PANDANGAN ISLAM TERHADAP
KELUARGA BERENCANA
A. DEFINISI KB (KELUARGA BERENCANA)
Keluarga Berencana (KB)
merupakan terjemahan dari istilah Family Planning atau Planned Parenthood dalam
Bahasa Inggris. Dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tanzim al-NasalI yang
berarti pengaturan keturunan, yaitu pasangan suami istri yang mempunyai perencanaan yang kongkrit menegenai kapan anak-anaknya
itu diharapkan lahir. Dengan kata lain KB dititik beratkan pada perencanaan,
pengaturan, dan
pertanggung jawaban orang tua terhadap anggota keluarganya agar mudah dan
secara sistematis dapat merasakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Untuk
itu dilakukan berbagai upaya atau cara agar dalam hubungan suami istri tidak
terjadi kehamilan.
Adapun dalam melaksanakan
keluarga berencana digunakan sala satu alat kontrasepsi yang sudah dikenal
seperti: pil, suntikan, Kontra-indikasi, susuk KB, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR), Sterilisasi (vasektomi/tubektomi).
B.
TUJUAN PROGRAM KB
Program KB memiliki banyak tujuan khususnya program KB
yang ada di indonesia:
1. Tujuan Demografis : yaitu upaya penurunan
tingkat pertumbuhan penduduk sebanyak 50% pada tahun 1990 dari keadaan tahun
1971, kalau ini berhasil maka laju pada pertumbuhan penduduk indonesia dapat
ditekan 1% pertahun, mulai tahun 1990.
2. Tujuan Normatif : yaitu menciptakan norma
ketengah-tengah masyarakat agar timbul kecenderungan untuk menyukai keluarga
kecil, karena dengan keluarga yang kecil akan lebih mudah untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga,
terutama kesejahteraan ibu dan anak.
Tujuan lain program KB adalah untuk
memperoleh kesempatan yang luas bagi seorang ibu demi melaksanakan berbagai
kegiatan yang lebih bermanfaat, yaitu menata kehidupan berumah tangga, dan bisa
berpartisipasi dalamkegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan sosial,pendidikan
dan ibadah-ibadah lain.
Lebih lanjut lagi tujuan KB adalah untuk
mempersiapkan secara dini sejumlah anak yang memungkinkan bagi orang tua untuk
membekali anak-anaknya baik fisik atau mentalnya, agar dapat mandiri dihari
depannya. Tujuan-tujuan ini akan lebih mudah dicapai apabila suatu keluarga
relatif kecil, yang secara ekonomis lebih mudah dijangkau, dan secara
psikologis akan ada ketenanga dalam keluarga.
Pelaksanaan
KB dibolehkan dalam Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan
pendidikan. Artinya, dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai
kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya agar menjadi akseptor KB. Bahkan
menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa
depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang
tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini
berdasarkan pada sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi:
وليخش اللذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم
فليتقوا الله واليقولوا قولا سديدا
Dan hendaklah
orang-orang takut kepada Alloh bila seandainya mereka
meninggalkan anaka-anaknya yang dalam keadaan lemah; yang mereka
hawatirkan terhadap (kesejahteraan mereka)oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertaqwa kepada Alloh dan mengucapkan perkataan yang benar.(An-Nisa’: 9)
Ayat ini menerangkan bahwa kelamahan ekonomi,
kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan integensi anak akibat
kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka disinilah peranan KB untuk
membantu orang-orang yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak
berdosa di kemudian hari bila meninggalkan keturunannya.
C.
SEGI-SEGI POSITIF/NEGATIF KB DAN MACAM-MACAM ALAT KB
1.
Segi positif
Dengan pelaksanaan program Keluarga Berencana
diharapkan jumlah pendudukan dapat diatur untuk meningkatkan kesejahteraan
bangsa dan untuk mencegah terjadinya bencana sosial, pengangguran, kriminalitas
dan kecelakaan lalulintas semakin meningkat. Selain itu sebuah keluarga juga
bisa memberi jarak atau masa senggang terhadap kehamilannya, sehingga tidak
terjadi kelahiran anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya. Dan orang
tuapun bisa lebih tekun dan banyak waktu untuk mengurus anaknya, dan juga lebih
bisa memantau dengan baik pada pendidikan anak.
2.
Segi Negatif KB
KB (keluarga berencana) juga memiliki segi
negatifnya,karena terkadang orang yang melakukan tindakan KB yang cukup lama
sehingga dapat membuat kandungan kering dan panas akibat obat-obat KB yang
telah di konsumsi, sehingga terjadi kemandulan terhadap seorang wanita, selain
itu juga sejak ada program KB melalui berbagai alat kontrasepsi yang sudah beredar diseluruh penjuru pada
saat ini tidak hanya orang yang sudah berumah tangga saja yang menggunakan alat
tersebut, tetapi banyak terjadi pada kalangan remaja yang menyalah gunakan
alat/program tersebut, sehingga terjadi kemaksiatan dimana-mana.
Terhadap orang-orang yang ahli maksiat pada
khususnya ahli zina mereka memiliki banyak peluang untuk melakukan
perzinaan dimanapun saja, karena begitu mudah saat ini bagi mereka untuk
mendapatkan barang tersebut. mereka berfikir setelah mereka menggunakan alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, maka tidak akan terjadi kehamilan pada
dirinya, sehingga mereka leluasa dalam melakukan kemaksiatan dilain waktu
dengan menggunakan alat tersebut.
3. Macam-macam Alat Kontrasepsi
Dalam
pelaksanaan KB harus menggunakan alat kontrsepsi yang sudah dikenal diantaranya
ialah:
a.
Pil, berupa tablet yang berisi progrestin yang bekerja
dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan
pada endometrium.
b.
Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh. Cara
kerjanya yaitu menghalangi ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak
mungkin terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan
sperma melalui canalis servikalis.
c.
Susuk KB, levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang
diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari
lipatan siku. Cara kerjanya sama dengan suntik.
d.
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss
loop(spiral) multi load terbuat dari plastik harus dililit dengan tembaga tipis
cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya sperma untuk membuahi sel telur
wanita.
e.
Sterelisasi (Vasektomi/ tubektomi) yaitu operasi
pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik
sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang diejakulasi) bagi
laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita sehingga ovarium
tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari sterilisasi ini akan menjadi
mandul selamanya.
Alat-alat
konrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet vagmat, dan tiisu yang
dimasukkan kedalam vagina. Disamping itu ada cara kontrasepsi yang bersifat
tradisional seperti jamuan, urut dsb.
D. KELUARGA BERENCANA DALAM AGAMA ISLAM
a.
Pandangan Al-Qur’an Tentang Keluarga Berencan
Dalam al-Qur’an banyak
sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya
dengan KB diantaranya ialah :
Surat An-Nisa’ ayat 9,
Surat An-Nisa’ ayat 9,
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Selain ayat diatas masih
banyak ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB diantaranya ialah surat
al-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan
at-Thalaq: 7. Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri,
mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup berumah tangga.
b.
Pandangan al-Hadits Tentang Keluarga Berencana
Dalam Hadits Nabi diriwayatkan:
إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة
لتكففون الناس (متفق عليه)
Dalam Hadits Nabi
diriwayatkan: “Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau
tanggungan orang banyak.”
Dari hadits ini
menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga
selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi
orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.
E. HUKUM KELUARGA BERENCANA
Di antara maksud tujuan agama Islam (maqasih syari’ah)
dari adanya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (littanasul)
dan menghindari suami atau isteri jatuh kepada perbuatan zina. Oleh karena itu,
dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan ummatnya
untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh keturunan).
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan
seperti di bawah ini:
Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad).
Bahkan bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih
lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin
Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya
Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan
sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh
menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang
penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak
ummatnya”.
Hadits ini, tidak berarti menikahi yang tidak subur tidak
boleh, akan tetapi sangat dianjurkan dan alangkah lebih baiknya apabila
menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan.
Dari hadits-hadits di atas nampak bahwa di antara tujuan
utama adanya pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam al-Qur’an,
Allah juga mengecam mereka yang tidak mau memperoleh keturunan dengan alasan
semata-mata karena takut miskin, rizki seret dan lain sebagainya. Hal ini
karena sudah merupakan janji Allah bahwa, Allah yang akan memberikan rizki
kepada anak-anak tersebut.
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. Al-Isra: 31).
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di
bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya:
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).
Dari keterangan-keterangan di atas, jumhur ulama
berpendapat bahwa seseorang yang tidak mau mempunyai anak dikarenakan
semata-mata hanya karena takut miskin, takut tidak dapat memberikan makan,
tidak dibenarkan. Karena dengan melakukan demikian, dinilai tidak meyakini
dengan kekuasaan Allah.
Dari sini juga, barangkali kita dapat mengkategorikan praktik
KB ini kepada dua bagian besar.
Pertama, melakukan program KB,
dengan alasan takut tidak dapat memberikan makan, takut miskin dan lain
sebagainya, maka praktik KB seperti ini tidak dibenarkan. Karena hal ini
menyangkut keyakinan seorang muslim kepada Allah, bahwa Allah yang akan
memberikan rizkinya.
Selain itu, sebagian besar ulama juga tidak membolehkan seseorang
yang melakukan praktik KB dengan jalan memasang alat yang mengakibatkan si
wanita tidak dapat hamil selamanya (bukan sementara waktu), tanpa ada alasan
syar’i yang dibenarkan, bukan karena demi kesehatan si ibu atau lainnya. Untuk
jenis ini, praktik KB tidak diperbolehkan, karena tidak sesuai dengan di antara
maksud utama pernikahan dalam Islam.
Kedua, praktik KB untuk mengatur
saja, demi kesejahteraan si anak atau kesehatan si ibu. Misalnya, menurut
dokter sebaiknya demi kesehatan si ibu, agar melahirkan lagi setelah dua atau
tiga tahun ke depan, atau agar jarak antara putra yang satu dengan yang lain
tidak terlalu dekat, atau dengan dasar agar pendidikan setiap anak dapat
terpantau dengan baik, atau menurut dokter, kalau jaraknya terlalu dekat, akan
mengakibatkan si anak kurang normal, atau kurang sehat, maka untuk jenis ini
diperbolehkan, karena ada alasan syar’i dan praktik KB tersebut bukan untuk
selamanya (sementara waktu saja).
Di antara dalil diperbolehkannya praktik KB untuk jenis
kedua ini adalah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim yang memperbolehkannya praktik
‘azl. ‘azl adalah menumpahkan sperma di luar vagina, dengan maksud di
antaranya agar si isteri tidak hamil, baik demi alasan kesehatan si isteri atau
lainnya. Praktik ‘azl ini berlaku umum di kalangan sahabat, dan Rasulullah saw
tidak melarangnya. Ini artinya, bahwa praktik tersebut dibenarkan. Di antara
dalil yang membolehkan praktik ‘azl ini adalah:
Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw dan pada waktu itu al-Qur’an masih turun” (HR. Bukhari Muslim).
Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw, lalu disampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melarang kami” (HR. Muslim).
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin bab
Adab Nikah mengatakan, bahwa para ulama dalam masalah boleh tidaknya ‘azl
ini terbagi kepada empat pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa praktik
‘azl dengan cara apa saja diperbolehkan. Pendapat kedua, praktik ‘azl
dengan cara dan maksud seperti apapun diharamkan. Pendapat ketiga, praktik
‘azl diperbolehkan, apabila ada idzin dari isteri, apabila tidak ada
idzin, maka ‘azl tidak diperbolehkan. Keempat, praktik ‘azl
diperbolehkan untuk budak-budak wanita, namun untuk isteri-isteri meredeka
tidak dibenarkan.
Imam al-Ghazali kemudian menutup perbedaan di atas dengan
mengatakan: “Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i), praktik
‘azl mubah (boleh-boleh saja)”.
Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa, ‘azl
diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim
di atas, selama ada idzin dari isteri.
Praktik KB pun dapat dianalogkan (dikiaskan) dengan praktik
‘azl ini, sehingga menurut sebagian besar ulama, praktik KB dengan
maksud untuk mengatur keturunan (tanzhim an-nasl), dan bukan dalam
artian tidak mau melahirkan selamanya (man’un nasl), diperbolehkan,
sebagaimana proses ‘azl yang dilakukan para sahabat di atas.
Dalam ber-KB Islam membolehkan untuk KB
Coitus Interuptus, IUD dan laktasi, tetapi untuk KB yang sifatnya
sterilisasi seperti vasektomi dan tubektomi yang berakibat
pemandulan tetap hal ini dilarang dalam agama, karena ada beberpa hal yang
prinsipal, yaitu: Sterilisasi bertentangan dengan tujuan pokok
perkawinan menurut Islam , yakni : perkawinan lelaki dan wanita selain
bertujuan unutk mendapatkan kebahagiaan suami istri dalam hidupnya dunia
akhirat, juga untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapakan menjadi anak
yang saleh sebagai penerus cita-citanya. Mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan
memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi (saluran
telur).
Fatwa MUI Pusat Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia III 1430H/2009M di Padang Panjang 24-26 Januari 2009 yang dinukil
dari diktat Hasil-hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, Bagian
Kedua tentang Fatwa hukum penggunaan vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB
(keluarga berencana), bahwa : “Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang
ini dilakukan dengan memotong saluran sperma. Hal itu berakibat terjadinya
kemandulan tetap. Adapun upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak
menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu,
Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan praktik vasektomi hukumnya haram.”
F. CARA KB YANG DIPERBOLEHKAN DAN YANG DILARANG OLEH ISLAM
1.
Cara yang
diperbolehkan
Ada beberapa
macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain,
menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue.
Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini
dapat dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana
hadits Nabi :
كنا نعزل على عهد وسول
الله ص. م. فلم ينهها (رواه مسلم )
Kami dahulu dizaman Nabi SAW melakukan azl,
tetapi beliau tidak melarangnya.
2.
Cara yang
dilarang
Ada juga
cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah
atau merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori
ini antara lain, vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan
karena hal ini menentang tujuan pernikahan untuk menghasilakn keturunan.
Nama :
Dinazad
NIM :
3120040
Kelas :
4 B Reguler
PANDANGAN ISLAM TERHADAP ABORSI
A. DEFINISI ABORSI
Abortus (aborsi) yang dalam Bahasa Inggris disebut Abortion,
berasal dari Bahasa Latin yang berarti
gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa
Arab disebut Isqatu Hamli atau al Ijhadh (إسقاط
الحمل آوالاجها د).
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Masail Fiqhiyah ada
perbedaan dalam mengartikan tentang aborsi, seperti diungkapkan oleh Sardikin
Guna Putra, aborsi adalah pengakhiran kehamilan atas hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputra,
aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi
dapat lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi
tersebut. Berbeda juga menurut Nani
Soendo, aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin masih
demikian kecilnya sehinga tidak dapat hidup.
Dapat disimpulkan sebagaimana dikutip dari M. Quraish Shihab dalam
bukunya yang berjudul Perempuan bahwa aborsi adalah pengguguran
kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan, baik dalam keadaan hidup
atau mati, sehingga keluar dari rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan
dengan obat atau selainnya, oleh yang mengandungnya maupun bantuan orang lain.
B. MACAM-MACAM ABORSI
Untuk terjadinya Abortus, sekurang-kurangnya ada
tiga unsur: pertama, adanya embrio (janin) yang merupakan hasil
pembuahan antara sperma dan ovum dalam rahim. Kedua, Pengguguran itu
adakalanya terjadi dengan sendirinya, tetapi sering disebabkan manusia. Ketiga,
keguguran itu terjadi sebelum waktunya, artinya sebelum masa kelahiran tiba.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.
Aborsi Spontan / Alamiah
2.
Aborsi Buatan /
Sengaja
3.
Aborsi Terapeutik / Medis
Aborsi spontan / alamiah berlangsung tanpa tindakan
apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel
sperma, sedangkan Aborsi buatan / sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum
usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan
disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan
atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Adapun metode yang digunakan untuk abortus biasanya
ialah:
1.
Currattage dan Dilatege (C & D).
2.
Dengan alat khusus, mulut rahim dilebarkan, kemudian
janin dikiret (di-curet) dengan alat seperti sendok kecil.
3.
Aspirasi, yakni penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
4.
Hysterotomi (melalui operasi).
C.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MELANDASI DAN DAMPAKNYA
Ada beberapa faktor yang
mendorong sehingga seorang dokter dapat melakukan pengguguran kandungan pada
seorang ibu, yaitu antara lain :
1.
Indikasi medis : yaitu seorang dokter
menggugurkan kandungan seorang ibu, karena dipandangnya bahwa nyawa wanita yang
bersangkutan, tidak dapat tertolong bila kandungannya dipertahankan, karena
mengidap penyakit yang berbahaya :
a. Penyakit jantung
b. Penyakit paru-paru.
c. Penyakit ginjal.
d. Penyakit Hipertensisis
dan sebagainya.
2. Indikasi sosial :
yaitu dilakukannya pengguguran kandungan, karena didorong oleh faktor kesulitan
finansial, misalnya :
a. Karena seorang ibu sudah
menghidupi beberapa orang anak, padahal ia termasuk sangat miskin.
b. Karena kegagalan mereka
dalam menggunakan alat kontrasepsi atau dalam usaha mencegah terjadinya kehamilan.
c. Karena wanita yang hamil
itu, disebabkan oleh hasil pemerkosaan seorang pria yang tidak mau bertanggung
jawab.
d. Karena malu dikatakan
dihamili oleh pria yang bukan suaminya, dan sebagainya.
Dampak abortus dan
menstrual regulation adalah :
1.
Timbul luka-luka dan infeksi-infeksi pada dinding
alat kelamin dan merusak organ-organ di dekatnya seperti kandung kencing atau
usus.
2.
Robek mulut rahim sebelah dalam (satu otot
lingkar). Hal ini dapat terjadi karena mulut rahim sebelah dalam bukan saja
sempit dan perasa sifatnya, tetapi juga kalau tersentuh, maka ia menguncup
kuat-kuat. Kalau dicoba untuk memasukinya dengan kekerasan maka otot tersebut
akan menjadi robek.
3.
Dinding rahim bisa tembus, karena alat-alat yang
dimasukkan ke dalam rahim.
4.
Terjadi pendarahan. Biasanya pendarahan itu
berhenti sebentar, tetapi beberapa hari kemudian/ beberapa minggu timbul
kembali. Menstruasi tidak normal lagi selama sisa produk kehamilan belum
dikeluarkan dan bahkan sisa itu dapat berubah menjadi kanker.
D. HUKUM ABORSI
1.
Hukum Aborsi Menurut Syari’at Islam
Pandangan Syariat Islam secara umum mengharamkan
praktik aborsi. Hal itu tidak diperbolehkan karena beberapa sebab :
a.
Syariat Islam datang dalam rangka menjaga adhdharuriyyaat
al-khams, lima hal yang
urgen, yaitu : memelihara ad-dien (agama), an-nafs (jiwa),
an-nasl (keturunan),
al-mal (harta),
dan al-‘aql (akal).
b.
Aborsi sangat bertentangan sekali dengan tujuan utama
pernikahan. Dimana tujuan penting pernikahan adalah memperbanyak keturunan. Oleh
sebab itu Allah memberikan karunia kepada Bani Israil dengan memperbanyak
jumlah mereka, Allah berfirman : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih
besar” (Al-isra : 6 )
Nabi juga memerintahkan umatnya agar
memperbanyak pernikahan yang diantara tujuannya adalah memperbanyak keturunan.
Beliau bersabda :
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم يوم
القيامة
“Nikahilah wanita penyayang nan banyak
melahirkan, karena dengan banyaknya jumlah kalian aku akan berbangga-bangga
dihadapan umat lainnya pada hari kiamat kelak”.
c.
Tindakan aborsi merupakan sikap buruk sangka terhadap
Allah.
Banyak manusia yang melakukan aborsi karena didorong rasa takut akan ketidak mampuan untuk mengemban beban kehidupan, biaya pendidikan dan segala hal yang berkaitan dengan konseling dan pengurusan anak. Ini semua merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah. Padahal, Allah telah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”
Banyak manusia yang melakukan aborsi karena didorong rasa takut akan ketidak mampuan untuk mengemban beban kehidupan, biaya pendidikan dan segala hal yang berkaitan dengan konseling dan pengurusan anak. Ini semua merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah. Padahal, Allah telah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”
Maka, Syariat Islam memandang bahwa hukum aborsi
adalah haram kecuali beberapa kasus tertentu. Dalam kalangan Ulama
terdapat perbedaan pendapat tentang praktik aborsi tersebut, dan mereka
memiliki dalil-dalil yang sama kuat pula, yaitu sebagi berikut:
1. Dalil-dalil yang
melarang dilakukannya Aborsi
Sebelum Islam datang, pada masa jahiliyah , kaum Arab mempunyai tradisi
mengubur hidup-hidup bayi yang baru dilahirkan. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (٨)بِأَيِّ
ذَنْبٍ قُتِلَتْ (٩(
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-
hidup ditanya, . karena dosa Apakah Dia dibunuh”.( At Takwiir 8-9)
Islam membawa ajaran yang menentang
dan mengutuk tradisi jahiliyyah ini. Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ
إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا
كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Al-Isra’ 31)
Pada perkembangan selanjutnya,
pembunuhan tidak hanya dilakukan pada bayi-bayi yang baru dilahirkan. Tetapi
juga dilakukan dengan cara membunuh calon-calon bayi yang akan dilahirkan.
Dalam istilah fiqh disebut:
إجهاض , إملاص, إسقاط الطرح
Sementara ulama lain berpendapat,
hukum menggugurkan kandungan tidak dapat disamakan persis dengan membunuh bayi
yang sudah dilahirkan. Karena ketika sperma sudah memasuki rahim perempuan,
masih ada proses panjang sebelum akhirnya keluar menjadi bayi yang dilahirkan.
Allah SWT berfirman:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
“Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik”. ( Al-mu’minun:12-14)
Secara sederhana, pendapat para ulama
mengenai hukum aborsi dapat disimpulkan sebagai berikut:
Apabila kandungan masih dalam bentuk
gumpalan darah (40-80 hari) atau masih dalam bentuk gumpalan daging (80-120
hari), maka hukumnya adalah sebagai berikut:
Menurut Ibnu Immad dan Imam
Al-Ghozali, haram hukumnya, karena gumpalan itu akan menjadi makhluq
yang bernyawa. Pendapat ini di dukung oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haytami.
2. Dalil-dalil yang membolehkan
dilakukannya Aborsi
Hukum asal aborsi, sebagaimana yang telah dikemukakan adalah haram.
Akan tetapi dikarenakan kaidah:
الضرورات تبيح المحظورات
“Hal-hal yang darurat dapat
menyebabkan dibolehkannya hal-hal yang dilarang”
Para Ulama kontemporer membolehkan
aborsi dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Terbukti adanya penyakit yang membahayakan jiwa sang ibu.
b.
Tidak ditemukannya cara penyembuhan kecuali dengan cara
aborsi.
c.
Adanya keputusan dari seorang dokter yang dapat dipercaya
bahwa aborsi adalah satu–satunya cara untuk menyelamatkan sang ibu.
Imam Abu Ishaq Al-Marwazi berpendapat
bahwa hukum mengaborsi adalah boleh. Karena kenyataannya gumpalan itu masih
belum dapat dikatakan makhluk yang bernyawa. Pendapat ini didukung oleh Imam
Romli.
Sedangkan hukum aborsi pada kandungan yang sudah berusia 120 hari hukumnya adalah haram dan tergolong dosa besar, karena pada usia itu kandungan sudah berbentuk makhluk hidup dan bernyawa sehingga hukumnya sama dengan membunuh manusia. Dalam hadits dinyatakan:
Sedangkan hukum aborsi pada kandungan yang sudah berusia 120 hari hukumnya adalah haram dan tergolong dosa besar, karena pada usia itu kandungan sudah berbentuk makhluk hidup dan bernyawa sehingga hukumnya sama dengan membunuh manusia. Dalam hadits dinyatakan:
إنَّ
أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ,
ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ,
ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ . رواه الشيخان
“Sesungguhnya
kalian dikumpulkan didalam rahim ibu selama 40 hari dalam bentuk air mani, dan
40 hari dalam bentuk gumpalan darah, dan 40 hari dalam bentuk gumpalan daging,
lalu Allah SWT mengutus malaikat meniupkan ruh” (HR.Bukhori,Muslim)
Pelaku aborsi pada kandungan yang
sudah berusia 120 hari juga tergolong pembunuhan yang mewajibkan kaffaroh,
yakni puasa dua bulan secara berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin
bagi yang tidak mampu puasa. Disamping itu juga wajib membayar denda jinayah 5%
diyat atau setara dengan harga emas seribu dinar. Satu dinar setara dengan emas
4.250 gr.
Akan tetapi menurut pendapat yang di
nuqil oleh Imam ibnu Hajar Al-Haytami dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj dari
sebagian ulama madzhab Hanafi, hukum mengugurkan kandungan secara mutlak
diperbolehkan meskipun kandungan sudah memasuki usia 120 hari. Namun pendapat
ini diragukan kebenarannya oleh Ibnu Abdil Haq As-sanbathi. Beliau berkata:
“Aku menanyakan masalah ini kepada sebagian ulama madzhab Hanafi, dan mereka
mengingkarinya. Mereka bahkan mengaku berpendapat boleh dengan syarat
sebagaimana diatas (sebelum kandungan berusia 120 hari).
Meskipun pendapat ini diragukan
kebenarannya oleh sebagian ulama, akan tetapi Syekh Sulaiman Al-Kurdi tetap
memperbolehkan untuk diikuti dengan terlebih dahulu bertaqlid kepada madzhab
Hanafi. Dengan demikian, pendapat ini layak dijadikan sebagai solusi ketika
menghadapi kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan aborsi untuk menyelamatkan
nyawa ibu.
2. Menurut Fatwa MUI
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal :
12 Rabi`ul Akhir 1426 H, 21 Mei 2005.
ð Pertama
: Ketentuan Umum
1. Darurat
adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang
diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
2. Hajat
adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang
diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.
ð Kedua :
Ketentuan Hukum
1. Aborsi
haram hukumnya sejak terjadinya implantasi bla stosis pada dinding rahim ibu
(nidasi).
2. Aborsi
dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.
1) Keadaan
darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
a. Perempuan
hamil menderita sakit fisik berat seperti kankerstadium lanjut, TBC dengan
caverna dan penyakit-penyakit fisik beratlainnya yang harus ditetapkan oleh Tim
Dokter.2.
b. Dalam
keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
2) Keadaan
hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
a. Janin
yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit
disembuhkan.
b. Kehamilan
akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yangberwenang yang didalamnya
terdapat antara lain keluarga korban, dokter,dan ulama.
c. Kebolehan
aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40
hari.
d. Aborsi
haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
3. Hukum Aborsi
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia,
aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus
Provocatus Criminalis”. Yang menerima hukuman adalah: 1) Ibu yang melakukan
aborsi. 2) Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi. 3)
Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi. Berikut beberapa pasal yang
terkait aborsi dalam KUHP:
Pasal 229
1)
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan,
bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2)
Jika yang
bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3)
Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam
menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Selain pasal-pasal di atas, masah banyak pasal lain melarang adanya
tindakan aborsi di Indonesia, yaitu: pasal 342, pasal 343, pasal 346, pasal 347,
pasal 348, pasal 349.
E.
HUKUMAN BAGI PELAKU ABORSI
Dari uraian di atas
dapat dipahami bahwa aborsi daam pandangan hukum Islam termasuk perbuatan yang
keji dan merupakan suatu kejahatan. Kejahatan yang lengkap unsur-unsurnya dan
dilakukan oleh pelaku dalam keadaan sadar dan sengaja, tentu akan mendapatkan
hukuman. Sebagaimana dicontohkan Nabi dalam haditsnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ،
رَمَتْ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا بِغُرَّةٍ، عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ.
“Salah seorang dari dua perempuan bani Huzeil melempar saudaranya (juga
dari perempuan bani Huzeil) sehingga gugur kandungannya. Kemudian Rasulullah
saw, menghukumnya dengan ghurrah seorang sahaya laki-laki atau perempuan”. (HR. Muslim).
Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi, menetapkan wajib ghurrah (denda) pada janin
tanpa menjelaskan pada tahap mana ia diwajibkan. Ini berati denda itu
diwajibkan karena adanya janin dalam kandungan, walau pun masih berbentuk
cairan seperma.
Di Indonesia sendiri
sanksi bagi pelaku aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Pasal 194, salah satu upaya yang dilakukan
oleh pemerintah supaya pelaku aborsi jera. Hukaman tersebut adalah pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.
Nama :
Komarudin
NIM :
3120019
Kelas :
4 B Reguler
TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau
organ manusia tertentu, dari suatu tempat ke tempat lain, pada tubuhnya
sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat
atau tidak berfungsi dengan baik.
Kemudian menurut
Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi adalah pemindahan
organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.
Transplantasi ditinjau dari prakteknya, dapat
dibedakan menjadi:
1.
Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat
lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2.
Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain.
3.
Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari satu
spesies ke tubuh spesies lainnya.
Orang yang anggota
tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang
menerima disebut Resipien. Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan
organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa
tidak ada harapan kesembuhannya.
Dalam penyembuhan suatu
penyakit, adakalanya transpalntasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan
nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha
penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter
dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai diminati oleh para
penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas.
Untuk mengembangkan
transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat
bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hokum,
atau social budaya ikut mempengaruhinya.
Apa yang bisa di capai
dengan teknologi belum tentu bisa di terima oleh agama dan hukum yang hidup di
masyarakat. Dari itu mengingat transplantasi adalah masalah yang ijtihadi
karena tidak ada hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan Hadits dan
juga merupakan masalah yang cukup kompleks menyangkut berbagai bidang studi
maka seharusnya masalah ini di analisis dengan menggunakan metode pendekatan multidisplainer,
misalnya kedokteran biologi, hukum, etika, dan agama agar dapat di peroleh
kesimpulan hukum ijtihadi yang proporsional dan mendasar.
Pandangan
Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para
pemerhati masalah transpalnasi ini ketika membahas hukum mereka akan
mengklasifikasikan kapan transplantasi itu dilakukan, menurut Prof. Masyfuk
Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam
keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir
meninggal, maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan
apabila di lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang
mengharamkan, juga ada yang memperbolehkannya dengan
syarat- syarat tertentu. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1.
Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam
jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak
berhasil.
2.
Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang
lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk
Zuhdi Ada beberapa dalil yang di nilai sebagai dasar pengharaman transplantasi
organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup, antara lain:
1.
Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
وَأَنْفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:”Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan”
2.
Hadits Rasulullah:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: ”Tidak di
perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri
orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam
kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang
lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal. Ia (mungkin) akan menghadapi
resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang
tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang di nilai
mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.
3.
Kaidah hukum Islam:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:”Menolak
kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”
Pendonor
yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara melepas
organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan orang
lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah hukum tersebut.
4.
Kaidah Hukum Islam:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya” Bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Kaidah
ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di benarkan penanggulangan suatu bahaya
dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan orang yang mendonorkan organ
tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka membantu dan menyelamatkan orang
lain adalah di nilai upaya menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya
bahaya yang lain.
Penjelasan yang berbeda
akan kita temukan mengenai transplantasi organ tubuh ini ketika kita membaca
buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis oleh syiekh Yusuf Qardawi
yang memberikan penjelasan di mana kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
menurut Beliau transplantasi adalah suatu hal yang di perbolehkan baik itu di
lakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi
kebolehan tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat
melainkan ada ketentuan –ketentuan yang harus di perhatikan.
Beliau mengawali
pembahasan seputar transplantasi dengan mengajak kita untuk memahami apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, atau apakah tubuh itu merupakan
titipan dari Allah yang tidak
boleh di pergunakan kecuali dengan izin-Nya.
Didalam kaidah
syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya) itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan / terpaksa, terluka, kelaparan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak
diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya,
atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila
seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah
jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang
muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang
membutuhkannya.
Maka dari itu dengan jelas
Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan bahwa upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim
dengan cara memberikan donor organ tubuh yang sehat kepadanya adalah
merupakan tindakan yang di perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi
orang yang melakukannya. Akan tetapi yang harus di perhatikan, masih
menurut Beliau kebolehan ini bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat,
melainkan tindakan ini bisa di benarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya)
bagi si pendonor. Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata
itu mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak
bisa di benarkan syara’.
Oleh sebab itu,
tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ
tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung,
karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan
menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang
berbunyi:
"Dharar
(bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus
dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang
berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan
dengan menimbulkan dharar pula."
Para
Ulama Ushul Fiqh menafsirkan kaidah
tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang
lebih besar daripadanya. Karena itu tidak di perbolehkan mendermakan organ tubuh
bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki.
Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan
dharar pada diri sendiri yang lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat
pendonoran organ tubuh ketika seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi
memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk memahami lagi tentang
pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang masih hidup di mana ada
kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu hukumnya tetap di
perbolehkan. Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa
resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah meninggal adalah upaya
yang lebih berhak untuk di perkenankan. Sebab yang
demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa
menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan)
sedikit pun kepada dirinya (si mayit), karena organ-organ
tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan
dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini
tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum
asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada
dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya.
Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil yang mengharamkan) tidak
dijumpai.
Kemudian ketika
menyinggung permasalahan kehormatan mayit di mana dalam konteks ini Rasulullah
SAW pernah bersabda yang kurang lebih artinya : "Mematahkan
tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup." dalam artian apakah mendonorkan
organ tubuh si mayit itu tidak termasuk mengabaikan kehormatan mayit?, Beliau
Yusuf Qardawi menekankan bahwa mengambil sebagian organ dari
tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan
syara'. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh
itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil
organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti
mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan
penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Lebih dari itu Beliau
menjelaskan kebolehan praktek transplantasi dari organ si mayit tidaklah
hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si mayit, dalam arti pendonoran
organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu di perbolehkan sekalipun si
mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya.[18]
Akan tetapi transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa
berubah hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit
pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika
meninggal.
Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak
merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan
terkait hukum transplantasi organ tubuh dengan berbagai kemungkinannya di mana
perbedaan pendapat pun masih kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski
demikian ketika kita berusaha memahami kajian-kajian tersebut lebih –lebih apa
yang telah di uraikan oleh Syekh Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur
pemikiran yang tidak terlalu rumit untuk di mengerti dan pantas untuk di
jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh ini, di mana pada intinya
menurut beliau transpalntasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah
suatu hal yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang
terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya atau
kemudaratan.
Simpulan
Transplantasi adalah
pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat
ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Hukum transplantasi organ
tubuh dalam beberapa kemungkinan prakteknya masih di warnai perbedaan pendapat,
Mengenai praktek transplantasi dari seorang yang meninggal ada yang berpendapat
hal itu di bolehkan tapi ada juga yang berpendapat tidak di perbolehkan karena
hal itu di nilai dapat mengabaikan kehormatan si mayit, lebih dari itu orang
yang sudah meninggal tidak bisa di katakan memiliki tubuhnya, maka sekalipun
ketika si mayit pernah berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya maka wasiat
tersebut tidaklah sah. Akan tetapi menurut Yusuf Qardawi
transplantasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal
yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan,
atau selama tidak mendatangkan bahaya atau kemudaratan, terkecuali praktek
pendonoran kepada orang kafir yang memusuhi islam, atau pendonoran dari organ
tubuh si mayit yang pernah berwasiat melarang pendonoran organ tubuhnya ketika
meninggal, maka transplantasi tersebut tidaklah boleh di lakukan.
Nama :
Khusnaeni
NIM :
3120022
Kelas :
4 B Reguler
HUKUM MENUNDA HAID DALAM IBADAH HAJI DAN PUASA RAMADHAN
A. Haid
Secara lughot atau bahasa Arab haid artinya
sesuatu yang mengalir. Sedangkan menurut hukum syara’ atau hukum fiqih artinya
adalah darah yang keluar mengalir dari rahim wanita secara alami, tanpa sebab
dan pada waktu tertentu saja. Haid adalah darah alami, tidak muncul karena
sebab penyakit, luka, keguguran, atau bersalin. Karena haid adalah darah alami,
maka texturnya juga berbeda. Sesuai kondisi, lingkungan, temperatur udara
tempat wanita tersebut hidup.
Dari segi medis, haid adalah suatu keadaan
dimana rahim (uterus) permukaanya (endometrium) lepas disertai
pendarahan(fertilisasi).
Dipermukaan rahim yang penuh
luka-luka,terjadi pelepasan permukaan yang selanjutnya akan diikuti oleh
pembaharuan permukaan rahim itu. Hal tersebut dapat terjadi antara lain karena
pengaruh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kalenjer wanita. Dari uraian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa haid adalah darah yang keluar dari
rahim pada semua perempuan yang sehat alat reproduksinya. Bukan karena penyakit
atau benturan kecelakaan. Haid juga bisa dijadikan indikator kesuburan. Namun
siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi perempuan karena hukum islam
melarang perempuan yang sedang haid melakukan ibadah. Wanita yang sedang haid
dilarang melakukan 6 kegiatan yaitu: 1. Thawaf, 2. Sholat, baik wajib maupun
sunnah, 3. Berdiam diri didalam mesjid, 4. Memegang dan membaca Al-Qur’an, 5.
berpuasa, 6. Bersenggama.
Kegiatan- kegiatan dalam ibadah haji seperti
Sa’i, wukuf, Mabid, melontar jumrah, dan memotong rambut boleh dilakukan dalam
keadaan haid.
B.
Obat Penunda Haid
Obat siklus haid adalah obat obat yang bisa dipakai untuk mengatur saat
datangnya haid pada wanita tergantung pada keinginan dengan cara memajukan atau
menunda saat haid tersebut. Salah satu contoh obat yang biasa digunakan untuk
mengatur siklus haid adalah Primolut N. Obat ini sering digunakan calon
jemaah haji wanita yang hendak menunaikan ibadah hajinya di mekkah. Jenis obat
ini mengandung hormon progestin dan hormon progesterone yang digunakan untuk
mempercepat atu memperlambat masa datangnya haid, baik secara terpisah maupun
kombinasi, karena siklus haid dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron.
Pada
dasarnya ada dua faktor yang menjadi alasan bagi wanita untuk memakai obat pengatur siklus haid, yaitu:
Untuk keperluan ibadah dan untuk keperluan diluar ibadah. Penggunaan pil
pengguna haid dibagi menjadi dua:
1. Memajukan saat haid
Dengan cara meminum pil atau tablet yang hanya berisi hormon estrogen
atau kombinasi pada hari kelima pada siklus haid dari hari ke dua sampai hari
ketiga sebelum datangnya haid yang diinginkan karena haid yang biasa
disebut pendarahan putus obat (Withdraw
Bleeding) akan terjadi dua sampai tiga hari setelah obat habis
2. Menunda saat haid
Dengan cara meminum pil yang hanya berisi progesteron atau kombinasi
pada hari sebelum haid berikutnya datang sampai pada hari ke dua sebelum haid
yang diinginkan. Karena biasanya haid itu akan datang setelah dua hari
penghentian pil tersebut.
C.
Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Haji
Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah haji wanita usia subur, terdapat halangan haid yang dapat menyebabkan
tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah) tidak bisa bersama
muhrim, keluarga, atau bahkan kelompok terbangnya (kloter) nya, yang dapat
mengganggu psikologis calon jemaah haji sehingga dapat mengalami gangguan
psikologis dan menggangu kesempurnaan hajinya. Disamping itu karena mengalami
haid dapat menyebabkan calon jemaah haji tidak dapat melaksanakan sholat
arba’in (40 waktu sholat) di mesjid nabawi yang merupakan idaman setiaporang
yang menunaikan ibadah haji.
Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat
menunda haid dalam berhaji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji
lainya bersama dimekkah, serta dapat sholat arba’in dimadinah sebagaimna yang diinginkan. Tanpa
terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan ibadah haji dengan
sempurna.
Adapun aspek hukumnya terdapat berbagai
pendapat para ulama. Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad
(keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan yusuf Al- Qardawy (Ahli fiqih
Kontemporer) berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya (dan umrah)
tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat menunda hainya. Alasan mereka adalah
karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang
melarang menunda haid itu tidak ada. Selain itu Majlis Ulama Indonesia (MUI)
dalam sidang komosi fatwanya pada tahun 1984
menetapkan, bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusukan seorang wanita dalam
melaksanakan ibadah haji hukunya adalah mubah (boleh) para fuqaha’ ( ulama ahli
fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk berhaji dengan obat-obatan. Hal
ini sebagaimana dasar kaidah fiqiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala
sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.
Di zaman modern ini,
dunia mengeluarkan obat untuk menahan keluarnya haid, sehingga wanita itu bisa
mengerjakan ibadah haji dan ibadah puasa Ramadhan secara sempurna tanpa harus
mengqaho’nya. Dalam hal ini, Syaikh Mar’i bin Yusuf al-Maqdisi dan Yusuf
Al-Qardawi tokoh fiqh kontenporer berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan
puasa dan hajinya tidak sempurna, maka ia boleh untuk menunda haidnya. Alasan
mereka adalah karena wanita itu sulit untuk mengqadla’ puasanya pada hari yang
lain. Sedangkan larangan untuk penundan haid itu tidak ada sama sekali dalam
nash.
Sementara itu MUI
dalam sidang komisi fatwanya pada tahun 1984 menetapkan bahwa untuk
kesempurnaan dan kekhusyu’an seorang wanita dalam melaksanakan ibadah, maka :
ð
Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan haji
itu hukumnya adalah boleh.
ð
Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar
dapat menyempurnakan puasa ramadhan sebulan penuh, pada dasrnya hukumnya
makhruh. Tapi bagi wanita yang mengalami kesulitan untuk mengganti puasanya
yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah boleh.
Penggunaan pil anti
haid selain dari dua ibadah tersebut itu tergantung niatnya. Apabila untuk
perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hokum agama, maka hukumnya haram.
Hukum penggunaan obat perangsang haid seperti halnya pencegah/penundaan, obat
perangsang haid juga diperbolehkan untuk digunakan, tetapi dengan dua syarat :
ð
Pemakai tidak punya rencana negative bahwa
dengan menggunakan alat tersebut ia akan terhindar dari kewajibannya. Misalnya
seorang wanita menggunakan alat ini saat menjelang ramadhan dengan tujuan agar
bulan ramadhan tersebut ia tidak berpuasa dan tidak shalat.
ð
Harus izin dengan suami bagi yang sudah
bersuami.
Pendapat Para Ulama Tentang Hokum
Meminum Obat Anti Haid
Ulama era klasik
seperti Ibnu Qudhamah al-Hanbali, Al-Hathaab al-Maliki, dan Al-Ramly
al-Syafi’I, tidak mempermasalhkan seorang wanita yang meminum obat-obatan
anti/penunda haid. Dengan kata lain, para ulama tersebut menetapkan hokum
tentang hal itu dengan mubah. Begitu pula Ibnu Taymiyah, beliau juga
memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa
Ramadhan. Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu Al-‘Ain merinci menggunakan
obat penunda haid ada dua macam, yaitu : Makhruh apabila bertujuan untuk
mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid. Kemudian haram
ketika bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk
menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makhruh.
Sedangkan pada era
modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak dikemukakan
paling awal adalah fatwa MUI. Sidang komisi fatwa MUI tanggal 12 januari 1979
memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid itu mubah bagi wanita yang sukar
mengqadha puasa Ramadhan pada hari lain, serta makhruh jika untuk
menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat mengqadha pada hari lain tanpa
kesulitan. Pendapat dan fatwa dari para ulama’ serta lembaga otoritatif lain di
Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian,
karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam.
Maka di tingkat lokalpun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika
tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum bahtsul Masail Diniyyah di
Yayasan As-Salam, bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu
merumuskan kesimpulan untuk diperbolehkannya penggunaan pil atau obat pencegah
haid agar dapat menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya selama tidak
menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan
berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran
mengenai cara pandang ulama local mengenai persoalan fiqh kontenporer. KH.
Tajuddin Subki misalnya, dalam forum tersebut mengqiyaskan kebolehan
menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan
menggunakannya dalam ibadah haji. Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad
mengatakan, hokum awal pemakaian obat-obatan penunda haid dalam Islam tidak
diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan
ketentuan yang telah digariskan Allah. Namun, hokum tersebut menjadi mubah
karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi. Kesimpulan-kesimpulan
tersebut didasarkan pada hadits Nabi:
Pertama, pada
dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang
melakukan satu bentuk rukhshah (keringanan), sedang Nabi bersabda : “sesungguhnya
Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk
ditunaikan ‘azimahnya (beban moral). (HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi
berkata : perawinya perawi hadits shahih)”.
Kedua, Rasulalah juga
bersabda : “Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan
tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat
diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul melakukannya”(HR.
Abu Dawud).
Ketiga, terdapat
hadits yang pengertian dzahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya wanita
akibat udzur dan tidak puasanya wanita, mesti di qhada’ karna adalah bagian
dari kekurangan wanita dalam beragama. “Bukalah jika sedang haid dia tidak
shalat dan berpuasa ? “benar” demikianlah bentuk kekurangan Agamanya” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dengan berdasarkan
atas hadits tersebut, Hidayatullah menandaskan istilah “kekurangan Agama” dalam
hadits tersebut bukan dipahami dari segi kualitas akibat udzur yang memang
sudah menjadi taqdir penciptaannya melainkan pada kuantitas pelaksanaan agama
yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas agama wanita yang
bersangkutan.
Sedangkan ulama Saudi
Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan penggunaan pil
pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat yaitu tidak
membahayakan kesehatan dan harus izin dengan suaminya. Meski demikian, Utsaimin
mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal alamiah yang apabila
dicegah akan memberikan efek samping bagi tubuh wanita tersebut. Ibnu Utsaimin
mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat wanita lupa terhadap masa
haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam mengerjakan shalat dan
berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya tidak mengatakan
penggunaan pil tersebut haram, tetapi ia tidak senang kaum wanita
menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinannya madharat yang
menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga
menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai Aisyah menangis
setelah berikhram untuk umrah. Nabi bertanya : Ada apa denganmu, barangkali
engkau sedang haid? Aisyah menjawab : “ya”, lalu beliau bersabda : “ini sesuatu
yang telah di tulis oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam”. Dengan mengutip
hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa
haid. Sebab itu merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah. Dengan kata
lain, menurutnya penggunaan obat obat tersebut adalah makhruh.
Syaikh Mutawaali
al-Sya’rawi mengatakan bahwa : wanita yang melakukan itu berarti telah menolak
rukhshah (keringanan hokum) yang duberikan oleh Allah kepadanya selain itu.
Meminum obat pencegah haid menurutnya dapat merusak metabolism tubuh manusia.
Perbuatan itu harus dihindari wanita muslim, khususnya puasa Ramadhan yang
telah lewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam
nash yang jelas. Sebagian ulama’ berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan
terutama Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama’ Saudi
Arabia sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa
wanita boleh meminum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat
dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar-pakar medis dan dokter bahwa hal
itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaliknya,
hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa
kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hai-hai lain. Hal itu
lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan.
D.
Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Puasa Ramadhan
Seiring kemajuan dunia kesehatan, masalah siklus haid atau menstruasi
bagi wanita sudah bisa ditunda dengan mengkonsumsi obat atau pil penunda haid.
Yang menjadi permasalahan adalah bolehkah menunda siklus haid untuk tujuan
menunaikan ibadah puasa ramadhan?
Menurut
Drs KH. Ahmad faisal Haq, M.Ag, para ulama mempunyai beberapa pendapat
menyangkut menunda datangnya haid atau menstruasi dengan mengkonsumsi pil haid
selama bulan ramadhan. Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat bahwa hukumnya
adalah tidak diperbolehkan.
Dalam
durus wa fatwa Al haram Al makki Ibnu Utsmain mengatakan kepada para wanita
yang mendapatkan haid pada bulan ramadhan “Syeikh Utsmain ditanya oleh
seseorang: “ Apakah boleh seseorang wanita menggunakan pil penunda haid pada
bulan ramadhan dan lainya? Beliau menjawab: “menurut hemat saya dalam masalah
ini agar para wanita tidak menggunakanya biak dibulan ramadhan atau dibulan
lainya, karena menurut para dokter hal ini menimbulkan bahaya yang sangat besar
bagi rahim, urat syaraf dan darah. Dan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya
adalah dilarang. Padahal Nabi SAW telah bersabda:”janganlah kamu melakukan
tindakan yang mmbahayakan dirimu dan orang lain’’.dan kami telah mengetahui
dari mayoritas wanita yang menggunakanya bahwa kebiasaan haid mereka berubah,
dan menyibukkan para ulama membicarakan masalah tersebut.maka yang paling benar
adalah tidak menggunakan obat tersebut selamanya baik dibulan ramadhan maupun
lainya.
Menurut KH. Habib Syarif Muhammad, hukum awal pemakaian obat obat
penunda haid dalam islam tidak terbolehkan. “ pemakaian obat berarti ingin
menunda, sehingga melawan ketentuan yang telah digariskan. Perempuan memiliki
siklus haid secara alamiah, sebagai rahmad dari Allah. Hanya ibadah haji
merupakan amalan yang tidak bisa dilakukan setiap tahun dengan pengorbanan
harta, tenaga, yang tidak sedikit.
Namun demikian, ada banyak ulama yang
berpendapat berbeda dengan pendapat diatas, diantaranya adalah;
Menyatakan boleh, dasar yang diambil menjadi
pegangan berasal dari alqur’an dan dan Hadits
misalnya surah Al-baqarah ayat 185;
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan atas
kamu dan tidak menginginkan kesulitan menimpamu”.
Selain itu Ibnu Qudamah Al Hanbaly dalam
kitabnya Al Mughni (madzhab Hambali) dan Hutbah Al Maliki dalam kitabnya
Mawahib Al jalil (Madzhab Maliki) serta Imam Ramli Asy Syafi’i dalam
An-Nihyahnya (madzhab Syafi’i) Mereka menyatakan bahwa menggunakan pil pencegah
haid dalam tujuan agar dapat melaksanakan puasa ramadhan dan ibadah lainya
hukumnya mubah dalam artian boleh boleh saja, selagi tidak menimbulkan bahaya
bagi kesehatan wanita.
E.
Efek Mengkonsumsi Obat Penunda Haid Bagi Kesehatan Wanita
Bagi wanita yang ingin menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan selama
sebulan penuh, biasanya mereka mencoba meminum obat penunda menstruasi, atau
siklus haid agar terhindar dari haid di bulan ramadhan . tetapi jika mereka
memakai obat penunda haid ini tanpa pengawasan dokter tentunya dapat berakibat
negatif bagi kesehatan mereka. Beberapa merek obat yang dikonsumsi sebagai
penunda menstruasi yang sering digunakan oleh wanita-wanita terutama bagi
wanita yang belum menikah tentunya akan menimbulkan beberapa dampak buruk bagi
kesehatan mereka. Misalnya Primolut tablet N norethisterone, yang berisi bahan
aktif produk sintesis yang agak mirip dengan progesteron, yakni hormon alami
wanita. Seorang konsultan ginekolog Al-Amin Hospital di Taif, Dr Hanan Oyara yang dikutip dari arab news, mengatakan agar
wanita membatasi pemakaian obat-obat penunda menstruasi. Karena tablet tersebut
bisa mengakibatkan komplikasi kesehatan yang sangat serius, bahkan termasuk
adanya kemungkinan terjadi kemandulan. Dr Dalal Namnaqani, salah satu konsultan
ahli patologi, di Rumah Sakit King Abdul Ajiz juga mengatakan bahwa konsumen
untuk obat-obat penunda haid haruslah dibawah pengawasan dokter. Bahkan untuk
pengunaan serta jumlah takaranyapun harus dibatasi dan juga hanya untuk jangka waktu
tertentu. Efek negatif lainya yang diakibatkan karena mengkonsumsi obat penunda
haid sebagai berikut:
a. Rasa mual dan muntah-muntah
b. Sakit kepala hebat
c. Perasaan lelah dan gelisah
d. Darah tinggi
e. Pigmentasi pada muka
f. Keputihan
g. Bercak darah (spotting)
h. Nafsu makan bertambah
Disamping mempunyai dampak negatif,
penggunaan obat pengatur siklus haid juga mempunyai dampak positif seperti:
a. Siklus haid menjadi teratur
b. Lamanya haid menjadi singkat
c. Jumlah darah haid menjadi kurang
d. Berkurangnya gejala sakit perut
e. Berkurangnya atau hilangnya tegangan pra haid
f. Berkurangnya rasa nyeri saat haid
Pemakaian obat
kombinasi juga non kontraseptif.misalnya dapat dipergunakan untuk mengobati
pendarahan disfungsional uterus, pertambahan berat badan pada wanita. Pemakaian
ini juga terbukti mencegah anemia dan karsinova ovarium, kebanyakan efek non kontraseptif terjadi pada
preparat-preparat dengan dosis estoragen yang rendah.
Nama :
Septian Khusnul K
NIM :
3120011
Kelas :
4 B Reguler
Masailul Fiqh : Bank ASi Dalam Islam
A.
Pengertian Bank ASI
Bank ASI merupakan tempat
penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada
ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan
memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya
disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar
tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya
menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di
saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui
stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.
Semua ibu donor diskrining
dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak
minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI.
Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C,
HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan
sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi
kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker.
Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a. Suhu 19-25
derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b. Suhu 0-4 derajat
celsius ASI tahan 1-2 hari
c. Suhu dalam
freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan
B. Hukum Mengenai Bank ASI
Seorang bayi
boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai, atau
karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat menyusuinya. Status ibu yang
menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh kawin
dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai saudara
sepersusuan. Gambaran yang dikemukakan jelas bahwa siapa wanita yang menyusukan
dan siapa pula bayi yang disusukan itu hukumnya jelas yaitu sama dengan mahram.
Sekarang yang menjadi perrsoalan ialah, air susu yang disimpan pada Bank ASI,
maka air susu itu sama saja seperti darah yang disumbangkan untuk kemaslahatan
umat. Sebagaimana darah boleh diterima dari siapa saja dan boleh diberikan
kepada yang memerlukannya, maka air susupun demikian juga hukumnya.
Bedanya ialah darah najis, sedangkan air susu bukan najis. Oleh
sebab itu, darah baru dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa.
Namun timbul lagi pertanyaan bagaimana hubungan antara donor ASI dengan bayi
yang menerimanya? Apakah sama dengan ar-Radha’ah atau saudara sepersusuan?
Menurut Ali Hasan, agak sukar menentukan atau mengetahui donor
asli itu, sebagaimana donor darah. Dengan demikian, baik ibu “susuan”, maupun
“anak susuan”, tidak saling mengenal. Hal ini berarti, masalah pemanfaatan air
susu dari Bank ASI, tidak dapat disamakan dengan ar-Radhaah. Pemanfaatan air
susu dari Bank ASI adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram). Sebab,
selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anak itu, maka itulah
sebenarnya yang terbaik. Hubungan psikologis antara si bayi dan ibunya terjalin
juga dengan mesra pada saat menyusukan bayi itu. Si bayi merasa disayangi dan
si ibu pun merasakan bahwa air susunya akan menjadi darah daging anak itu.
Berbeda, kalau air susu yang diminum anaknya itu berasal dari orang lain. Pertumbuhan
dan perkembangan anak itu, dibantu oleh pihak lain, sebagaimana air susu sapi
yang kita kenal selama ini, dan makanan yang khusus dibuat (diproduksi) untuk
bayi.
1. Memperhatikan
Perbedaan
pendapat mengenai Bank ASI
a. Pendapat Pertama
Menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya
boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu
dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI
tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung
dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana
seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya
mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa
dia tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya “Bank ASI.” Asalkan
bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk
memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan
mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang
lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah
bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan
sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan
mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan
sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekadar
menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita yang
menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya
memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam
bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar
dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima
kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz
Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan
bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan
saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita
sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu
tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak
bayi tersebut.
b. Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya
haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab,
karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut
bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana
seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di antara ulama kontemporer yang tidak
membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa
Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak
dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ al-Fiqih
al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada
tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini dalam
keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh
negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.
c. Pendapat Ketiga
Menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan
jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap
ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan
menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang
mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada
pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab
yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Prof. DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua
MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor
ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja
Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam
situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak
ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai
pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu
kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor
ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain
selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu ibu kandungnya.
Hanya saja pencatatannya harus benar dan kedua keluarga harus
dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali meminum susu dari ibu
menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susu. Artinya anak
mereka tidak boleh menikah.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung atau tidak langsung,
itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5
kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.
Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut di atas
disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu “radha’ah”,
berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali susuan:
a) Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang
menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan
Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam
tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah
sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah
mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap
puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu
tersebut atau sejenisnya.
b) Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan
batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas
ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke
bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al
Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ
مِنَ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi
karena lapar”(HR Bukhari dan Muslim).
c) Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa
susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara
terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا
قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ
يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
“Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi
mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan
lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an
masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim)
d) Cara Menyusu
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting
adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk
daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan
langsung, ataupun dengan cara “السعوط”as su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau
dengan cara “الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung
ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.
2.
Mengingat
Perdebatan dari segi dalil
Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama,
apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu? Kedua, apakah
harus ada saksi penyusuan?
a. Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu ?
Kalangan
yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu
dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada
di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan.
Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka
berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa sifat
penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui
dengan mulutnya.
Dalam
fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita
dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya,
atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke
dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian
itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.
Dalilnya
adalah firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS An-Nisa':23).
Menurut
Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus
terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sedangkan
bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus
dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah
meminumnya, bukan cara meminumnya.
Dalil
yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan
bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اُنْظُرْنَ مَنْ
إِخْوَانُكُنَّ, فَإِنَّمَا اَلرَّضَاعَةُ مِنْ اَلْمَجَاعَةِ (مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ)
Dari
Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara
laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari
Aisyah ra dia menceritakan : “ Diantara ayat-ayat yang diturunkan dalam
Al-quran adalah sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi mengharamkan (orang yang
menyusui dan disusui menikah ), kemudian dinash ( di hapuskan ) dengan lima
kali penyusuan yang dimaklumi, lalu Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut
masih tetap dibacakan sebagai ketetapan Al-Quran “ ( HR. Muslim dan Ibnu
Majah)
b. Haruskah Ada Saksi ?
Hal
lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama
mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka
harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama
lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang
menyusui saja.
Bagi
kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena
penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang
laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila
tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.Sehingga
tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum
oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan
ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya
adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada
saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila
tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan
menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang
penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi
yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita
yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman
dalam tingkat yang sangat luas. Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan
bahwa bank air susu menjadi haram.
3.
Memutuskan
Dengan memohon rahmat serta hidayah dari Allah SWT, memutuskan
bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan. Tetapi jika telah memenuhi beberapa syarat
yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus
disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan
dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus
dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya.
Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang
melarang bisa dihindari.
4.
Rekomendasi
Pemberian ASI ke bayi dengan ASI yang berasal dari bank ASI sebisa
mungkin untuk dihindari, karena menolak mudharat itu lebih diutamakan dari pada
mengambil kemaslahatan. Untuk menghindari percampuran nasab yang akan
menyebabkan masalah baru yang lebih komplek. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa
dan mendesak sesekali boleh menggunakan jasa bank ASI.
Jika telah memenuhi syarat yang telah dijelaskan di atas, maka
boleh saja menggunakan ASI dari bank ASI.
Nama :
Hesti Makiya Dewi
NIM :
3130099
Dosen :
Andy Eswoyo, M.Si.
Anak Angkat dan Statusnya Dalam Islam
Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering
kita jumpai di masyarakat kita, entah karena orang tersebut tidak memiliki
keturunan, atau karena ingin menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab
yang lain.
Akan tetapi, karena ketidaktahuan banyak
dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak angkat’,
maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat tersebut
kepada orang tua angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehinga tidak
memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan
warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung telah
menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan
masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk
Allah Ta’ala dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak akan
terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.
Tradisi Sejak Jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang
sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, ketika
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala
sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang
perbuatan tersebut dalam firman-Nya,
{وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS
al-Ahzaab: 4).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat
ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu,
bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat
sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya
sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala
ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah
kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah
al-Ahzaab,
{مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”.
Status Anak Angkat Dalam Islam
Firman Allah Ta’ala di atas
menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di jaman Jahiliyah dan awal
Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak kandung dalam
semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala
mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah)
ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi
bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan
dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu
memiliki dua orang ayah3.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan
dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah
sebagai berikut:
1. Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain
ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{ادْعُوهُمْ
لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا}
“Panggillah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil
di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan
tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada
dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini
(berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang
diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang
bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala
memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang
sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan
dari orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang
menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan
ketika orang tua angkatnya meninggal dunia
3. Anak angkat bukanlah mahram, sehingga
wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai
hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika
mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan
di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak
angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak)
datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia
berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah
paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk
rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah
ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya
dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”
4. Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk
menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman
Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada
Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”
(QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata:
“Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin menetapkan
ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa anak-anak
angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua
segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat
mereka…Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu
sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah yang
dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia
dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sampai turunnya firman Allah:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak (kandung) mereka” (QS al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid bin
Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu
Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan terjadinya
sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceraikan
istrinya…(Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha
sebagaimana ayat tersebut di atas)”.
Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk memuliakan dan
kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak
termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, sebagaimana yang disebutkan dalam
beberapa hadits yang shahih, di antaranya:
ü
Dari Ibnu
Abbas radhiayallahu ‘anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di
Muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan menunggangi) keledai,
lalu beliau menepuk paha kami dan bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah
kalian melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10
Dzulhijjah) sampai matahari terbit”1
ü
Dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada: “Wahai anakku”.
Oleh karena itu, imam an-Nawawi dalam kitab
“shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab: Bolehnya seseorang
berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut
untuk menunjukkan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar