Sebuah gopekan keluar lagi dari jendela mobil. Saya
menjadi semakin penasaran. Ini bukan yang pertama kali. Sering. Teramat sering
malah. Namun, apa alasannya?
Sulit bagi saya untuk mengerti. Mereka bukan tidak bisa,
hanya kurang berusaha. Memberi uang sama artinya dengan memberikan persetujuan
dan pembenaran. Semantara itu, kita sudah selayaknya memberikan pelajaran.
Mengapa dia harus selalu memberi tanpa pernah memilih lagi?
Dulu, pertama kali saya menjadi karyawan sebuah rental
komputer dan warnet, seorang penjual makanan masuk ke dalam ruangan meskipun di
pintu depan sudah tertulis, “PEDAGANG DILARANG MASUK”. Tetap saja, tiada hari
tanpa pedagang keliling di tempat kerja. Entah, mereka sudah bebal atau kebal,
saya juga tidak tahu.
Pedagang makanan itu berkeliling ke bilik-bilik warnet
menawarkan dagangannya. Sebagian besar orang cuek, sebagian lagi menolak denga
halus.
Ketika para pedagang itu menghampiri seorang bapak, tanpa
banyak kata, si bapak mengambil beberapa buah barang dagangannya dan membayar
tanpa menawar.
Beberapa kali kejadian semacam itu berulang. Si bapak hampir
selalu membeli barang dagangan setiap pedagang yang menawarkan dagangannya itu
kepada beliau. Pernah, suatu saat, saya bertanya alasan beliau suka memberli
barang dari para pedagang. “Siapa lagi yang akan membeli kalau bukan kita?
Sudah terlalu banyak yang berbelanja di mal. Biarlah saya berbelanja kepada
mereka,” begitu jawab beliau.
Namun, ternyata bukan hanya hal itu. Kalau membeli barang
dagangan sebagaimana alasannya di atas, saya bisa menerima dan mengerti. Akan
tetapi, ternyata beliau juga selalu memberi sumbangan kepada para peminta
sumbangan yang bergantian datang.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua peminta
sumbangan itu benar-benar meminta sumbangan untuk masjid, anak yatim piatu,
atau sejenisnya. Banyak dari mereka yang menggunakan metode peminta sumbangan
untuk menghidupi diri. Saya pernah mengingatkan bapak ini tentang hal itu, tapi
beliau tidak berkomentar.
Beberapa hari terakhir, beliau hampir selalu memberikan koran
harian kepada saya. Beliau tahu kalau saya suka membaca.
“Saya tidak butuh koran itu,” kata beliau.
“Lantas mengapa membeli?” tanya saya.
“Karena saya tahu, tidak banyak orang yang membeli koran dari
tukang koran seperti dia,” jawabnya.
Kini? Hal itu sudah kesekian kali. Beliau memberi uang kepada
setiap peminta-minta di jalanan, atau pengamen.
Menurut saya, apa yang beliau lakukan itu tidak mendidik,
membuat mereka semakin malas, tidak mau bekerja keras, dan mengharapkan uluran
tangan seperti ini. Setidaknya, kalau mau memberi, hendaknya kita pilih-pilih
mana yang tampak betul-betul membutuhkan. Kalaupun mau berinfak, mengapa tidak
melalui lembaga yang benar-benar dapat dipercaya akan menyampaikan amanah
kepada yang benar-benar berhak? Saya memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
Beliau menjawab dengan sebuah argumentasi panjang, “Saya
tidak yakin dengan tidak memberi akan mendidik mereka. Semestinya, ada
orang-orang aware dengan program penyadaran itu. Tugas merekalah yang
menyadarkan. Sementara saya, hanya ini yang bisa saya lakukan. Mungkin mereka
memang tidak sungguh-sungguh miskin, bisa jadi mereka hanya malas. Akan tetapi,
saya yakin, jika bisa semudah kita mencari rejeki, mereka tidak akan melakukan
semua itu. Jika mereka kelaparan dan tidak ada yang mau memberi, lantas kepada
siapa mereka meminta? Ke mana mereka mencari? Sedang kita? Kalaupun harta kita
habis karena mereka, setidaknya masih lebih mudah bagi kita untuk mencari lagi
dengan bekal kemampuan yang diberikan Allah kepada kita”.
Uraian panjang lebarnya membuat saya tertegun.
Masih lebih mudah bagi kita yang beruntung. Ya, masih lebih
mudah bagi kita mendapat rejeki dibandingkan para tukang koran. Masih lebih
mudah bagi kita mencari penghidupan dibandingkan para pedagang asongan. Masih
lebih mudah bagi kita mencari makan dibandingkan para pengamen jalanan. Masih
lebih mudah bagi kita meminta bantuan teman dibandingkan gelandangan. Lebih
mudah bagi kita yang lebih beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar