
untuk pengukuran, para pengelola pendidikan harus mempertimbangkan rasional
teoritis dan program sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah
afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada
definisi operasional yang secara langsung mengikuti definisi konseptual.
Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur
ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan
metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat
dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi
psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif
seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam
mengungkap karakteristik afektif diri sendiri. Menurut Lewin (dalam
Andersen, 1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif,
afektif, dan psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau
perbuatan ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh
watak dirinya dan kondisi lingkungan.
Penilaian afektif (sikap) sangat menentukan keberhasilan peserta didik
untuk mencapai ketuntasan dan keberhasilan dalam pembelajaran. Seorang peserta
didik yang tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran tertentu, maka akan
kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara maksimal. Sedangkan peserta
didik yang memiliki minat terhadap mata pelajaran, maka akan sangat membantu
untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara maksimal.
Secara umum aspek afektif yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran
terhadap berbagai mata pelajaran mencakup beberapa hal, sebagai berikut:
1. Penilaian sikap terhadap materi pelajaran. Berawal dari sikap positif
terhadap mata pelajaran akan melahirkan minat belajar, kemudian mudah diberi
motivasi serta lebih mudah dalam menyerap materi pelajaran.
2. Penilaian sikap terhadap guru. Peserta didik perlu memilki sikap positif
terhadap guru, sehingga ia mudah menyerap materi yang diajarkan oleh guru.
3. Penilaian sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki
sikap positif terhadap proses pembelajaran, sehingga pencapaian hasil belajar
bisa maksimal. Hal ini kembali kepada guru untuk pandai-pandai mencari metode
yang kira-kira dapat merangsang peserta didik untuk belajar serta tidak merasa
jenuh.
4. Penilaian sikap yang berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan
dengan suatu materi pelajaran. Misalnya peserta didik mempunyai sikap positif
terhadap upaya sekolah melestarikan lingkungan dengan mengadakan program
penghijauan sekolah.
5. Penilaian sikap yang berkaitan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum
yang relevan dengan mata pelajaran. Peserta didik memiliki sikap positif
terhadap berbagai kompetensi setiap kurikulum yang terus mengalami perkembangan
sesuai dengan kebutuhan.[7]
Sedangkan untuk mengukur sikap dari beberapa aspek yang perlu dinilai,
dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: observasi perilaku,
pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap. Observasi
perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan yang khusus
tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan siswa selama di sekolah.[8]
Contoh guru membuat bagan catatan observasi.
Hari/tanggal
|
Nama siswa/i
|
Catatan
|
Tindak lanjut
|
Senin 12/10/12
|
Ahmad
|
Belajar bahasa
inggris tidak bersemangat
|
Diberi penjelasan
tentang manfaat belajar bahasa inggris
|
Kolom catatan diisi dengan berbagai kejadian yang berhubungan dengan
peserta didik yang bersangkutan baik positif maupun negatif, sedangkan kolom
tindak lanjut diisi dengan upaya-upaya yang ditempuh sebagai solusi dari setiap
kejadian yang menimpa peserta didik.[9]
Pertanyaan langsung dapat dilakukan dengan menanyakan secara langsung
tentang sikap seseorang berkaitan dengan suatu hal,[10] contoh
guru mengajukan pertanyaan tentang bagaimana upaya memberantas tauran di
lingkungan sekolah, kemudian dari jawaban peserta didik, guru dapat mengambil
kesimpulan tentang sikap peserta didik tersebut terhadap suatu objek.
Sedangkan penggunaan skala sikap, baik menggunakan Skala Diferensiasi
Semantik. Teknik ini dapat digunakan pada berbagai bidang, dan teknik ini
sederhana dan mudah diimplementasikan dalam pengukuran dan skala sikap kelas.[11] Contoh
guru membuat skala sikap terhadap kegiatan Ramadhan di sekolah.
Pernyataan
|
Pilihan sikap
|
||||
SS
|
S
|
N
|
TS
|
STS
|
|
Kegiatan di sekolah pada bulan Ramadhan perlu diadakan
|
|||||
Pengaktifan kegiatan Ramadhan kurang menyenangkan
|
|||||
Kegiatan Ramadhan perlu didukung oleh guru & wali murid
|
|||||
Kegiatan Ramadhan untuk mengisi waktu luang
|
Kemudian hasil penilain
sikap dapat digunakan sebagai umpan balik untuk melakukan pembinaan terhadap
peserta didik. Guru dapat memantau setiap perubahan perilaku yang dimunculkan
peserta didik dengan melakukan pengamatan.
F.
Prosedur Penilaian
Ada
beberapa langkah yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan proses
penilaian hasil belajar, yaitu:
1.
Merumuskan
atau mempertegas tujuan-tujuan pengajaran. Mengingat fungsi penilaian hasil
belajar adalah mengukur tercapai tidaknya tujuan pengajaran, maka perlu
dilakukan upaya mempertegas tujuan pengajaran sehingga dapat memberikan arah
terhadap penyusunan alat-alat penilaian.
2.
Mengkaji
kembali materi pengajaran berdasarkan kurikulum dan silabus mata pelajaran. Hal
ini penting mengingat isi tes atau pertanyaan penilaian berkenaan dengan bahan
pengajaran yang diberikan. Penguasaan materi pengajaran sesuai dengan
tujuan-tujuan pengajaran merupakan isi dan sasaran penilaian hasil belajar.
3.
Menyususn
alat-alat penilaian, baik tes maupun non-tes, yang cocok digunakan dalam
menilai jenis-jenis tingkah laku yang tergambar dalam tujuan pengajaran. Dalam
penyusunan alat penilaian hendaknya diperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal.
4.
Menggunakan
hasil-hasil penilaian sesuai dengan tujuan penilaian tersebut,yakni untuk
kepentingan pendeskripsian kemampuan siswa-siswi, kepentingan perbaikan
pengajaran, kepentingan bimbingan belajar, maupun kepentingan laporan
pertanggungjawaban pendidikan.
Contoh Penilaian Sikap
Berikut salah satu contoh dari obervasi perilaku:[12]
Contoh
format penilaian sikap dalam praktek ipa
Mata pelajaran :
IPA
Kelas / Semester : III
(Tiga) / I
Kompetensi Dasar :3.1 mengenal bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan
disekitar rumah dan sekolah melalui pengamatan
Indikato :
3.1.1 menjelaskan ciri-ciri hewan dan tumbuhan
3.1.2 menjelaskan
kebutuhan hewa dan tumbuhan
Materi Pokok :
pengamatan hewan dan tumbuhan
NO
|
Nama
|
Perilaku
|
Nilai
|
Keterangan
|
|||
Bekerja sama
|
Berinisiatif
|
Penuh perhatian
|
Bekerja sistematis
|
||||
1.
2.
3.
|
Asnia
Ratna
Prayit
|
|
|
|
|
|
|
Catatan:
a.
kolom
perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut
1 = sangat kurang
2 = kurang
3 = sedang
4 = baik
5 = amat baik
b.
Nalai
merupakan jumlah dari skor-skor tiap indikator perilaku
c.
Keterangan
di isi dengan kriteria berikut:
1.
Nilai
18-20 berarti amat baik
2.
Nilai
14-17 berarti baik
3.
Nilai
10-13 berarti sedang
4.
Nilai
6-9 berarti kurang
5.
Nilai
0-5 berarti sangat kurang
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ranah
afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Afek merupakan
karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap,
motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya dapat
“memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. Ranah
afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan
nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: (1)
receiving (2) responding (3) valuing
(4) organization
(5) characterization
by evalue or calue complex. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang
penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan
moral. Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya
menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar.
Pengukuran aspek afektif meliputi sikap terhadap materi pelajaran, sikap
terhadap guru, terhadap proses pembelajaran, sikap yang berkaitan dengan nilai
atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran, dan sikap yang
berkaitan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan dengan mata
pelajaran. Cara penilaiannya bisa melalui catatan observasi yang dilakukan oleh
pendidik atau melalui angket.
DAFTAR PUSTAKA
Haryati, Mimin. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Gaung Persada Press. 2009.
Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin. Implementasi Kurikulum2013 :
Konsep dan Penerapan.Surabaya : Kata Pena. 2014.
Majid, Abdul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2011.
Sudjana, Nana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo. 2004.
Sudradjat,Akhmad. Penilaian Ranah Afektif, pada http://akhmadsudradjat.wordpress.com/2008/08/15/penilaian-ranah-afektif/,
diakses pada tanggal 26 April 2015.
Sugiar, dkk.Pembelajaran Tematik. Yogyakarta : Apis. 2009.
[1] Nana
Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), hlm.53.
[2]Akhmad
Sudradjat, Penilaian Ranah Afektif, pada http://akhmadsudradjat.wordpress.com/2008/08/15/penilaian-ranah-afektif/, diakses pada
tanggal 26 April 2015.
[4] Imas Kurniasih
dan Berlin Sani, Implementasi Kurikulum2013 : Konsep dan Penerapan, (Surabaya
: Kata Pena, 2014), hlm. 65.
[5]Akhmad Sudradjat,
Penilaian Ranah Afektif, pada http://akhmadsudradjat.wordpress.com/2008/08/15/penilaian-ranah-afektif/, diakses pada
tanggal 26 April 2015.
[6]Ibid
[7]Mimin Haryati. Model
dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2009), hlm. 62-63.
[8]Abdul Majid. Perencanaan
Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.215.
[12]
Sugiar, dkk, Pembelajaran Tematik, (Yogyakarta : Apis, 2009), hlm. 21-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar