Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

Tafsir Tarbawi


 
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR
(Q.S AL-ALAQ : 1-5, Q.S. AL-GHOSYIYAH : 17-20
DAN Q.S. ALI IMRON 190-191)

BAB I
PENDAHULUAN

Kewajiban belajar mengajar merupakan kewajiban setiap muslim. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW “tholabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wa muslimatin”, yang artinya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi laki-laki muslim dan perempuan muslim. Merujuk dari hadits di atas kita dituntut dan diharuskan menimba ilmu seluas-luasnya karena menuntut ilmu tidak ada batasan kaya miskin, tua muda, dan batasan-batasan yang lainnya.
Belajar merupakan suatu proses pendayagunaan semua panca indra untuk mengembangkan segala kemampuan yang lebih baik, baik itu bersifat teoritis maupun praktis. Belajar membutuhkan suatu komponen-komponen yang harus mendukung proses pembelajaran tersebut misalnya lingkungan yang baik, pengajar yang profesional dan metode yang digunakan haruslah benar. Hal tersebut dibutuhkan untuk memaksimalkan segala kemampuan atau intelegensi siswa. Al-Qur’an banyak membicarakan tentang sistem pembelajaran seperti misalnya melalui mauidhoh khasanah atau contoh dan teladan yang baik. Seorang siswa pasti membutuhkan seorang guru yang menjadi contoh dan teladan yang menurut mereka dialah yang paling baik dan harus ditiru. Pemberian sugesti guru berupa tingkah laku yang baik ini mendorong seorang siswa melakukan hal-hal yang menurutnya baik tanpa ada suatu paksaan kepadanya, walaupun kadang-kadang hal-hal yang baik menurut mereka belum tentu baik menurut orang lain.
Al-Qur’an juga menganjurkan untuk membaca bahkan wahyu yang pertama turun adalah tentang kewajiban membaca. Iqro’ yang artinya “bacalah” yang pertama turun ketika Nabi Muhammad SAW menyendiri di gua hiro melalui malaikat jibril yang dilanjutkan sampai ayat ke lima. Menerangkan tentang anjuran membaca, membaca merupakan suatu proses belajar yang sangat penting. Terbukti, melalui membaca sel-sel otak semakin berkembang dan berkemampuan berlipat dibandingkan orang yang tidak suka membaca. Disamping itu, kemampuan otak untuk menyimpan data atau informasi semakin besar dan kuat.
Tidak hanya belajar namun mengajar juga sebuha kewajiban seorang muslim yang harus dijalankan kalau dia mengaku sebagai seorang muslim yang baik. Mengajar adalah sebuah proses pembelajaran yang ditujukan kepada seorang siswa dengan metode dan sistem tertentu sehingga siswa tersebut dapat memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya, yang dahulunya tidak bisa menjadi bisa. Mengajar harus sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada dan tidak boleh melanggar kaidah-kaidah yang sudah ditentukan serta harus melalui proses dan tahap-tahap yang baik pula yaitu dengan tidak memakai kekerasan ataupun paksaan yang membuat siswa trauma ataupun yang lain sebagainya.






















BAB II
PEMBAHASAN


A.    SURAH AL-ALAQ : 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(1)   Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan;
(2)   Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah;
(3)   Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, -
(4)   Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam [1589];
(5)   Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[1]
[1589] Maksudnya :  Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

1.      Tafsir Surah Al-Alaq ayat 1-5
Pada surat di atas proses belajar mengajar berlangsung dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW melalui metode membaca (iqro’). Tuhan (melalui malaikat jibril) ingin agar Nabi Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh malaikat jibril. Para ulama tafsir melihat kata kerja membaca (fi’il amr), yakni kalimat iqro’ (bacalah) pada ayat pertama al-alaq tersebut tidak ada objek atau mafulnya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dibaca itu mencakup berbagai hal yang amat luas, yakni tidak hanya membaca yang tersurat atau tertulis, melainkan termasuk yang tersirat atau tidak tertulis.
Di dalam tafsir almarogy dijelaskan dengan kekuasaan Allah, Tuhan yang menciptakan engkau dan kehendaknya, maka jadilah engkau orang yang dapat membaca. Dia telah menjadikan kamu dari tidak tahu. Karena Nabi SAW dahulunya tidak dapat membaca dan menulis. Karena beliau akan diberi sebuah kitab yang akan dibacanya, walaupun dia tidak dapat menulis.
Ringkasnya, Tuhan yang mencipta dan mengadakan alam ini adalah kuasa menjadikan kamu pandai membaca, walaupun kamu tidak belajar lebih dahulu.
Dalam ayat kedua yang artinya berbunyi “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah” diartikan bahwa zat yang kuasa menciptakan segumpal darah menjadi  manusia hidup dan berpikir yang dapat menguasai seluruh makhluk bumi adalah kuasa ilahi menjadikan Nabi Muhammad SAW bisa membaca sekaligus tidak pernah belajar membaca dan menulis.
Dalam ayat ketiga yang artinya “bacalah”mufassir menyatakan bahwa perintah membaca ini diulang-ulang, karena membaca hanya dapat dicapai oleh seseorang dengan mengulang-ulang dan dibiasakan. Ulangan perintah ini untuk menggantikan kedudukan apa yang dibaca. Dengan demikian membaca itu menjadi pembawaan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dalam ayat ketiga lagi yang artinya “dan Tuhanmulah paling pemurah”, sebagai penegasan bahwa Tuhanmu maha pemurah terhadap setiap orang yang mengharapkan pemberian. Oleh karena itu niscaya mudah bagi Allah melimpahkan kenikmatan dapat membaca Al-Qur’an kepadamu.
Dalam ayat yang keempat yang artinya berbunyi “yang mengajarkan manusia dengan perantara qolam”. Qolam disini diartikan mufassir adalah benda tak berjiwa dan tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan pengertian. Oleh karena itu, apakah ada kesulitan bagi Tuhan yang membuat benda mati lagi diam menjadi alat untuk memberi pengertian dan penjelasan dan menjadikan kamu orang yang bisa membaca, menjelaskan serta mengajar karena kamu telah jadi manusia sempurna?
Dalam ayat yang kelima yang artinya berbunyi “yang mengerjakan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Ayat ini menurutnya adalah Tuhan yang mengeluarkan perintahnya agar rosulullah SAW membaca adalah Tuhan yang mengajarkan kepada manusia seluruh ilmu yang dapat digunakan untuk mencapai kesenangan dan membedakan dirinya dari hewan, yang tadinya manusia tidak mengetahui apa-apa. Oleh karena itu apakah mengherankan sekiranya Tuhan mengajarkan kepadanya membaca dan ilmu-ilmu yang banyak padahal dirimu ada pembawaan untuk itu?
Sebagaimana tercatat dalam buku Sirah Ibnu Hisyam,[2] Nabi Muhammad melakukan kontemplasi ketika mulai menginjak usia 36 tahun. Nabi mulai melakukan kontemplasi pada saat melihat tatanan masyarakat di sekitarnya yang sudah rusak. Beliau melakukan kontemplasi bukan sekadar mengasingkan diri, tetapi mempunyai tujuan untuk mencari solusi bagaimana mengubah tatanan masyarakat. Di samping itu, beliau melakukan prosesi pencarian kebenaran secara tulus tanpa terbelenggu oleh pembatasan yang kita ciptakan sendiri. Pencarian ini tidak mungkin dilakukan dalam semangat komunal dan sektarian. Ia harus bebas dari setiap kemungkinan pengekangan ruhani (sikap alami manusia yang memihak kepada yang benar dan yang baik, dengan lapang dada, toleran, dan tanpa kefanatikan sebagai kelanjutan fitrahnya yang suci).
Pada saat Muhammad mencari kebenaran, beliau memulainya dengan cara penyucian jiwa. Muhammad menyadari bahwa dengan melakukan upaya penyucian jiwa akan memudahkan dalam menemukan pencerahan batin. Kenyataan tersebut telah menjadikan dirinya siap melakukan komunikasi rahasia dengan malaikat Jibril. Dalam beberapa hadits dikisahkan bahwa Nabi sering bermimpi sebelum mendapat wahyu pertama. Hal tersebut merupakan sinyal-sinyal ilahiyah akan turunnya wahyu melalui malaikat Jibril, hingga akhirnya Nabi mampu menangkap penampakan Jibril, sebagaimana digambarkan dalam surah an-Najm. Jika Muhammad langsung menerima wahyu, kemungkinan besar beliau tidak mampu menangkap sinyal-sinyal Ilahi secara sempurna. Kenyataan tersebut sekaligus sebagai petunjuk bagi pengikut Nabi Muhammad agar senantiasa melakukan upaya penyucian jiwa, hingga ia mampu menangkap sinyal-sinyal Ilahi dalam bentuk ilham.
Ketika usia Nabi menginjak 40 tahun, seperti biasa beliau rnelakukan kontemplasi di Gua Hira. Beliau dikagetkan oleh kedatangan Jibril yang tiba-tiba menyuruhnya untuk membaca. Akhirnya terjadi tarik-ulur antara Jibril dan Muhammad, dan menurut riwayat kejadian tersebut berulang hingga tiga kali. Karena Jibril mengerti kondisi Muhammad, perintah dan pelukannya itu sebagai upaya agar Muhammad dapat menenangkan diri dan tidak merasa ragu akan apa yang bakal diterimanya. Sebab kalau ia langsung diajari surah al-Alaq, Muhammad akan merasa ragu kalau itu berasal dari Tuhan, atau malah akan menganggap dirinya dalam keadaan tidak sadar atau hanya sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian prosesi tarik-ulur itu bertujuan agar Nabi betul-betul menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan utusan Tuhan, yang mengabarinya tentang kenabian, ia tidak dalam keadaan bermimpi.
Ayat pertama dari wahyu pertama adalah “Bacalah dengan nama Tuhanmu,” tentu akan muncul pertanyaan “apa yang harus dibaca?” Ditinjau dari prespektif kebahasaan, jika satu ungkapan tidak disebutkan obyeknya, maka ia menunjukkan umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, seperti alam raya dan masyarakat. Dengan demikian, Tuhan menyuruh Nabi agar membaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis (qur'aniyyah) ataupun ayat-ayat yang tercipta (qauniyyah). Tetapi yang paling penting dan menjadi titik tekan ayat tersebut adalah pembacaan tersebut haruslah dilandasi atas nama Tuhan, Dengan pembacaan itu menjadikan beliau sadar akan kefakiran diri di hadapan Allah.[3]
Apabila ayat tersebut dihubungkan dengan ayat kedua, tampak bahwa yang harus dibaca Nabi pada khususnya dan manusia pada umumnya adalah diri sendiri: “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Secara tersirat, ayat kedua ini menuntut manusia agar membaca dirinya, sehingga muncul kembali pertanyaan abadi yang terkadang sudah dilupakan manusia, yaitu siapakah, dari manakah, hendak ke mana aku? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang jika direnungkan terus-menerus akan melahirkan kesadaran kehambaan seseorang..
Pada ayat selanjutnya, Tuhan menyatakan, “Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia”. Menurut Ash-Shabuni, pengulangan kata iqra' berfungsi untuk memberikan semangat terhadap aktivitas membaca pengetahuan. Senada dengan pendapat tersebut, Wahbah menyebutkan bahwa pengulangan tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca. Sementara itu, menurut Quraish Shihab, iqra' pada ayat ini menunjukkan konsekuensi logis dari iqra' pada ayat pertama. Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang sudah melakukan pembacaan terhadap dirinya, baik melalui ayat qur'aniyyah dan ayat qauniyyah.
Disarnping kata iqra' yang terulang dua kali, kata insan pun terulang dua kali. Pertama, manusia dalam kontek berhadapan dengan Tuhan, sebagai makhluk yang diciptakan, yakni diciptakan dari segumpal darah. Kedua, manusia sebagai makhluk yang menerima pelajaran, yang memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat (qalam). Ayat terakhir menyebut satu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Dalam hal ini, tampak satu pengingatan kesadaran bahwa manusia bukan hanya sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk-makhluk ruhani (makhluk yang harus mengejawantahkan nama-nama Tuhan dalam pentas kehidupannya).
Adapun kemuliaan yang akan didapat oleh manusia yang melakukan pembacaan tersebut dapat terwujud dalam dua bentuk, yakni Allah akan mengajarkan kepadanya al‑qalam yang termaktub pada ayat 4 dan Allah akan mengajarkan kepadanya sesuatu yang tidak diketahui manusia, yang termaktub pada ayat 5.
Jika lima ayat pada surah ini dikaitkan dengan pendidikan, maka terdapat beberapa titik temu sebagai berikut:[4]
Pertama, dalam kontek ini, Muhammad berperan sebagai seorang murid, sebab beliau adalah orang yang mencari sesuatu petunjuk dengan jalan kontemplasi dan semangat yang tinggi. Dari sini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa seharusnya seorang murid mempunyai semangat mencari ilmu dan mengawalinya dengan upaya penyucian jiwa, sehingga muncul dalam dirinya sikap tawadhu yang akan memudahkan dirinya dalam pembelajaran.
Kedua, malaikat yang dalam kontek surah ini berperan sebagai asisten Allah (guru), tidak serta merta memberikan pengajaran kepada Muhammad, tetapi ia terlebih dahulu memberikan pertanyaan dengan tujuan agar beliau betul-betul menyadari bahwa dirinya dalam keadaan terjaga. Sehingga ketika menerima pengajaran tersebut ia akan merasa yakin bahwa apa yang diterimanya merupakan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan, dari sini terlihat bahwa inti dari peristiwa tersebut adalah menuntut agar seorang guru tidak secara langsung memberikan pengajaran kepada murid. Terlebih dahulu guru harus mencairkan suasana sehingga memudahkan murid dalam mencerna pelajaran yang disampaikan seorang guru.
Ketiga, dalam lima ayat dari surah al-‘Alaq terdapat empat hal yang bisa dijadikan pijakan dalam pembelajaran. Keempat hal tersebut adalah:
a.       Pada tahap awal, pelajaran yang harus disampaikan adalah hal-hal yang bersifat indrawi (aladzi khalaq).
b.      Setelah anak didik mengetahui hal-hal yang bersifat indrawi, pembelajarannya harus ditingkatkan kepada masalah-masalah yang bersifat abstrak dan spiritual (khalaq al-insan).
c.       Setelah anak didik mampu menguasai kedua hal tersebut, maka langkah berikutnya adalah proses pembelajaran yang berujung pada kemampuan menuliskan gagasan. Sebab, apa yang dipahami, baik yang kasat mata atau yang tak kasat mata, ia kurang begitu berkaitan kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi khazanah keilmuan ('allama bil-qalam).
d.      Setelah tiga tahapan terlewati, maka tahap akhir adalah pembelajaran yang berkaitan dengan upaya-upaya yang akan meningkatkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dari Allah (`allam al-insana ma lam ya’lam).

2.     Asbabun Nuzul Surat Al-Alaq 1-5
Disebutkan dalam hadits-hadits shahih, bahwa Nabi SAW mendatangi gua hira’ (hira’ adalah nama gunung di Makkah) untuk tujuan beribadah selama beberapa hari, beliau kembal kepada istrinya, Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua, beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Illahi. Malaikat berkata kepadanya : “Bacalah!” beliau menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawai mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat memrgang nabi dan mengguncangkan badannya hingga nabi kepayahan, dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya “Bacalah!” Nabi menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat memrgang nabi dan mengguncangkannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat Al-Alaq 1-5.
Para perawi hadits mengatakan bahwa Nabi SAW kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan gemetar seraya mengatakan, “Selimuti aku, selimutilah aku!” kemudian Khadijah menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada Khadijah, kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah Ibnu Naufal Ibnu ‘Abdi ‘I-Uzza (anak paman Khadijah), berdasarkan hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan dan merupakan rahmat Allah pertama yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya, serta kitab pertama ditujukan keapada Rasulullah SAW.

B.     Q.S. Al-Ghasyiyah : 17-20

Description: 88:18Description: 88:17
Description: 88:19Description: 88:20
17.    Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18.    dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19.    dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20.    dan bumi bagaimana ia dihamparkan?[5]

1.      Tafsir Al Ghasiyah ayat 17-20
Dalam tafsir Al-marogy dijelaskan pula bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang pengingkaran terhadap hari berbangkit yang dilakukan oleh kaum musrikin. Allah menanyakan kepada mereka, mengapa mereka tidak mau memikirkan unta yang ada dihadapan mereka, kalaupun mereka tahu betapa indahnya unta itu, badannya yang besar, tubuhnya kuat, sangat tahan terhadap haus dan lapar sehingga tidak ada hewan manapun yang menyamainya dan dijuluki orang sebagai “kapal padang pasir” adapun maksud dari ayat ini adalah untuk menyangkal dan mencela penolakan mereka terhadap hari kebangkitan.[6]
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan sebagai pengajaran kepada manusia, bagaimana langit ditinggikan, padahal tidak ada satu pun penyangganya. Dan gunung-gunung ditegakkan? padahal tidak ada pasak dibawahnya dan siapa yang mengkokohkannya? dan bagaimana bumi dihamparkan begitu luasnya sehingga manusia begitu leluasa melakukan segala kegiatannya. Itu sebagai pembuktian agar mereka sadar bahwa seluruh benda di alam ini, tiada lain penciptanya, kecuali Allah SWT. Ini sebagai pelajaran sebagai manusia untuk bersyukur terhadap limpahan rahmat Allah SWT.

2.      Azbabun Nuzul
Menurut Mustafa al Maraghi, Surat Al Ghasyiyah turun di Makkah setelah surat Adz-Dzariyat sehinggga tergolong kelompok Surat Makiyah. Suguhan artikel kali ini kami ambil dari Al Quran surat tersebut dari ayat 17 sampai 26 yang terjemahannya sebagai berikut: "Apakah mereka tidak memperhatikan tentang unta bagaimana dijadikan? Dan tentang langit bagaimana ditinggikan? Dan tentang gunung bagaimana ditancaplan? Dan tentang bumi bagaimana dihamparkan? Maka peringatkanlah, sesungguhnya engkau adalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah penguasa. Kecuali siapa yang berpaling dan ingkar. Maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang besar. SeSungguhnya kepada Kami mereka akan kembali. Kemudian sesungguhnya bagi Kami perhitungan mereka." Asbabun Nuzul, sebab turunnya ayat tersebut yakni ayat ke 17.26 adalah ketika turun ayat tentang siksaan neraka dan nikmat surga di awal surat Al Ghasyiyah, orang-orang kafir takjub dan menganggap aneh hal itu maka Allah menurunkan ayat lanjutannya yang menyuruh memperhatikan benda-benda di alam sekitar agar bisa memahami kebenaran akan akhirat nanti. At Tabrisyi mengemukakan sebuah hadist dari Ubay bin Ka'ab bahwa Nabi Muhammad Saw.bersabda, "Barang siapa membaca surat Al Ghasyiyah maka Allah menghisabnya dengan hisab yang ringan."
    Surat Al Ghasyiyah ini menarik untuk di simak, setelah dari ayat ke satu sampai ayat ke 16, Allah berfirman tentang wajah wajah muram dan wajah ceria di hari kiamat nanti, tentang makanan di neraka dan kenikmatan di surga, dalam ayat ke-17 Allah berfirman tentang unta, lalu tentang langit, kemudian tentang gunung dan ahirnya tentang daratan bumi. Setelah itu, baru menyuruh memberi peringatan dan memastikan siksaan besar pada orang kafir serta perhitungan bagi mereka.
Dalam surat ini Allah sengaja menyusun ayat-ayat berselang-seling antara hal-hal akhirat 4 ayat, dunia 4 ayat, akhirat lagi. Antara alam gaib, alam nyata,alam gaib lagi. Antara ilmu aqidah 4 ayat, ilmu alam 4ayat, ilmu aqidah lagi. Antara bumi 4ayat, langit 4ayat, bumi lagi. Irama dengan amplitudo yang sangat kontras ini seakan menyatakan pikiran manusia dari keadaan tertidur lelap larut dalam aktivitas sia-sia agar bangun dan menjelajahi makna wujud segala sesuatu di sekitar. Ini adalah salah satu gaya bahasa Al Quran yang ampuh dalam menembus hati manusia.

C.    QS. Ali Imran 190-191
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgW7_XHaQOkFHiEXduyW5IM1XGsOhCdbM7tLFghw1aM5XEoaugrKhIxi4mRehukQgjbtePZXDFJOvCvRptv-DDPVm0xD6S8Lu2_3FeI-2MmoZYGU4WYlFnb_YupXGm2DFfDZD4uuCi8nu8/s1600/155898_1346003429134_1802742916_659076_1698097_n.jpg
190.     Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan yang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.     (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam zadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.[7]

Didalam tafsir Al Quranul majied dijelaskan sebagai berikut:
Ayat di atas menerangkan bahwasannya dalam peraturan langit dan bumi dan keindahan pembuatannya, di dalam perlainan malam dan siang dan terus menerus beriring-iringan melalui aturan yang paling baik yang nyata bekasnya pada tubuh dan akal kita, panas dan ingin, demikian pula pada binatang dan tumbuh-tumbuhan pada semua itu terdapat tanda-tanda dan dalil-dalil yang menunjuk kepada keesaan Allah, kesempurnaan ilmu-Nya dan kodrat-Nya, bagi segala orang yang berakal kuat.
Kemudian dijelaskan lagi bahwa orang-orang yang berakal itu adalah orang-orang yang memperhatikan langit dan bumi serta isinya, lalu mengingat akan Allah dalam segala keadaanya, berdiri, duduk, berbaring. Dan mereka memikirkan tentang keindahan ciptaan Allah, rahasia-rahasia kejadian dan segala yang dikandung oleh alam ini, manfaat hikmat dan rahasia yang menunjukkan kepada kesempurnaan kodrat dan ketunggalan (keesaan Allah yang sempurna, baik mengenai zat maupun mengenai sifat dan perbuatan.[8]

Asbabun Nuzul Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191
Menurut riwayat Abu Ishak al-Maqariy, Abdullah bin Hamid, Ahmad Bin Muhammad bin Yahya al-Abidiy, Ahmad bin Najdah, Yahya bin Abdul Hamid al-Mahany, Ya’qub al-Qumy, Ja’far bin Abi al-Mughirah, Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas, bahwa orang Quraisy Yahudi berkata: Apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab: Tongkat dan tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka datang kepada orang-orang Nasrani dan berkata: Bagaimanakah dengan yang dibawa oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab: Menyembuhkan orang yang lepra dan penyakit kulit serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada Nabi dan berkata: Coba engkau rubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami, maka turunlah ayat tersebut.[9]
 
BAB III
KESIMPULAN

Kewajiban belajar mengajar merupakan kewajiban setiap umat muslim. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW “tholabul ilmi faridhatun ala kulli muslirnin wa muslimatin”, yang artinya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi laki-laki muslim dan perempuan muslim. Merujuk dari hadist di atas kita dituntut dan diharuskan menimba ilmu seluas-luasnya karena menuntut ilmu tidak ada batasan kaya miskin, tua muda, dan batasan-batasan yang lainnya.
Dalam lima ayat dari surah al-‘Alaq terdapat empat hal yang bisa dijadikan pijakan dalam pembelajaran. Keempat hal tersebut adalah:
a.       Pada tahap awal, pelajaran yang harus disampaikan adalah hal-hal yang bersifat indrawi (aladzi khalaq).
b.      Setelah anak didik mengetahui hal-hal yang bersifat indrawi, pembelajarannya harus ditingkatkan kepada masalah-masalah yang bersifat abstrak dan spiritual (khalaq al-insan).
c.       Setelah anak didik mampu menguasai kedua hal tersebut, maka langkah berikutnya adalah proses pembelajaran yang berujung pada kemampuan menuliskan gagasan. Sebab, apa yang dipahami, baik yang kasat mata atau yang tak kasat mata, ia kurang begitu berkaitan kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi khazanah keilmuan ('allama bil-qalam).
d.      Setelah tiga tahapan terlewati, maka tahap akhir adalah pembelajaran yang berkaitan dengan upaya-upaya yang akan meningkatkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dari Allah ('allam al-insana ma lam ya'lam).
Selain Q.S Al-`Alaq ayat 1-5 yang menyinggung tentang kewajiban belajar mengajar adalah Q.S Al-Ghasyiyah ayat 17-20, Q.S Ali Imran ayat 190-191, dan masih banyak lagi lainnya.




DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Nurwadjah, E.Q. 2010. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan : Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman. Bandung : Marja.

Departemen Agama RI. 2005. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro.

http://salamakademikamu.wordpress.com/tafsir-kewajiban-belajar-mengajar/

Nata,Abudin. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawiy). Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Quraish, M, Shihab. 2006. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : Lentera Hari.


[1] Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Bandung : Diponegoro, 2005).
[2] Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan : Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja, 2010), hlm.196.
[3] Ibid., hlm. 198
[4] Ibid, hlm. 200.
[5] Departemen Agama RI, Op. Cit.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hari, 2006), hlm. 234.
[7] Departemen Agama RI, Op. Cit.
[8] http://salamakademikamu.wordpress.com/tafsir-kewajiban-belajar-mengajar/
[9] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar