BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam al-Qur’an
terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
melalui perantara malaikat Jibril. Keistimewaan al-Qur’an
dibandingkan dengan kitab-kitab suci yang lain ialah kemurnian atau keaslian al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, agar
tidak ada satupun ayat-Nya yang berubah. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an,
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami pula-lah yang menjaganya”
Umat
Islam yakni kaum muslim, apapun jenis aliran yang mereka anut dan dimana pun
mereka hidup, tentu menjadikan al-Qur-an sebagai pedoman
kehidupan religiusnya. Konsekuensinya, al-Qur’an pasti menempati
posisi paling sentral dalam kegiatan apapun yang terkait aspek religius setiap
muslim, tinggal tergantung pada pemahaman dan pengamalan masing-masing individu
muslim tersebut. Namun permasalahannya, sudahkah al-Qur’an dijadikan dasar dan
“penerang” dalam memandang, menyikapi, dan menjalankan peran kita, bukan semata
untuk kepentingan apa yang kita istilahkan dengan ibadah yang religius,
melainkan untuk apa yang kita istilahkan dengan hidup yang realistis.
Dalam pandangan
umat islam al-Qur’an
menjadi sumber dari segala sumber hukum, sehingga segala yang berkaitan dengan aktifitas
manusia baik yang bersifat individu maupun kelompok berpijak terhadap
al-Qur’an. Namun yang menjadi persoalan apakah al-Qur’an telah menjadi suatu
sentral dalam studi islam?
Dari al-Qur’an pula ilmu-ilmu pengetahuan
berkembang, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Mempelajari al-Qur’an
adalah kewajiban. Bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara
al-Qur’an dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap
perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang
akan datang.[1]
B.
Rumusan Masalah
Makalah ini akan membatasi pembahasan pada masalah pokok yaitu:
1.
Apakah al-Qur’an sudah
menjadi sumber berbagai ilmu keislaman?
2.
Aliran-aliran apa saja yang
ada dalam Islam dan bagaimana korelasinya dengan al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Sentral Al-Qur’an dalam Islam
1. Al-Qur’an sebagai sumber berbagai disiplin ilmu keislaman[2]
Disiplin ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an di antaranya
yaitu:
a.
Ilmu Tauhid (Teologi)
b.
Ilmu Hukum
c.
Ilmu Tasawuf
d.
Ilmu Filasafat Islam
e.
Ilmu Sejarah Islam
f.
Ilmu Pendidikan Islam
2. Al-Quran sebagai Wahyu Allah SWT yaitu seluruh ayat al-Qur’an adalah
wahyu Allah; tidak ada satu kata pun
yang datang dari perkataan atau pikiran
Nabi.
3. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar) arinya, al-Qur’an
merupakan khabar yang di bawah nabi yang datang dari Allah dan di
sebarkan kepada manusia.
4. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), sudah seharusnya setiap Muslim
menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan terhadap setiap problem yang di hadapi.
5. Sebagai salah satu sebab
masuknya orang arab ke agama Islam pada zaman rasulallah dan masuknya
orang-orang sekarang dan yang akan datang.
6. Al-Quran sebagai suatu yang
bersifat Abadi artinya, Al-Qur’an itu tidak akan terganti oleh kitab apapun
sampai hari kiamat baik itu sebagai sumber hukum, sumber ilmu pengetahuan dan
lain-lain.
7. Al-Qur’an di nukil secara mutawattir
artinya, al-Qur’an disampaikan kepada
orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya
tempat tinggal mereka.
8. Al-Qur’an sebagai sumber
hukum, seluruh mazhab sepakat Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan
hukum, dalam kata lain bahwa Al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber
hukum dalam berhujjah.
9. Al-Qur’an di sampaikan kepada
nabi Muhammad secara lisan artinya, baik lafaz ataupun maknanya dari Allah SWT.
10. Al-Qur’an termaktub dalam
Mushaf, artinya bahwa setiap wahyu Allah yang lafaz dan maknanya berasal
dari-Nya itu termaktub dalam Mushaf (telah di bukukan).
11. Agama Islam datang dengan al qur'annya membuka
lebar-lebar mata manusia agar mereka manyadari jati diri dan hakikat hidup di
muka bumi.
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam.
Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke
Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan
pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih
sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak
bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang
di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi
kandungan al-Qur`an
diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan
penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar
perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung
dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan
metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak
dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak
pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir
berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-‘aqli, tafsir
bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi
al-ma’qul. Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir
untuk melegitimasi mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhabnya.[3]
Dengan al-Qur’an, Allah telah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan
hati yang lalai. Bila dibaca dengan benar, dipahami setiap surat dan
ayat-ayatnya, dipahami secara mendalam setiap kalimat dan kata-katanya, tidak
keluar dari batas-batasnya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di
dalamnya, menjauhi larangan-larangan, berakhlak dengan apa yang disyariatkan,
dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai terhadap dirinya, keluarga dan
masyarakatnya, maka akan menjadikan umat Islam merasa aman, tenteram dan bahagia
didunia dan akhirat.
B. Nilai-nilai Al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam
Dalam konteks etika
pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih
adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. yang dikembangkan melalui jalan ijtihad
para ulama.
Pencerdasan akal pikiran
dan sekaligus pencerdasan qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam
membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan
intelektual dan cerdas qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh
apabila lembaga pendidikan menggali dan menyelami nilai-nilai yang diajarkan
al-Qur’an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas
dengan cara mengaktualisasi nilai-nilai qur’ani dalam sistem pendidikan Islam.[4]
Nilai-nilai Qur’ani
secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisika dan saintis) dan nilai moral.
Kedua nilai Qur’ani tersebut akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan
penghidupannya Sehingga manusia tidak akan salah dalam memahami dan menerapkan
segala hal yang berada di dalam al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuai perkembangan masyarakat
yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama
teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an menjadi sangat
penting. Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi
kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan
pribadi umat yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.[5]
Sehingga tidak mudah terprofokasi ke dalam hal-hal yang tidak baik dan merugikan
umat.
Secara normatif, tujuan
yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an dalam
pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang perlu dibia dan
dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, takwa dan
akhlak mulia (tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual
tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat kontrol psikis
dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada
dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam
kehidupannya.[6]
Kedua, dimensi budaya,
yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tanggung jawab kemasyarakatan dapat dilakukan dengan kegiatan
pembentukan hubungan sosial melalui upaya penerapan nilai-nilai akhlak dalam
pergaulan sosial. Langkah-langkah pelaksanaannya mencakup ;
1.
Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji daan
tercela.
2.
Mempererat hubungan kerjasama
3.
Menggalakkan perbuatan-perbuatan yang terpuji dan memberi
manfaat dalam kehidupan bermasyarakat
4.
Membina hubungan sesuai dengan tata tertib.[7]
Ketiga, dimensi
kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil,
disiplin, etos kerja, profesional, inoatif dan produktif.
C. Al-Qur’an sebagai Sumber Berbagai Studi Keislaman
Al-Qur’an
adalah merupakan sumber ajaran Islam karena al-Qur’an langsung diturunkun oleh
Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk
bagi seluruh umat manusia baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama
Islam. Karena al-Qur’an merupakan pokok ajaran Islam, maka segala studi
mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini.
Apabila
kita perhatikan, maka susunan al-Qur’an adalah merupakan suatu susunan yang
tidak tertandingi, sehingga dari segi ini dapat dipahami berbagai kemungkinan
pengertian, karena kalimat-kalimatnya simpel dan isinya padat. Berdasarkan
janji Allah SWT., bahwa kalimat-kalimat al-Qur’an yang terlihat sederhana bila
direnungkan berulang-ulang dan secara mendalam, baik dari segi bahasanya maupun
dari segi kandungannya merupakan suatu sumber pengetahuan yang tidak akan selesai-selesainya
untuk dibahas.[8]
Janji
Allah tersebut sebagaimana firman-Nya:
1.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ
قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum
selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)”. (Al-Kahfi : 109)[9]
Ayat
tersebut menyatakan bahwa al-Qur’an adalah merupakan sumber segala ilmu
pengetahuan yang tidak pernah kering bila dibahas, khususnya mengenai
keislaman. Dalam ayat lain disebutkan, bahwa al-Qur’an tersebut meliputi
segala macam persoalan dan cara penyampaiannya secara global, sebagaimana
firman Allah : “Dan tidak kami alpakan
sesuatupun dalam al-kitab (al-Qur’an).” (Al-An'am: 38)[10]
Jadi isi al-Qur’an meliputi
segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Qur’an juga
dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya mengemukakan
persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan saja, tetapi meliputi juga
persoalan teologi, persoalan kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia
bahkan persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia
seperti ilmu dan teknologi. Karena posisi al-Qur’an sebagai sumber
ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keIslaman,
baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung
terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada al-Qur’an. Bagi
orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan al-Qur’an, maka al-Qur’an itu
betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat dan bernegara.[11]
Al-Qur’an mengandung
pengertian yang lengkap mengenai segala aspek kehidupan manusia, alam semesta
dan metafisika, masa lampau, masa kini dan masa depan, individu, masyarakat, sosial
politik, dan sebagainya.[12]
Dilihat dari abad ke abad,
umat Islam tidak pernah berhenti mengembangkan ilmu pengetahuan di mana saja
mereka berada. Pada negeri-negeri yang diilhami oleh umat Islam selalu terdapat
lembaga tempat perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu bersumber dari
al-Qur’an. Dalam lembaga-lembaga ini diajarkan tentang al-Qur’an dan
tafsirnya, hadits, ilmu fikih, teologi Islam, mantiq, astronomi, sejarah dan
lain-lain.
Kalau kita kaji lebih mendalam isi al-Qur’an yang menginformasikan
berbagai aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, politik, ekonomi, sosial
budaya dan aspek-aspek lainnya, sungguh betapa lengkapnya al-Qur’an sebagai
sumber ajaran Islam.[13]
Tidak
ada satu pun yang terlupakan atau tertinggal dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
membahas tentang segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an dalam
menginformasikan berita dari Allah tidak terlepas dari unsur nalar dan berbagai
aspek lainnya, agar informasi tersebut dapat dipahami dan diterima oleh
obyeknya.
Dalam
perkembangan Islam, aspek nalar memainkan peranan penting. Dalam membahas
bidang-bidang keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada
wahyu, tetapi banyak pula berpegang pada akal. Peranan akal besar sekali dalam
pembahasan masalah-masalah keagamaan yang kita jumpai, bukan hanya dalam bidang
Filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan dalam bidang fikih dan
tafsir, karena Allah sendiri memerintahkan hamba-Nya berpikir. Al-Qur’an sebagai
sumber ajaran Islam tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat,
kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi
dan kandungan al-Qur’an
itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Memahami al-Qur’an tidaklah mudah, karena kita harus
mengetahui sebab turunnya, lebih-lebih dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat
dan pengetahuan lainnya. Dengan demikian dirasakan
kebutuhan mengembangkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan
ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an (ilmu tafsir). Karena itu pertama-tama menjadi prinsip adalah,
bahwa tidak hanya pengetahuan mengenai hahasa Arab saja yang diperlukan untuk
memahami al-Qur’an
secara tepat, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain seperti idiom-idiom bahasa Arab
pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan
dan kesusastraan Arab dengan suburnya.
Selanjutnya latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an
yang disebut "asbab al nuzul" dijadikan sebagai alat yang
perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah. Di samping itu perlu juga diketahui dan dianggap sangat penting bagaimana
caranya orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an. Setelah persyaratan-persyaratan
ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Untuk itu
bermunculanlah kitab-kitab tafsir sehingga pandangan apa pun yang ingin
diproyeksikan dan dibela oleh kaum Muslimin, mengambil bentuk dalam berbagai
tafsir al-Qur’an.[14]
Pemakalah
mencoba menjelaskan secara singkat tentang disiplin ilmu yang bersumber pada
al-Qur’an tersebut sebagai berikut:
1.
Teologi Islam (Ilmu Tauhid)
Ilmu
kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi Islam yang amat dikenal baik oleh kalangan
akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya.
Ilmu tauhid disebut juga ilmu kalam, yaitu ilmu yang membahas
tentang ke-Esaan Tuhan dan wujud Allah dengan segala sifat-Nya. Dalam ilmu
tauhid disebutkan tidak hanya dibahas mengenai wujud Allah saja, tetapi juga
dibahas tentang iman kepada rasul, kitab-kitab yang diturunkan Allah, malaikat-malaikat,
hari akhirat (alam gaib), dan iman kepada kadar baik maupun buruk, yang disebut
dengan rukun iman.[15]
Sebagai inti dari rukun iman itu, adalah iman kepada Allah, mengakui
wujud-Nya dan meng-Esakan-Nya.
Teologi
terkadang dinamai pula Ilmu Tauhid, Ilmu Usluhuddin, Ilmu Aqaid
dan Ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar
meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya
dinamai ilmu usluhuddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan
yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai ilmu aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapakan
agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada
Allah sebagai Tuhan. [16]
Firman
Allah SWT :
يَآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا أمِنُوْا بِاللَّهِ وَ رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ
الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ°
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَ مَلَآئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الأَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَا لاً بَعِيْدًا . (النساء : 136)
“Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan
kepada kitab-kitab terdahulu. Baang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemdian maka sesungguhnya orng itu
telah sesat jalan sejauh-jauhnya”. (Q.S al-Nisa, 4 : 136) [17]
Untuk meyakinkan kita, bahwa Allah itu ada (wujud),
di dalam al-Qur’an diisyaratkan supaya kita memperhatikan makhluk (alam)
ciptaan-Nya. Dibalik ciptaan dan alam jagad raya ini akan ditemukan Allah
dan diyakini wujud-Nya. Di antaranya Allah berfirman:
إن في
خلق السماوات و الأرض و اختلاف الليل و النهار و الفلك التي تجري في البحر بما
ينفع الناس و ما أنزل الله من السماء من ماء فأحيى به الأرض بعد موتها و بث فيها
من كل دآبة و تصريف الرياح و السحاب المسخر بين السماء و الأرض لآيات لقوم يعقلون
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu. Dia hidupkan bumi sesudah
mati (keringnya), dan dia sebarkan di bumi itu segala jcnis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang di antara langit dan bumi, sungguh (terdapat)
tanda-tanda (ke-Esaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
(AI-Baqarah: 164)[18]
Di dalam ayat di atas diisyaratkan, supaya hamba Allah
memikirkan tentang kejadian alam semesta ini. Ayat Al-Qur’an cukup banyak
memberi isyarat ke arah itu dan sesudah direnungkan dalam-dalam akan menemukan
Penciptanya dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian diyakini pula, bahwa pencipta
semuanya ini adalah Tunggal (Esa), tidak berbilang.
2. Ilmu
Hukum
Hukum
Islam atau fiqh merupakan
salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini
antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah praktis,
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam
definisi tersebut antara lain bersumber pada al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang sempurna dan terakhir untuk manusia, harus
dijadikan pedoman utama, bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.[19] Semua masalah hukum fiqh
dibicarakan di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung masalah hukum disebut
ayat ahkam.
3. Ilmu
Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi
Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang
selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih,
khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan
aspek jasmaniah atau lahiriah. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan
mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia selain menghendaki
kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian
yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.[20]
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang
secara sadar memperoleh langsung hubungan dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa ia berada dihadirat Tuhan. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu terdapat
dalam al-Qur’an
dan hadis.[21]
Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya mengatakan,
وَ
إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ (البقرة : 186)
“jika
hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang yang memanggil ia panggil Aku”.[22]
Ayat 115 dari surat Al-Baqarah juga mengatakan
:
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة : 115)
“Timur
dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling dari situ (kamu
jumpai) wajah Allah”.[23]
Lebih
tegas lagi dinyatakan dalam surat Qaf ayat 16 :
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَارِيْدِ. (ق:16)
“Sesungguhnya
Kami menciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya.
Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri”.[24]
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber bagi disiplin ilmu tasawuf.[25]
4. Ilmu Filsafat
Islam
Dari segi bahasa, filsafat islam terdiri dari
gabungan kata filsafat dan islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang
berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti
cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Selanjutnya kata islam berasal dari bahasa
Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah diri,
serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau
nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai
segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek
itu ialah Al-Qur’an dan hadis.
Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala
sesuatu yang ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-prinsipnya,
secara sistematik, radikal, dan universal.[26]
Filsafat ditandai dengan penggunaan akal atau rasio
secara benar dan sehat. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyuruh manusia
menggunakan akal atau rasio.
D.
Aliran-aliran dalam Islam dan
Hubungannya dengan Al-Qur’an
Secara
garis besar apa yang terkandung dalam pengertian Islam dapat dibagi di dalam
dua kelompok. Kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non
ajaran dapat dimasukkan sejarah, kebudayaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang datang ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah.
Kelompok
ajaran dapat dibagi kepada ajaran dasar sebagai terdapat di dalam al-Qur’an dan
hadits, dan ajaran bukan dasar yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi
ulama-ulama dan ahli-ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar itu. Dari sini
lahirlah berbagai pemikiran Islam dalam bidang hukum, dan bidang teologi yang
menimbulkan berbagai madzhab dan aliran.
Pemikiran-pemikiran
tersebut merupakan hasil akal manusia. Karena manusia tidak bersifat ma’sum,
penafsiran para ulama sehingga tidak bersifat mutlak, namun tetap harus tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits.[27]
Pada
dasarnya, munculnya aliran-aliran, terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan
tentang pemahaman makna ayat-ayat al-Qur’an. Ada beberapa aliran yang dikenal
dalam Islam antara lain :
1.
As-Salaf
As-Salaf adalah mereka yang memegang teguh al Ma’sur (al-Qur’an dan sunnah), mendahulukan
riwayat atas kajian (al-Dirayah), dan
mendahulukan naql (al-Qur’an dan sunnah) atas akal.
Aliran ini dikenal pula dengan sebutan ahlu sunnah wal Jama’ah. Mereka
mengimani al-Qur’an tanpa banyak tanya, memahami ayat-ayat al-Qur’an secara
global berdasarkan pengertian-pengertian lahir.[28]
2.
Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran rasional dalam Islam yang membahas secara
filosofis hal-hal yang tadinya belum diketahui melalui metode filsafat.[29] Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang
artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputusasaan, berpisah, atau
mengasingkan diri.[30] Dalam al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang
kesemuanya mempunyai arti sama yaitu menjauhi sesuatu. Seperti tertera
dalam QS. An-Nisa:90 yang berbunyi:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
“Tetapi jika
mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian
kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh)
mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)[31]
Sedang secara terminologi sebagian ulama
mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih
pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar
yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota
Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan
murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[32]
Munculnya aliran Mu’tazilah berasal dari dialog
antara Hasan al-Bashri dengan muridnya yaitu Washil bin Atha’ mengenai status
orang mukmin yang berbuat dosa besar. Hasan Bashri berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tetap mukmin. Namun Washil bin Atho’ berpendapat bahwa pelaku dosa
besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi berada di posisi di antara
keduanya. kemudian Washil memisahkan diri dari halaqoh Hasan Bashri dan membuat
halaqoh sendiri. Atas kejadian ini Hasan al-Bashri berkata : “i’tazala anna
washil” (Washil memisahkan diri dari kita). Washil dan para pengikutnya
inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan mu’tazilah. Golongan
ini dikenal juga dengan nama ahlul adl atau ahlut tauhid wal adl (golongan
yang mempertahankan keEsaan dan keadilan Tuhan).
3.
Al Asy’ariah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul
Hasan Al-Asy`ariy. Al Asy’ariyah kreatif yang berusaha mengambil sikap
tengah-tengah antara dua kutub akal dan naqli, antara kaum Salaf dan
Mu’tazilah.[33]
Kaum Al Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat. Hal ini
difahami dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan memiliki sifat
seperti alim, qadir, murid, dan sebagainya.
4.
Syi’ah
Jika ketiga aliran di atas berbeda karena pandangan mereka
terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka syi’ah muncul sebagai aliran yang meyakini
Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang paling berhak menjadi khalifah (setelah Rasul
wafat) karena Ali paling dulu masuk Islam, paling banyak menghadapi cobaan
dalam fisabilillah, bahkan punya hubungan nasab paling kuat dengan nabi.[34]
5.
Tasawuf
Aliran ini berpegang pada:
a.
Tingkah laku menjauhi pesona
dunia demi kesucian jiwa dan tubuh.
b.
Mujahadah, ketahanan
menghadapi bencana.
c.
Mementingkan akhirat.[35]
6.
Qadariyah
Mereka
berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang ataupun
makhluk-makhluk yang lain adalah atas kekuasaannya sendiri secara mutlak. Tidak
ada camput tangan Allah dalam masalah tersebut. Dan Allah tidak mengetahui atas
segala apa yang terjadi. Mereka berpendapat atas dasar firman Allah ;
بِأَنْفُسِهِمْ
مَا يُغَيِّرُوا حَتَّىٰ بِقَوْمٍ مَا يُغَيِّرُ لَا اللَّهَ إِنَّ
“Sesungguhnya Allah tidak
akanmerubah keadaan (nasib) sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau
berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11)[36]
Dari ayat diatas
mereka mengambil kesimpulan bahwa manusia itu mampu menentukan nasibnya
sendiri secara mutlak tanpa adanya campur tangan dari Allah, contoh : nasib
kaya dan miskin, pintar dan bodoh dan lain sebagainya, adalah merupakan hasil
usaha dari pada usaha manusia itu sendiri.
Selain itu, mereka juga memperkuat pendapatnya dengan
mengambil firman Allah, yaitu ;
سَبِيل
رَبِّهِ إِلَى
اتَّخَذَ شَآءَ
فَمَن اً
تَذْكِرَةٌ
هَـذِهِ إِنَّ
“Sesunggunya (ayat-ayat) ini adalah suatu
peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki (kebijakan bagi dirinya) niscaya
mereka mengambil jalan (yang mendekatkan) kepada Tuhannya”. (Q.S. Al-Insan :
29).[37]
Sayangnya,
dalam memahami ayat ini, mereka tidak melihat ayat yang selanjutnya, yaitu ;
اللَّهُ
يَشَآءَ أَن
إِلاَّ تَشَآءُونَ
وَمَا
“dan kami tidak menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali bila dikehendaki Allah”. (Q.S. Al-Insan : 30).[38]
Mereka mengambil kemudian memahami ayat-ayat al-Qur’an
sepotong-sepotong saja dengan tidak memperhatikan aya-ayat yang selanjutnya
(seolah-olah hanya ayat itu saja yang dianggap penting) demi menguatkan paham
mereka sendiri, padahal mereka mengetahui itu.
7.
Jabariyah
Jabariyyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang
menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.[39]
Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah dan semua amal perbuatan
itu berlaku dengan kodrat dan iradatNya. Manusia tidak mencampurinya sama
sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan manusia sendiri. Kodra dan
iradat Allah lah yang membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali.
Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah
paksaan semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula,
sekalipun manusia nantinya memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan
surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat
manusia sewaktu hidupnya dan balasan kejahatan yang dilakukannya, tetapi surga
dan neraka semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah dalam kodrat dan
iradatNya.
Sebagian pengikut Jabariyyah beranggapan telah bersatu dengan
Tuhan. Hal ini menimbulkan paham “Wihdatul Wujud” atau dalam bahasa Jawa disebut
sebagai “Manunggaling Kawulo lan Gusti”,
bersatunya hamba dengan Tuhannya. Menurut paham Ahlus Sunnah, bahwa segala
seseuatu memang dijadikan oleh Allah. Tetapi Allah juga menjadikan ikhtiar dan
kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar
manusia dan takdirNya. Ikhtiar dan kasab hanya sebagai sebab saja, bukan yang
mengadakan atau menciptakan sesutau.
Tidak
jarang terjadi gesekan dan benturan-benturan antara aliran yang satu dengan
aliran yang lain. Namun demikian, perbedaan pendapat itu bukanlah suatu 'aib
atau tercela dalam agama Islam. Perbuatan yang tercela dan 'aib, adalah
perbedaan pendapat yang menjurus kepada pertentangan dan permusuhan. Hal ini
disebabkan, karena kurang dewasa dalam berpikir, terpengaruh oleh emosi dan
kefanatikan menganut suatu aliran. Padahal kalau dilihat, maka
"syahadat" semua penganut dari berbagai aliran adalah sama, tidak ada
bedanya. Mengapa sampai terjadi saling mengkafirkan, sedangkan tempat kembali
dan bernaung adalah sama, yaitu Allah dan sumber ajaran Allah adalah sama pula
yaitu al-Qur’an.
Sebagai penutup bagian ini, sangatlah tepat apa yang
dikatakan Muhaammad al-Baqir: Kaum muslim, baik di Indonesia maupun di
negara-negara Islam lainnya, telah membuktikan bahwa sikap keras dan fanatik
yang berlebihan, dengan cara memandang madzhab dan faham kita saja yang berhak
memonopoli kebenaran, sedangkan faham-faham lainnya pasti salah dan sesat dan
oleh karena itu harus diganyang habis-habisan, ternyata tidak menghasilkan
sesuatu kecuali pecahnya pertengkaran dan pertikaian sengit, dan timbulnya
tragedi-tragedi yang meresahkan, serta menjalarnya kebencian di kalangan sesama
muslim. Sehingga dalam hati kita timbul pertanyaan:
“Sampai kapankah keadaan seperti ini tidak bisa diatasi?” Tidak kita bersedia
mengamalkan firman Allah dalam surah al-Fatah: 29: ”Muhammad itu adalah utusan
Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaannya”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
diambil dari makalah ini adalah bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral bukan
saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu – ilmu keislaman, tetapi juga
merupakan inspirator dan pemandu gerakan – gerakan umat Islam sepanjang zaman.
Al-Qur’an
adalah sumber berbagai ilmu keislaman. Karena al-Qur’an merupakan pokok ajaran
Islam, maka segala studi mengenai keislaman tidak boleh bertentangan dengan
sumber pokok ini. Bersumber dari al-Qur’an dan Hadis banyak berkembang
berkembang ilmu pengetahuan seperti, ilmu tasawuf, teologi, filsafat, fiqh,dan
lain-lain.
Memang ada aliran-aliran
dalam Islam yang muncul karena faktor perbedaan pandangan tentang cara memahami
ayat-ayat al-Qur’an, faktor sejarah Islam, dan faktor-faktor lainnya.
Yang terpenting adalah pemahaman bersama bahwa Allah dalam al-Qur’an
menghendaki sesama muslim untuk saling berkasih sayang.
Setelah
kita memahami kadudukan al-Qur’an tersebut secara utuh maka kita dapat
menjadikan al-Qur’an sesuatu yang sangat berperan secara langsung bagi
keberlangsungan kehiduapan ummat manusia di permukaan bumi ini, karna tanpa
adanya al-Qur’an tersebut maka peradapan
manusia saat ini akan kacau, tidak ada rasa hormat antara manusia, tidak
terjalinnya silaturahim antara muslim, keadaan kehidupan manusia semrawut,
terjadinya penghardian terhadap anak yatim dan sebagainya.
B.
Saran
Saran
yang dapat pemakalah utarakan dalam makalah ini adalah :
1.
Marilah kita semua menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita dan menjadikannya
sebagai rujukan terhadap setiap permasalahan yang kita hadapi.
2.
Marilah kita semua menjadiakn
kiata sebagai manusia yang memiliki kepribadian Qur’ani
3.
Marilah kita semua mempelajari,
memahami dan menelaah tentang isi dari kandungan al-Qur’an tersebut secara
mendalam dari setiap ayat yang di wahyukan Allah yang termaktub dalam mushaf.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Munawar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam. Jakarta:Ciputat Press. 2003.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung
: Diponegoro. 2005.
Hasan,
M. Ali. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000.
Madkour, Ibrahim. Aliran
dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 1995.
Nasir, A., Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an
dan Hadis. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 1996.
Nata, Abuddin. Metodologi
Studi Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2006.
Sahilun. Pengantar
Ilmu Kalam. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 1994.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Penerbit Mizan. 1992.
Zahrah, Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta : Logos Publishing House. 1996.
[4] Said Agil Husin Al
Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam,
(Jakarta:Ciputat Press, 2003), hlm.4
[8] M. Ali Hasan, Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm 137.
[15] Disampaikan pada perkuliahan
Ilmu Tauhid Amali oleh Purnama Rozak, M.Ag. di STIT Pemalang pada Oktober 2014.
[19]Abuddin Nata, Al-Qur’an
dan Hadits, Op. Cit., hlm. 119.
[30] Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,(Jakarta : Logos Publishing
House, 1996), hlm.19
[32] A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010)
[33] Ibrahim Madkour, Op.Cit, hlm. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar