KEWAJIBAN BELAJAR
MENGAJAR
(Q.S AL-ALAQ : 1-5,
Q.S. AL-GHOSYIYAH : 17-20
DAN Q.S. ALI IMRON
190-191)
BAB I
PENDAHULUAN
Kewajiban belajar
mengajar merupakan kewajiban setiap muslim. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad
SAW “tholabul ilmi faridhatun ala kulli
muslimin wa muslimatin”, yang artinya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya
bagi laki-laki muslim dan perempuan muslim. Merujuk dari hadits di atas kita
dituntut dan diharuskan menimba ilmu seluas-luasnya karena menuntut ilmu tidak
ada batasan kaya miskin, tua muda, dan batasan-batasan yang lainnya.
Belajar merupakan
suatu proses pendayagunaan semua panca indra untuk mengembangkan segala
kemampuan yang lebih baik, baik itu bersifat teoritis maupun praktis. Belajar
membutuhkan suatu komponen-komponen yang harus mendukung proses pembelajaran
tersebut misalnya lingkungan yang baik, pengajar yang profesional dan metode
yang digunakan haruslah benar. Hal tersebut dibutuhkan untuk memaksimalkan
segala kemampuan atau intelegensi siswa. Al-Qur’an banyak membicarakan tentang
sistem pembelajaran seperti misalnya melalui mauidhoh khasanah atau contoh dan
teladan yang baik. Seorang siswa pasti membutuhkan seorang guru yang menjadi
contoh dan teladan yang menurut mereka dialah yang paling baik dan harus
ditiru. Pemberian sugesti guru berupa tingkah laku yang baik ini mendorong
seorang siswa melakukan hal-hal yang menurutnya baik tanpa ada suatu paksaan
kepadanya, walaupun kadang-kadang hal-hal yang baik menurut mereka belum tentu
baik menurut orang lain.
Al-Qur’an juga
menganjurkan untuk membaca bahkan wahyu yang pertama turun adalah tentang
kewajiban membaca. Iqro’ yang artinya “bacalah” yang pertama turun ketika Nabi
Muhammad SAW menyendiri di gua hiro melalui malaikat jibril yang dilanjutkan
sampai ayat ke lima. Menerangkan tentang anjuran membaca, membaca merupakan
suatu proses belajar yang sangat penting. Terbukti, melalui membaca sel-sel
otak semakin berkembang dan berkemampuan berlipat dibandingkan orang yang tidak
suka membaca. Disamping itu, kemampuan otak untuk menyimpan data atau informasi
semakin besar dan kuat.
Tidak hanya belajar
namun mengajar juga sebuha kewajiban seorang muslim yang harus dijalankan kalau
dia mengaku sebagai seorang muslim yang baik. Mengajar adalah sebuah proses pembelajaran
yang ditujukan kepada seorang siswa dengan metode dan sistem tertentu sehingga
siswa tersebut dapat memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya, yang
dahulunya tidak bisa menjadi bisa. Mengajar harus sesuai dengan nilai-nilai
moral yang ada dan tidak boleh melanggar kaidah-kaidah yang sudah ditentukan
serta harus melalui proses dan tahap-tahap yang baik pula yaitu dengan tidak
memakai kekerasan ataupun paksaan yang membuat siswa trauma ataupun yang lain
sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SURAH AL-ALAQ : 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
(3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(1)
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan;
(2)
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah;
(3)
Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, -
(4)
Yang
mengajar (manusia) dengan perantara kalam [1589];
(5)
Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[1]
[1589]
Maksudnya : Allah mengajar manusia dengan perantaraan
tulis baca.
1.
Tafsir Surah Al-Alaq ayat 1-5
Pada surat di atas proses belajar mengajar
berlangsung dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW melalui metode membaca (iqro’). Tuhan (melalui malaikat jibril)
ingin agar Nabi Muhammad SAW membacakan segala sesuatu yang disampaikan oleh
malaikat jibril. Para ulama tafsir melihat kata kerja membaca (fi’il amr), yakni kalimat iqro’ (bacalah) pada ayat pertama
al-alaq tersebut tidak ada objek atau maf’ulnya.
Hal ini menunjukkan bahwa yang dibaca itu mencakup berbagai hal yang amat luas,
yakni tidak hanya membaca yang tersurat atau tertulis, melainkan termasuk yang
tersirat atau tidak tertulis.
Di dalam tafsir almarogy dijelaskan dengan
kekuasaan Allah, Tuhan yang menciptakan engkau dan kehendaknya, maka jadilah
engkau orang yang dapat membaca. Dia telah menjadikan kamu dari tidak tahu.
Karena Nabi SAW dahulunya tidak dapat membaca dan menulis. Karena beliau akan
diberi sebuah kitab yang akan dibacanya, walaupun dia tidak dapat menulis.
Ringkasnya, Tuhan yang mencipta dan mengadakan
alam ini adalah kuasa menjadikan kamu pandai membaca, walaupun kamu tidak
belajar lebih dahulu.
Dalam ayat kedua yang artinya berbunyi “Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah” diartikan bahwa zat yang kuasa
menciptakan segumpal darah menjadi
manusia hidup dan berpikir yang dapat menguasai seluruh makhluk bumi
adalah kuasa ilahi menjadikan Nabi Muhammad SAW bisa membaca sekaligus tidak
pernah belajar membaca dan menulis.
Dalam ayat ketiga yang artinya
“bacalah”mufassir menyatakan bahwa perintah membaca ini diulang-ulang, karena
membaca hanya dapat dicapai oleh seseorang dengan mengulang-ulang dan
dibiasakan. Ulangan perintah ini untuk menggantikan kedudukan apa yang dibaca.
Dengan demikian membaca itu menjadi pembawaan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dalam ayat ketiga lagi yang artinya
“dan Tuhanmulah paling pemurah”, sebagai penegasan bahwa Tuhanmu maha pemurah
terhadap setiap orang yang mengharapkan pemberian. Oleh karena itu niscaya
mudah bagi Allah melimpahkan kenikmatan dapat membaca Al-Qur’an kepadamu.
Dalam ayat yang keempat yang artinya berbunyi
“yang mengajarkan manusia dengan perantara qolam”. Qolam disini diartikan
mufassir adalah benda tak berjiwa dan tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan pengertian. Oleh
karena itu, apakah ada kesulitan bagi Tuhan yang membuat benda mati lagi diam
menjadi alat untuk memberi pengertian dan penjelasan dan menjadikan kamu orang
yang bisa membaca, menjelaskan serta mengajar karena kamu telah jadi manusia
sempurna?
Dalam ayat
yang kelima yang artinya berbunyi “yang mengerjakan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya”. Ayat ini menurutnya adalah Tuhan yang mengeluarkan
perintahnya agar rosulullah SAW membaca adalah Tuhan yang mengajarkan kepada
manusia seluruh ilmu yang dapat digunakan untuk mencapai kesenangan dan
membedakan dirinya dari hewan, yang tadinya manusia tidak mengetahui apa-apa.
Oleh karena itu apakah mengherankan sekiranya Tuhan mengajarkan kepadanya
membaca dan ilmu-ilmu yang banyak padahal dirimu ada pembawaan untuk itu?
Sebagaimana
tercatat dalam buku Sirah Ibnu Hisyam,[2]
Nabi Muhammad melakukan kontemplasi ketika mulai menginjak usia 36 tahun. Nabi
mulai melakukan kontemplasi pada saat melihat tatanan masyarakat di sekitarnya
yang sudah rusak. Beliau melakukan kontemplasi bukan sekadar mengasingkan diri,
tetapi mempunyai tujuan untuk mencari solusi bagaimana mengubah tatanan
masyarakat. Di samping itu, beliau melakukan prosesi pencarian kebenaran secara
tulus tanpa terbelenggu oleh pembatasan yang kita ciptakan sendiri. Pencarian
ini tidak mungkin dilakukan dalam semangat komunal dan sektarian. Ia harus
bebas dari setiap kemungkinan pengekangan ruhani (sikap alami manusia yang
memihak kepada yang benar dan yang baik, dengan lapang dada, toleran, dan tanpa
kefanatikan sebagai kelanjutan fitrahnya yang suci).
Pada saat Muhammad
mencari kebenaran, beliau memulainya dengan cara penyucian jiwa. Muhammad
menyadari bahwa dengan melakukan upaya penyucian jiwa akan memudahkan dalam
menemukan pencerahan batin. Kenyataan tersebut telah menjadikan dirinya siap
melakukan komunikasi rahasia dengan malaikat Jibril. Dalam beberapa hadits
dikisahkan bahwa Nabi sering bermimpi sebelum mendapat wahyu pertama. Hal tersebut
merupakan sinyal-sinyal ilahiyah akan turunnya wahyu melalui malaikat Jibril,
hingga akhirnya Nabi mampu menangkap penampakan Jibril, sebagaimana digambarkan
dalam surah an-Najm. Jika Muhammad langsung menerima wahyu, kemungkinan besar
beliau tidak mampu menangkap sinyal-sinyal Ilahi secara sempurna. Kenyataan
tersebut sekaligus sebagai petunjuk bagi pengikut Nabi Muhammad agar senantiasa
melakukan upaya penyucian jiwa, hingga ia mampu menangkap sinyal-sinyal Ilahi
dalam bentuk ilham.
Ketika usia
Nabi menginjak 40 tahun, seperti biasa beliau rnelakukan kontemplasi di Gua
Hira. Beliau dikagetkan oleh kedatangan Jibril yang tiba-tiba menyuruhnya untuk
membaca. Akhirnya terjadi tarik-ulur antara Jibril dan Muhammad, dan menurut
riwayat kejadian tersebut berulang hingga tiga kali. Karena Jibril mengerti
kondisi Muhammad, perintah dan pelukannya itu sebagai upaya agar Muhammad dapat
menenangkan diri dan tidak merasa
ragu akan apa yang bakal diterimanya. Sebab kalau ia langsung diajari surah al-Alaq, Muhammad akan merasa ragu kalau itu berasal dari
Tuhan, atau malah akan menganggap
dirinya dalam keadaan tidak sadar atau hanya sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian prosesi tarik-ulur
itu bertujuan agar Nabi betul-betul menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan utusan Tuhan, yang mengabarinya tentang
kenabian, ia tidak dalam keadaan bermimpi.
Ayat pertama dari wahyu pertama
adalah “Bacalah dengan nama Tuhanmu,” tentu akan muncul pertanyaan “apa yang harus dibaca?” Ditinjau dari prespektif
kebahasaan, jika satu ungkapan tidak disebutkan obyeknya,
maka ia menunjukkan umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, seperti alam raya dan
masyarakat. Dengan demikian, Tuhan menyuruh Nabi agar
membaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis (qur'aniyyah) ataupun ayat-ayat yang tercipta (qauniyyah). Tetapi yang paling
penting dan menjadi titik tekan ayat tersebut adalah pembacaan
tersebut haruslah dilandasi atas nama Tuhan, Dengan pembacaan itu menjadikan beliau sadar akan kefakiran diri di hadapan Allah.[3]
Apabila ayat tersebut dihubungkan
dengan ayat kedua, tampak bahwa yang harus dibaca Nabi pada khususnya dan manusia pada umumnya adalah diri sendiri: “Yang
telah menciptakan manusia dari segumpal
darah”. Secara tersirat, ayat kedua ini
menuntut manusia agar membaca dirinya, sehingga
muncul kembali pertanyaan abadi yang terkadang sudah dilupakan manusia, yaitu siapakah, dari manakah, hendak ke mana aku?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang jika
direnungkan terus-menerus akan melahirkan kesadaran kehambaan seseorang..
Pada ayat selanjutnya, Tuhan menyatakan, “Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia”. Menurut
Ash-Shabuni, pengulangan kata iqra' berfungsi untuk memberikan semangat terhadap aktivitas membaca pengetahuan. Senada dengan pendapat
tersebut, Wahbah menyebutkan bahwa pengulangan
tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca. Sementara itu, menurut Quraish Shihab, iqra' pada
ayat ini menunjukkan konsekuensi logis dari iqra'
pada ayat pertama. Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang sudah melakukan pembacaan
terhadap dirinya, baik melalui ayat qur'aniyyah dan
ayat qauniyyah.
Disarnping kata iqra' yang
terulang dua kali, kata insan pun terulang dua kali. Pertama, manusia dalam kontek berhadapan dengan Tuhan, sebagai makhluk yang
diciptakan, yakni diciptakan dari
segumpal darah. Kedua, manusia sebagai makhluk yang menerima pelajaran, yang
memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat (qalam). Ayat terakhir menyebut satu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu
menjadi tahu. Dalam hal ini, tampak satu pengingatan kesadaran bahwa manusia
bukan hanya sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk-makhluk
ruhani (makhluk yang harus mengejawantahkan nama-nama Tuhan dalam pentas
kehidupannya).
Adapun kemuliaan yang akan didapat oleh manusia yang
melakukan pembacaan tersebut dapat terwujud dalam dua bentuk, yakni Allah akan
mengajarkan kepadanya al‑qalam yang termaktub pada ayat 4 dan Allah akan
mengajarkan kepadanya sesuatu yang tidak diketahui manusia, yang termaktub pada
ayat 5.
Jika
lima ayat pada surah ini dikaitkan dengan pendidikan, maka terdapat beberapa
titik temu sebagai berikut:[4]
Pertama, dalam kontek ini, Muhammad
berperan sebagai seorang murid, sebab beliau adalah orang yang mencari sesuatu
petunjuk dengan jalan kontemplasi dan semangat yang tinggi. Dari sini dapat
ditarik satu kesimpulan bahwa seharusnya seorang murid mempunyai semangat
mencari ilmu dan mengawalinya dengan upaya penyucian jiwa, sehingga muncul
dalam dirinya sikap tawadhu yang akan memudahkan dirinya dalam pembelajaran.
Kedua, malaikat yang dalam kontek surah ini
berperan sebagai asisten Allah (guru), tidak serta merta memberikan pengajaran
kepada Muhammad, tetapi ia terlebih dahulu memberikan pertanyaan dengan tujuan
agar beliau betul-betul menyadari bahwa dirinya dalam keadaan terjaga. Sehingga
ketika menerima pengajaran tersebut ia akan merasa yakin bahwa apa yang
diterimanya merupakan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan, dari sini
terlihat bahwa inti dari peristiwa tersebut adalah menuntut agar seorang guru
tidak secara langsung memberikan pengajaran kepada murid. Terlebih dahulu guru
harus mencairkan suasana sehingga memudahkan murid dalam mencerna pelajaran
yang disampaikan seorang guru.
Ketiga, dalam lima ayat dari surah al-‘Alaq terdapat empat hal yang bisa
dijadikan pijakan dalam pembelajaran. Keempat hal tersebut adalah:
a. Pada
tahap awal, pelajaran yang harus disampaikan adalah hal-hal yang bersifat
indrawi (aladzi khalaq).
b. Setelah
anak didik mengetahui hal-hal yang bersifat indrawi, pembelajarannya harus ditingkatkan
kepada masalah-masalah yang bersifat abstrak dan spiritual (khalaq al-insan).
c. Setelah
anak didik mampu menguasai kedua hal tersebut, maka langkah berikutnya adalah
proses pembelajaran yang berujung pada kemampuan menuliskan gagasan. Sebab, apa
yang dipahami, baik yang kasat mata atau yang tak kasat mata, ia kurang begitu
berkaitan kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi
khazanah keilmuan ('allama bil-qalam).
d. Setelah
tiga tahapan terlewati, maka tahap akhir adalah pembelajaran yang berkaitan
dengan upaya-upaya yang akan meningkatkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan
secara langsung dari Allah (`allam
al-insana ma lam ya’lam).
2.
Asbabun Nuzul Surat Al-Alaq 1-5
Disebutkan dalam hadits-hadits
shahih, bahwa Nabi SAW mendatangi gua hira’ (hira’ adalah nama gunung di
Makkah) untuk tujuan beribadah selama beberapa hari, beliau kembal kepada
istrinya, Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua,
beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Illahi. Malaikat berkata
kepadanya : “Bacalah!” beliau menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawai
mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat memrgang nabi dan mengguncangkan
badannya hingga nabi kepayahan, dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata
lagi kepadanya “Bacalah!” Nabi menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawi
mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat memrgang nabi dan
mengguncangkannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan
apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat Al-Alaq 1-5.
Para perawi hadits mengatakan
bahwa Nabi SAW kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan gemetar seraya
mengatakan, “Selimuti aku, selimutilah aku!” kemudian Khadijah menyelimuti
beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada
Khadijah, kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah Ibnu Naufal Ibnu
‘Abdi ‘I-Uzza (anak paman Khadijah), berdasarkan hadits tersebut dapat
disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal ayat-ayat Al-Qur’an
diturunkan dan merupakan rahmat Allah pertama yang diturunkan kepada
hamba-hamba-Nya, serta kitab pertama ditujukan keapada Rasulullah SAW.
B.
Q.S.
Al-Ghasyiyah : 17-20




17.
Maka
Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18.
dan
langit, bagaimana ia ditinggikan?
19.
dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20.
dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?[5]
1.
Tafsir Al Ghasiyah ayat 17-20
Dalam tafsir Al-marogy dijelaskan pula
bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang pengingkaran terhadap hari berbangkit
yang dilakukan oleh kaum musrikin. Allah menanyakan kepada mereka, mengapa mereka
tidak mau memikirkan unta yang ada dihadapan mereka, kalaupun mereka tahu
betapa indahnya unta itu, badannya yang besar, tubuhnya kuat, sangat tahan
terhadap haus dan lapar sehingga tidak ada hewan manapun yang menyamainya dan
dijuluki orang sebagai “kapal padang pasir” adapun maksud dari ayat ini adalah
untuk menyangkal dan mencela penolakan mereka terhadap hari kebangkitan.[6]
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan
sebagai pengajaran kepada manusia, bagaimana langit ditinggikan, padahal tidak ada satu pun
penyangganya. Dan gunung-gunung ditegakkan? padahal tidak ada pasak dibawahnya
dan siapa yang mengkokohkannya? dan bagaimana bumi dihamparkan begitu luasnya
sehingga manusia begitu leluasa melakukan segala kegiatannya. Itu sebagai
pembuktian agar mereka sadar bahwa seluruh benda di alam ini, tiada lain penciptanya,
kecuali Allah SWT. Ini sebagai pelajaran sebagai manusia untuk bersyukur
terhadap limpahan rahmat Allah SWT.
2. Azbabun Nuzul
Menurut Mustafa
al Maraghi, Surat Al Ghasyiyah turun di Makkah setelah surat Adz-Dzariyat
sehinggga tergolong kelompok Surat Makiyah. Suguhan artikel kali ini kami ambil
dari Al Quran surat tersebut dari ayat 17 sampai 26 yang terjemahannya sebagai
berikut: "Apakah mereka tidak memperhatikan tentang unta bagaimana
dijadikan? Dan tentang langit bagaimana ditinggikan? Dan tentang gunung
bagaimana ditancaplan? Dan tentang bumi bagaimana dihamparkan? Maka
peringatkanlah, sesungguhnya engkau adalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah
penguasa. Kecuali siapa yang berpaling dan ingkar. Maka Allah akan menyiksa
mereka dengan siksaan yang besar. SeSungguhnya kepada Kami mereka akan kembali.
Kemudian sesungguhnya bagi Kami perhitungan mereka." Asbabun Nuzul, sebab
turunnya ayat tersebut yakni ayat ke 17.26 adalah ketika turun ayat tentang
siksaan neraka dan nikmat surga di awal surat Al Ghasyiyah, orang-orang kafir
takjub dan menganggap aneh hal itu maka Allah menurunkan ayat lanjutannya yang
menyuruh memperhatikan benda-benda di alam sekitar agar bisa memahami kebenaran
akan akhirat nanti. At Tabrisyi mengemukakan sebuah hadist dari Ubay bin Ka'ab
bahwa Nabi Muhammad Saw.bersabda, "Barang siapa membaca surat Al Ghasyiyah
maka Allah menghisabnya dengan hisab yang ringan."
Surat Al Ghasyiyah ini menarik untuk di simak, setelah
dari ayat ke satu sampai ayat ke 16, Allah berfirman tentang wajah wajah muram
dan wajah ceria di hari kiamat nanti, tentang makanan di neraka dan kenikmatan
di surga, dalam ayat ke-17 Allah berfirman tentang unta, lalu tentang langit,
kemudian tentang gunung dan ahirnya tentang daratan bumi. Setelah itu, baru
menyuruh memberi peringatan dan memastikan siksaan besar pada orang kafir serta
perhitungan bagi mereka.
Dalam surat ini Allah sengaja menyusun ayat-ayat berselang-seling antara hal-hal akhirat 4 ayat, dunia 4 ayat, akhirat lagi. Antara alam gaib, alam nyata,alam gaib lagi. Antara ilmu aqidah 4 ayat, ilmu alam 4ayat, ilmu aqidah lagi. Antara bumi 4ayat, langit 4ayat, bumi lagi. Irama dengan amplitudo yang sangat kontras ini seakan menyatakan pikiran manusia dari keadaan tertidur lelap larut dalam aktivitas sia-sia agar bangun dan menjelajahi makna wujud segala sesuatu di sekitar. Ini adalah salah satu gaya bahasa Al Quran yang ampuh dalam menembus hati manusia.
Dalam surat ini Allah sengaja menyusun ayat-ayat berselang-seling antara hal-hal akhirat 4 ayat, dunia 4 ayat, akhirat lagi. Antara alam gaib, alam nyata,alam gaib lagi. Antara ilmu aqidah 4 ayat, ilmu alam 4ayat, ilmu aqidah lagi. Antara bumi 4ayat, langit 4ayat, bumi lagi. Irama dengan amplitudo yang sangat kontras ini seakan menyatakan pikiran manusia dari keadaan tertidur lelap larut dalam aktivitas sia-sia agar bangun dan menjelajahi makna wujud segala sesuatu di sekitar. Ini adalah salah satu gaya bahasa Al Quran yang ampuh dalam menembus hati manusia.
C.
QS. Ali
Imran 190-191

190.
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan yang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam zadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
suci engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.[7]
Didalam tafsir Al Quranul majied dijelaskan
sebagai berikut:
Ayat di atas menerangkan bahwasannya dalam
peraturan langit dan bumi dan keindahan pembuatannya, di dalam perlainan malam dan siang
dan terus menerus beriring-iringan melalui aturan yang paling baik yang nyata
bekasnya pada tubuh dan akal kita, panas dan ingin, demikian pula pada binatang
dan tumbuh-tumbuhan pada semua itu terdapat tanda-tanda dan dalil-dalil yang
menunjuk kepada keesaan Allah, kesempurnaan ilmu-Nya dan kodrat-Nya, bagi segala
orang yang berakal kuat.
Kemudian dijelaskan lagi
bahwa orang-orang yang berakal itu adalah orang-orang yang memperhatikan langit
dan bumi serta isinya, lalu mengingat akan Allah dalam segala keadaanya,
berdiri, duduk, berbaring. Dan mereka memikirkan tentang keindahan ciptaan
Allah, rahasia-rahasia kejadian dan segala yang dikandung oleh alam ini,
manfaat hikmat dan rahasia yang menunjukkan kepada kesempurnaan kodrat dan
ketunggalan (keesaan Allah yang sempurna, baik mengenai zat maupun mengenai
sifat dan perbuatan.[8]
Asbabun Nuzul Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191
Menurut riwayat Abu
Ishak al-Maqariy, Abdullah bin Hamid, Ahmad Bin Muhammad bin Yahya al-Abidiy,
Ahmad bin Najdah, Yahya bin Abdul Hamid al-Mahany, Ya’qub al-Qumy, Ja’far bin
Abi al-Mughirah, Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas, bahwa orang Quraisy Yahudi berkata:
Apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab: Tongkat dan
tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka datang kepada
orang-orang Nasrani dan berkata: Bagaimanakah dengan yang dibawa oleh Isa
terhadapmu? Mereka menjawab: Menyembuhkan orang yang lepra dan penyakit kulit
serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada Nabi dan berkata:
Coba engkau rubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami, maka turunlah ayat
tersebut.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Kewajiban belajar mengajar merupakan kewajiban setiap
umat muslim. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW “tholabul ‘ilmi faridhatun ala kulli muslirnin wa muslimatin”, yang artinya menuntut ilmu
adalah wajib hukumnya bagi laki-laki muslim dan perempuan muslim. Merujuk dari
hadist di atas kita dituntut dan diharuskan menimba ilmu
seluas-luasnya karena menuntut ilmu tidak ada batasan kaya miskin, tua muda,
dan batasan-batasan yang lainnya.
Dalam lima ayat dari surah al-‘Alaq terdapat empat hal yang bisa dijadikan pijakan dalam
pembelajaran. Keempat hal tersebut adalah:
a. Pada
tahap awal, pelajaran yang harus disampaikan adalah hal-hal yang bersifat
indrawi (aladzi khalaq).
b. Setelah
anak didik mengetahui hal-hal yang bersifat indrawi, pembelajarannya harus
ditingkatkan kepada masalah-masalah yang bersifat abstrak dan spiritual (khalaq al-insan).
c. Setelah
anak didik mampu menguasai kedua hal tersebut, maka langkah berikutnya adalah
proses pembelajaran yang berujung pada kemampuan menuliskan gagasan. Sebab, apa
yang dipahami, baik yang kasat mata atau yang tak kasat mata, ia kurang begitu
berkaitan kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi khazanah
keilmuan ('allama bil-qalam).
d. Setelah
tiga tahapan terlewati, maka tahap akhir adalah pembelajaran yang berkaitan
dengan upaya-upaya yang akan meningkatkan seseorang untuk mendapatkan
pengetahuan secara langsung dari Allah ('allam
al-insana ma lam ya'lam).
Selain Q.S Al-`Alaq ayat 1-5 yang menyinggung tentang
kewajiban belajar mengajar adalah Q.S Al-Ghasyiyah ayat 17-20, Q.S Ali Imran
ayat 190-191, dan masih banyak lagi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nurwadjah, E.Q. 2010. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan : Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman. Bandung
: Marja.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung :
Diponegoro.
http://salamakademikamu.wordpress.com/tafsir-kewajiban-belajar-mengajar/
Nata,Abudin. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawiy). Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada.
Quraish, M, Shihab. 2006. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : Lentera Hari.
[2] Nurwadjah
Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan :
Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja, 2010), hlm.196.
[8] http://salamakademikamu.wordpress.com/tafsir-kewajiban-belajar-mengajar/
[9] Abudin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-Tarbawiy),
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar