Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

Masailul Fiqh (KB)




PANDANGAN ISLAM TERHADAP
KELUARGA BERENCANA

A.    DEFINISI KB (KELUARGA BERENCANA)
Keluarga Berencana (KB) merupakan terjemahan dari istilah Family Planning atau Planned Parenthood dalam Bahasa Inggris. Dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tanzim al-NasalI yang berarti pengaturan keturunan, yaitu pasangan suami istri yang mempunyai perencanaan  yang kongkrit menegenai kapan anak-anaknya itu diharapkan lahir. Dengan kata lain KB dititik beratkan pada perencanaan, pengaturan, dan pertanggung jawaban orang tua terhadap anggota keluarganya agar mudah dan secara sistematis dapat merasakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Untuk itu dilakukan berbagai upaya atau cara agar dalam hubungan suami istri tidak terjadi kehamilan.
Adapun dalam melaksanakan keluarga berencana digunakan sala satu alat kontrasepsi yang sudah dikenal seperti: pil, suntikan, Kontra-indikasi, susuk KB, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Sterilisasi (vasektomi/tubektomi).

B.     TUJUAN PROGRAM KB
Program KB memiliki banyak tujuan khususnya program KB yang ada di indonesia:
1.      Tujuan Demografis : yaitu upaya penurunan tingkat pertumbuhan penduduk sebanyak 50% pada tahun 1990 dari keadaan tahun 1971, kalau ini berhasil maka laju pada pertumbuhan penduduk indonesia dapat ditekan 1% pertahun, mulai tahun 1990.
2.      Tujuan Normatif : yaitu menciptakan norma ketengah-tengah masyarakat agar timbul kecenderungan untuk menyukai keluarga kecil, karena dengan keluarga yang kecil akan lebih mudah untuk mencapai kesejahteraan  dan kebahagiaan keluarga, terutama kesejahteraan ibu dan anak.

Tujuan lain program KB adalah untuk memperoleh kesempatan yang luas bagi seorang ibu demi melaksanakan berbagai kegiatan yang lebih bermanfaat, yaitu menata kehidupan berumah tangga, dan bisa berpartisipasi dalamkegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan sosial,pendidikan dan ibadah-ibadah lain.
Lebih lanjut lagi tujuan KB adalah untuk mempersiapkan secara dini sejumlah anak yang memungkinkan bagi orang tua untuk membekali anak-anaknya baik fisik atau mentalnya, agar dapat mandiri dihari depannya. Tujuan-tujuan ini akan lebih mudah dicapai apabila suatu keluarga relatif kecil, yang secara ekonomis lebih mudah dijangkau, dan secara psikologis akan ada ketenanga dalam keluarga.
Pelaksanaan KB dibolehkan dalam Islam karena pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Artinya, dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya agar menjadi akseptor KB. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurusi masa depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak menyanggupi biaya hidupnya, kesehatan dan pendidikannya. Hal ini berdasarkan pada sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi:

وليخش اللذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله واليقولوا قولا سديدا
Dan hendaklah orang-orang takut kepada Alloh bila seandainya mereka
meninggalkan anaka-anaknya yang dalam keadaan lemah; yang mereka hawatirkan terhadap (kesejahteraan mereka)oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Alloh dan mengucapkan perkataan yang benar.(An-Nisa’: 9)
Ayat ini menerangkan bahwa kelamahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan integensi anak akibat kekurangan makanan yang bergizi, menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka disinilah peranan KB untuk membantu orang-orang yang tidak dapat menyanggupi hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari bila meninggalkan keturunannya.

C.    SEGI-SEGI POSITIF/NEGATIF KB DAN MACAM-MACAM ALAT KB
1.      Segi positif
Dengan pelaksanaan program Keluarga Berencana diharapkan jumlah pendudukan dapat diatur untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dan untuk mencegah terjadinya bencana sosial, pengangguran, kriminalitas dan kecelakaan lalulintas semakin meningkat. Selain itu sebuah keluarga juga bisa memberi jarak atau masa senggang terhadap kehamilannya, sehingga tidak terjadi kelahiran anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya. Dan orang tuapun bisa lebih tekun dan banyak waktu untuk mengurus anaknya, dan juga lebih bisa memantau dengan baik pada pendidikan anak.

2.      Segi Negatif KB
KB (keluarga berencana) juga memiliki segi negatifnya,karena terkadang orang yang melakukan tindakan KB yang cukup lama sehingga dapat membuat kandungan kering dan panas akibat obat-obat KB yang telah di konsumsi, sehingga terjadi kemandulan terhadap seorang wanita, selain itu juga sejak ada program KB melalui berbagai alat kontrasepsi  yang sudah beredar diseluruh penjuru pada saat ini tidak hanya orang yang sudah berumah tangga saja yang menggunakan alat tersebut, tetapi banyak terjadi pada kalangan remaja yang menyalah gunakan alat/program tersebut, sehingga terjadi kemaksiatan dimana-mana.
Terhadap orang-orang yang ahli maksiat pada khususnya ahli zina mereka memiliki banyak peluang untuk melakukan perzinaan dimanapun saja, karena begitu mudah saat ini bagi mereka untuk mendapatkan barang tersebut. mereka berfikir setelah mereka menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, maka tidak akan terjadi kehamilan pada dirinya, sehingga mereka leluasa dalam melakukan kemaksiatan dilain waktu dengan menggunakan alat tersebut.

3.      Macam-macam Alat Kontrasepsi
Dalam pelaksanaan KB harus menggunakan alat kontrsepsi yang sudah dikenal diantaranya ialah:
a.       Pil, berupa tablet yang berisi progrestin yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium.
b.      Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh. Cara kerjanya yaitu menghalangi ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak mungkin terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan sperma melalui canalis servikalis.
c.       Susuk KB, levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari lipatan siku. Cara kerjanya sama dengan suntik.
d.      AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss loop(spiral) multi load terbuat dari plastik harus dililit dengan tembaga tipis cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya sperma untuk membuahi sel telur wanita.
e.       Sterelisasi (Vasektomi/ tubektomi) yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang diejakulasi) bagi laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita sehingga ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya.
Alat-alat konrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet vagmat, dan tiisu yang dimasukkan kedalam vagina. Disamping itu ada cara kontrasepsi yang bersifat tradisional seperti jamuan, urut dsb.


D.    KELUARGA BERENCANA DALAM AGAMA ISLAM
a.       Pandangan Al-Qur’an Tentang Keluarga Berencan
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB diantaranya ialah :
Surat An-Nisa’ ayat 9,
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ  

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Selain ayat diatas masih banyak ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB diantaranya ialah surat al-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan at-Thalaq: 7. Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup berumah tangga.

b.      Pandangan al-Hadits Tentang Keluarga Berencana
Dalam Hadits Nabi diriwayatkan:
      إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة لتكففون الناس (متفق عليه)
Dalam Hadits Nabi diriwayatkan: “Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.”
Dari hadits ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.
               
E.     HUKUM KELUARGA BERENCANA
Di antara maksud tujuan agama Islam (maqasih syari’ah) dari adanya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (littanasul) dan menghindari suami atau isteri jatuh kepada perbuatan zina. Oleh karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan ummatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh keturunan). Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan seperti di bawah ini:

Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad).
Bahkan bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.
Hadits ini, tidak berarti menikahi yang tidak subur tidak boleh, akan tetapi sangat dianjurkan dan alangkah lebih baiknya apabila menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan.
Dari hadits-hadits di atas nampak bahwa di antara tujuan utama adanya pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam al-Qur’an, Allah juga mengecam mereka yang tidak mau memperoleh keturunan dengan alasan semata-mata karena takut miskin, rizki seret dan lain sebagainya. Hal ini karena sudah merupakan janji Allah bahwa, Allah yang akan memberikan rizki kepada anak-anak tersebut.

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. Al-Isra: 31).
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya:

Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).
Dari keterangan-keterangan di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mau mempunyai anak dikarenakan semata-mata hanya karena takut miskin, takut tidak dapat memberikan makan, tidak dibenarkan. Karena dengan melakukan demikian, dinilai tidak meyakini dengan kekuasaan Allah.
Dari sini juga, barangkali kita dapat mengkategorikan praktik KB ini kepada dua bagian besar.
Pertama, melakukan program KB, dengan alasan takut tidak dapat memberikan makan, takut miskin dan lain sebagainya, maka praktik KB seperti ini tidak dibenarkan. Karena hal ini menyangkut keyakinan seorang muslim kepada Allah, bahwa Allah yang akan memberikan rizkinya.
Selain itu, sebagian besar ulama juga tidak membolehkan seseorang yang melakukan praktik KB dengan jalan memasang alat yang mengakibatkan si wanita tidak dapat hamil selamanya (bukan sementara waktu), tanpa ada alasan syar’i yang dibenarkan, bukan karena demi kesehatan si ibu atau lainnya. Untuk jenis ini, praktik KB tidak diperbolehkan, karena tidak sesuai dengan di antara maksud utama pernikahan dalam Islam.
Kedua, praktik KB untuk mengatur saja, demi kesejahteraan si anak atau kesehatan si ibu. Misalnya, menurut dokter sebaiknya demi kesehatan si ibu, agar melahirkan lagi setelah dua atau tiga tahun ke depan, atau agar jarak antara putra yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat, atau dengan dasar agar pendidikan setiap anak dapat terpantau dengan baik, atau menurut dokter, kalau jaraknya terlalu dekat, akan mengakibatkan si anak kurang normal, atau kurang sehat, maka untuk jenis ini diperbolehkan, karena ada alasan syar’i dan praktik KB tersebut bukan untuk selamanya (sementara waktu saja). 
Di antara dalil diperbolehkannya praktik KB untuk jenis kedua ini adalah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim yang memperbolehkannya praktik ‘azl. ‘azl adalah menumpahkan sperma di luar vagina, dengan maksud di antaranya agar si isteri tidak hamil, baik demi alasan kesehatan si isteri atau lainnya. Praktik ‘azl ini berlaku umum di kalangan sahabat, dan Rasulullah saw tidak melarangnya. Ini artinya, bahwa praktik tersebut dibenarkan. Di antara dalil yang membolehkan praktik ‘azl ini adalah:

Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw dan pada waktu itu al-Qur’an masih turun” (HR. Bukhari Muslim).

Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw, lalu disampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melarang kami” (HR. Muslim).
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin bab Adab Nikah mengatakan, bahwa para ulama dalam masalah boleh tidaknya ‘azl ini terbagi kepada empat pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa praktik ‘azl dengan cara apa saja diperbolehkan. Pendapat kedua, praktik ‘azl dengan cara dan maksud seperti apapun diharamkan. Pendapat ketiga, praktik ‘azl diperbolehkan, apabila ada idzin dari isteri, apabila tidak ada idzin, maka ‘azl tidak diperbolehkan. Keempat, praktik ‘azl diperbolehkan untuk budak-budak wanita, namun untuk isteri-isteri meredeka tidak dibenarkan.
Imam al-Ghazali kemudian menutup perbedaan di atas dengan mengatakan: “Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i), praktik ‘azl mubah (boleh-boleh saja)”.
Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa, ‘azl diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim di atas, selama ada idzin dari isteri.
Praktik KB pun dapat dianalogkan (dikiaskan) dengan praktik ‘azl ini, sehingga menurut sebagian besar ulama, praktik KB dengan maksud untuk mengatur keturunan (tanzhim an-nasl), dan bukan dalam artian tidak mau melahirkan selamanya (man’un nasl), diperbolehkan, sebagaimana proses ‘azl yang dilakukan para sahabat di atas.
Dalam ber-KB Islam membolehkan untuk KB Coitus Interuptus, IUD dan laktasi, tetapi untuk KB yang sifatnya sterilisasi seperti vasektomi dan tubektomi yang berakibat pemandulan tetap hal ini dilarang dalam agama, karena ada beberpa hal yang prinsipal, yaitu: Sterilisasi bertentangan dengan tujuan pokok perkawinan menurut Islam , yakni : perkawinan lelaki dan wanita selain bertujuan unutk mendapatkan kebahagiaan suami istri dalam hidupnya dunia akhirat, juga untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapakan menjadi anak yang saleh sebagai penerus cita-citanya. Mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi (saluran telur).
Fatwa MUI Pusat Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III 1430H/2009M di Padang Panjang 24-26 Januari 2009 yang dinukil dari diktat Hasil-hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, Bagian Kedua tentang Fatwa hukum penggunaan vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB (keluarga berencana), bahwa : “Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan memotong saluran sperma. Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap. Adapun upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan praktik vasektomi hukumnya haram.”

F.     CARA KB YANG DIPERBOLEHKAN DAN YANG DILARANG OLEH ISLAM
1.      Cara yang diperbolehkan
Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain, menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini dapat dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana hadits Nabi :
كنا نعزل على عهد وسول الله ص. م. فلم ينهها (رواه مسلم )
Kami dahulu dizaman Nabi SAW melakukan azl, tetapi beliau tidak melarangnya. 
2.      Cara yang dilarang
      Ada juga cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah atau merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini antara lain, vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini menentang tujuan pernikahan untuk menghasilakn keturunan.


Nama             :  Dinazad
NIM               :  3120040
Kelas              :  4 B  Reguler


PANDANGAN ISLAM TERHADAP ABORSI
                             
A.    DEFINISI ABORSI
Abortus (aborsi) yang dalam Bahasa Inggris disebut Abortion, berasal dari  Bahasa Latin yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab disebut Isqatu Hamli atau al Ijhadh (إسقاط الحمل آوالاجها د).
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Masail Fiqhiyah ada perbedaan dalam mengartikan tentang aborsi, seperti diungkapkan oleh Sardikin Guna Putra, aborsi adalah pengakhiran kehamilan atas hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputra, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi dapat lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut. Berbeda juga  menurut Nani Soendo, aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya sehinga tidak dapat hidup.
Dapat disimpulkan sebagaimana dikutip dari M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan, baik dalam keadaan hidup atau mati, sehingga keluar dari rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat atau selainnya, oleh yang mengandungnya maupun bantuan orang lain.

B.     MACAM-MACAM ABORSI
Untuk terjadinya Abortus, sekurang-kurangnya ada tiga unsur: pertama, adanya embrio (janin) yang merupakan hasil pembuahan antara sperma dan ovum dalam rahim. Kedua, Pengguguran itu adakalanya terjadi dengan sendirinya, tetapi sering disebabkan manusia. Ketiga, keguguran itu terjadi sebelum waktunya, artinya sebelum masa kelahiran tiba.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.      Aborsi Spontan / Alamiah
2.       Aborsi Buatan / Sengaja
3.      Aborsi Terapeutik / Medis
Aborsi spontan / alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan Aborsi buatan / sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Adapun metode yang digunakan untuk abortus biasanya ialah:
1.      Currattage dan Dilatege (C & D).
2.      Dengan alat khusus, mulut rahim dilebarkan, kemudian janin dikiret (di-curet) dengan alat seperti sendok kecil.
3.      Aspirasi, yakni penyedotan isi rahim dengan pompa kecil.
4.      Hysterotomi (melalui operasi).

C.    FAKTOR-FAKTOR YANG MELANDASI DAN DAMPAKNYA
Ada beberapa faktor yang mendorong sehingga seorang dokter dapat melakukan pengguguran kandungan pada seorang ibu, yaitu antara lain :
1.      Indikasi medis : yaitu seorang dokter menggugurkan kandungan seorang ibu, karena dipandangnya bahwa nyawa wanita yang bersangkutan, tidak dapat tertolong bila kandungannya dipertahankan, karena mengidap penyakit yang berbahaya :
a.       Penyakit jantung
b.      Penyakit paru-paru.
c.       Penyakit ginjal.
d.      Penyakit Hipertensisis dan sebagainya.
2.      Indikasi sosial : yaitu dilakukannya pengguguran kandungan, karena didorong oleh faktor kesulitan finansial, misalnya :
a.       Karena seorang ibu sudah menghidupi beberapa orang anak, padahal ia termasuk sangat miskin.
b.      Karena kegagalan mereka dalam menggunakan alat kontrasepsi atau dalam usaha mencegah terjadinya kehamilan.
c.       Karena wanita yang hamil itu, disebabkan oleh hasil pemerkosaan seorang pria yang tidak mau bertanggung jawab.
d.      Karena malu dikatakan dihamili oleh pria yang bukan suaminya, dan sebagainya.
Dampak abortus dan menstrual regulation adalah :
1.      Timbul luka-luka dan infeksi-infeksi pada dinding alat kelamin dan merusak organ-organ di dekatnya seperti kandung kencing atau usus.
2.      Robek mulut rahim sebelah dalam (satu otot lingkar). Hal ini dapat terjadi karena mulut rahim sebelah dalam bukan saja sempit dan perasa sifatnya, tetapi juga kalau tersentuh, maka ia menguncup kuat-kuat. Kalau dicoba untuk memasukinya dengan kekerasan maka otot tersebut akan menjadi robek.
3.      Dinding rahim bisa tembus, karena alat-alat yang dimasukkan ke dalam rahim.
4.      Terjadi pendarahan. Biasanya pendarahan itu berhenti sebentar, tetapi beberapa hari kemudian/ beberapa minggu timbul kembali. Menstruasi tidak normal lagi selama sisa produk kehamilan belum dikeluarkan dan bahkan sisa itu dapat berubah menjadi kanker.

D.    HUKUM ABORSI
1.      Hukum Aborsi Menurut Syari’at Islam
Pandangan Syariat Islam secara umum mengharamkan praktik aborsi. Hal itu tidak diperbolehkan karena beberapa sebab :
a.       Syariat Islam datang dalam rangka menjaga adhdharuriyyaat al-khams, lima hal yang urgen, yaitu : memelihara ad-dien (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl (keturunan), al-mal (harta), dan al-‘aql (akal).
b.      Aborsi sangat bertentangan sekali dengan tujuan utama pernikahan. Dimana tujuan penting pernikahan adalah memperbanyak keturunan. Oleh sebab itu Allah memberikan karunia kepada Bani Israil dengan memperbanyak jumlah mereka, Allah berfirman : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” (Al-isra : 6 )
Nabi juga memerintahkan umatnya agar memperbanyak pernikahan yang diantara tujuannya adalah memperbanyak keturunan. Beliau bersabda :
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة
“Nikahilah wanita penyayang nan banyak melahirkan, karena dengan banyaknya jumlah kalian aku akan berbangga-bangga dihadapan umat lainnya pada hari kiamat kelak”.
c.       Tindakan aborsi merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah.
Banyak manusia yang melakukan aborsi karena didorong rasa takut akan ketidak mampuan untuk mengemban beban kehidupan, biaya pendidikan dan segala hal yang berkaitan dengan konseling dan pengurusan anak. Ini semua merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah. Padahal, Allah telah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”
Maka, Syariat Islam memandang bahwa hukum aborsi adalah haram kecuali beberapa kasus tertentu. Dalam kalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat tentang praktik aborsi tersebut, dan mereka memiliki dalil-dalil yang sama kuat pula, yaitu sebagi berikut:
1.      Dalil-dalil yang melarang dilakukannya Aborsi
Sebelum Islam datang, pada masa jahiliyah , kaum Arab mempunyai tradisi mengubur hidup-hidup bayi yang baru dilahirkan. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (٨)بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (٩(
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup- hidup ditanya, . karena dosa Apakah Dia dibunuh”.( At Takwiir 8-9)
Islam membawa ajaran yang menentang dan mengutuk tradisi jahiliyyah ini. Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Al-Isra’ 31)
Pada perkembangan selanjutnya, pembunuhan tidak hanya dilakukan pada bayi-bayi yang baru dilahirkan. Tetapi juga dilakukan dengan cara membunuh calon-calon bayi yang akan dilahirkan. Dalam istilah fiqh disebut:
إجهاض , إملاص, إسقاط الطرح
Sementara ulama lain berpendapat, hukum menggugurkan kandungan tidak dapat disamakan persis dengan membunuh bayi yang sudah dilahirkan. Karena ketika sperma sudah memasuki rahim perempuan, masih ada proses panjang sebelum akhirnya keluar menjadi bayi yang dilahirkan. Allah SWT berfirman:

ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. ( Al-mu’minun:12-14)

Secara sederhana, pendapat para ulama mengenai hukum aborsi dapat disimpulkan sebagai berikut:
Apabila kandungan masih dalam bentuk gumpalan darah (40-80 hari) atau masih dalam bentuk gumpalan daging (80-120 hari), maka hukumnya adalah sebagai berikut:
Menurut Ibnu Immad dan Imam Al-Ghozali, haram hukumnya, karena gumpalan itu akan menjadi makhluq yang bernyawa. Pendapat ini di dukung oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haytami.

2.      Dalil-dalil yang membolehkan dilakukannya Aborsi
Hukum asal aborsi, sebagaimana yang telah dikemukakan adalah haram. Akan tetapi dikarenakan kaidah:
الضرورات تبيح المحظورات
“Hal-hal yang darurat dapat menyebabkan dibolehkannya hal-hal yang dilarang”
Para Ulama kontemporer membolehkan aborsi dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Terbukti adanya penyakit yang membahayakan jiwa sang ibu.
b.      Tidak ditemukannya cara penyembuhan kecuali dengan cara aborsi.
c.       Adanya keputusan dari seorang dokter yang dapat dipercaya bahwa aborsi adalah satu–satunya cara untuk menyelamatkan sang ibu.
Imam Abu Ishaq Al-Marwazi berpendapat bahwa hukum mengaborsi adalah boleh. Karena kenyataannya gumpalan itu masih belum dapat dikatakan makhluk yang bernyawa. Pendapat ini didukung oleh Imam Romli.
Sedangkan hukum aborsi pada kandungan yang sudah berusia 120 hari hukumnya adalah haram dan tergolong dosa besar, karena pada usia itu kandungan sudah berbentuk makhluk hidup dan bernyawa sehingga hukumnya sama dengan membunuh manusia. Dalam hadits dinyatakan:
إنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً , ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ . رواه الشيخان
“Sesungguhnya kalian dikumpulkan didalam rahim ibu selama 40 hari dalam bentuk air mani, dan 40 hari dalam bentuk gumpalan darah, dan 40 hari dalam bentuk gumpalan daging, lalu Allah SWT mengutus malaikat meniupkan ruh” (HR.Bukhori,Muslim)

Pelaku aborsi pada kandungan yang sudah berusia 120 hari juga tergolong pembunuhan yang mewajibkan kaffaroh, yakni puasa dua bulan secara berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin bagi yang tidak mampu puasa. Disamping itu juga wajib membayar denda jinayah 5% diyat atau setara dengan harga emas seribu dinar. Satu dinar setara dengan emas 4.250 gr.
Akan tetapi menurut pendapat yang di nuqil oleh Imam ibnu Hajar Al-Haytami dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj dari sebagian ulama madzhab Hanafi, hukum mengugurkan kandungan secara mutlak diperbolehkan meskipun kandungan sudah memasuki usia 120 hari. Namun pendapat ini diragukan kebenarannya oleh Ibnu Abdil Haq As-sanbathi. Beliau berkata: “Aku menanyakan masalah ini kepada sebagian ulama madzhab Hanafi, dan mereka mengingkarinya. Mereka bahkan mengaku berpendapat boleh dengan syarat sebagaimana diatas (sebelum kandungan berusia 120 hari).
Meskipun pendapat ini diragukan kebenarannya oleh sebagian ulama, akan tetapi Syekh Sulaiman Al-Kurdi tetap memperbolehkan untuk diikuti dengan terlebih dahulu bertaqlid kepada madzhab Hanafi. Dengan demikian, pendapat ini layak dijadikan sebagai solusi ketika menghadapi kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu.


2.      Menurut Fatwa MUI
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 12 Rabi`ul Akhir 1426 H, 21 Mei 2005.
ð  Pertama : Ketentuan Umum
1.      Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
2.      Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.
ð  Kedua : Ketentuan Hukum
1.      Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi bla stosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2.      Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.
1)      Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
a.       Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kankerstadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik beratlainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.2.
b.      Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
2)      Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
a.       Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
b.      Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yangberwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter,dan ulama.
c.       Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
d.      Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.


3.      Hukum Aborsi Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”. Yang menerima hukuman adalah: 1) Ibu yang melakukan aborsi. 2) Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi. 3) Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi. Berikut beberapa pasal yang terkait aborsi dalam KUHP:
Pasal 229
1)      Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2)       Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3)      Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Selain pasal-pasal di atas, masah banyak pasal lain melarang adanya tindakan aborsi di Indonesia, yaitu: pasal 342, pasal 343, pasal 346, pasal 347, pasal 348, pasal 349.

E.     HUKUMAN BAGI PELAKU ABORSI
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa aborsi daam pandangan hukum Islam termasuk perbuatan yang keji dan merupakan suatu kejahatan. Kejahatan yang lengkap unsur-unsurnya dan dilakukan oleh pelaku dalam keadaan sadar dan sengaja, tentu akan mendapatkan hukuman. Sebagaimana dicontohkan Nabi dalam haditsnya:
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ، رَمَتْ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا بِغُرَّةٍ، عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ.

“Salah seorang dari dua perempuan bani Huzeil melempar saudaranya (juga dari perempuan bani Huzeil) sehingga gugur kandungannya. Kemudian Rasulullah saw, menghukumnya dengan ghurrah seorang sahaya laki-laki atau perempuan”. (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi, menetapkan wajib ghurrah (denda) pada janin tanpa menjelaskan pada tahap mana ia diwajibkan. Ini berati denda itu diwajibkan karena adanya janin dalam kandungan, walau pun masih berbentuk cairan seperma.
Di Indonesia sendiri sanksi bagi pelaku aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan  Pasal 194, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah supaya pelaku aborsi jera. Hukaman tersebut adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 milyar rupiah.


Nama             :  Komarudin
NIM               :  3120019
Kelas              :  4 B  Reguler


TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM

Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu, dari  suatu tempat ke tempat lain, pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Kemudian menurut  Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.
Transplantasi ditinjau dari prakteknya, dapat dibedakan menjadi:
1.      Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2.      Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain.
3.      Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari satu spesies ke tubuh spesies lainnya.
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut Resipien. Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.
Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transpalntasi tidak dapat dihindari dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam melakukan transplantasi, upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya penyembuhan yang cepat dan tuntas.
Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hokum, atau social budaya ikut mempengaruhinya.
Apa yang bisa di capai dengan teknologi belum tentu bisa di terima oleh agama dan hukum yang hidup di masyarakat. Dari itu mengingat transplantasi adalah masalah yang ijtihadi karena tidak ada hukumnya secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan Hadits dan juga merupakan masalah yang cukup kompleks  menyangkut berbagai bidang studi maka seharusnya masalah ini di analisis dengan menggunakan metode pendekatan multidisplainer, misalnya kedokteran biologi, hukum, etika, dan agama agar dapat di peroleh kesimpulan hukum ijtihadi yang proporsional dan mendasar.

Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati masalah transpalnasi ini ketika membahas hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan transplantasi itu dilakukan, menurut Prof. Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir meninggal,  maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang mengharamkan, juga ada yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu.  Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1.      Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil. 
2.      Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil yang di nilai sebagai dasar pengharaman transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup, antara lain:
1.      Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” 

2.      Hadits Rasulullah:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: ”Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR.  Ibnu Majah).
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal. Ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang di nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.
3.      Kaidah hukum Islam:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:”Menolak kerusakan lebih  didahulukan dari pada meraih kemaslahatan
Pendonor yang masih hidup berarti  mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan orang lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah hukum tersebut. 
4.      Kaidah Hukum Islam:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”

Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di benarkan penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka membantu dan menyelamatkan orang lain adalah di nilai upaya menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.  
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai transplantasi organ tubuh ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis oleh syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan di mana kita akan sampai pada kesimpulan bahwa menurut Beliau transplantasi adalah suatu hal yang di perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan yang harus di perhatikan.  
Beliau mengawali pembahasan seputar transplantasi dengan mengajak kita untuk memahami apakah  seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh di pergunakan  kecuali  dengan izin-Nya.
Didalam  kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya) itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan / terpaksa, terluka, kelaparan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka  tidak  diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya,  atau  tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila  seorang  muslim  dibenarkan  menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya.

Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan bahwa upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan donor organ tubuh yang sehat  kepadanya adalah merupakan tindakan yang di perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Akan tetapi yang harus di perhatikan,  masih menurut Beliau kebolehan ini bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di benarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor. Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa di benarkan syara’.
Oleh sebab itu,  tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia  tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada dirinya.  Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa)  itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar  itu  tidak  boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula."
Para   Ulama   Ushul Fiqh   menafsirkan  kaidah  tersebut  dengan pengertian:  tidak  boleh   menghilangkan   dharar   dengan menimbulkan dharar yang sama  atau  yang  lebih  besar daripadanya.  Karena itu tidak di perbolehkan mendermakan organ tubuh bagian  luar, seperti  mata,  tangan,  dan  kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  diri  sendiri  yang  lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat pendonoran organ tubuh ketika seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk memahami lagi tentang pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang masih hidup di mana ada kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu hukumnya tetap di perbolehkan. Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah meninggal adalah upaya yang lebih berhak untuk di perkenankan.   Sebab  yang demikian  itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat  (kemelaratan/  kesengsaraan) sedikit  pun  kepada dirinya (si mayit), karena organ-organ tubuh orang yang meninggal  akan  lepas  berantakan  dan  dimakan  tanah beberapa hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak ada satu pun  dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali  jika  ada  dalil  yang sahih dan  sharih (jelas) yang melarangnya. Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil yang mengharamkan) tidak dijumpai.
Kemudian ketika menyinggung permasalahan kehormatan mayit di mana dalam konteks ini Rasulullah SAW pernah bersabda yang  kurang lebih artinya :  "Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."  dalam artian apakah mendonorkan organ tubuh si mayit itu tidak termasuk mengabaikan kehormatan mayit?, Beliau Yusuf Qardawi menekankan bahwa mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan dengan ketetapan syara'.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak kehormatan tubuhnya.
Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek transplantasi dari organ si mayit  tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si mayit, dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu di perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya.[18] Akan tetapi transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa berubah hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika meninggal. Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait hukum transplantasi organ tubuh dengan berbagai kemungkinannya di mana perbedaan pendapat pun masih kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski demikian ketika kita berusaha memahami kajian-kajian tersebut lebih –lebih apa yang telah di uraikan oleh Syekh Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur pemikiran yang tidak terlalu rumit untuk di mengerti dan pantas untuk di jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh ini, di mana pada intinya menurut beliau transpalntasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya atau kemudaratan.       

Simpulan
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari  suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Hukum transplantasi organ tubuh dalam beberapa kemungkinan prakteknya masih di warnai perbedaan pendapat, Mengenai praktek transplantasi dari seorang yang meninggal ada yang berpendapat hal itu di bolehkan tapi ada juga yang berpendapat tidak di perbolehkan karena hal itu di nilai dapat mengabaikan kehormatan si mayit, lebih dari itu orang yang sudah meninggal tidak bisa di katakan memiliki tubuhnya, maka sekalipun ketika si mayit pernah berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya maka wasiat tersebut tidaklah sah.    Akan tetapi menurut Yusuf Qardawi  transplantasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya atau kemudaratan, terkecuali praktek pendonoran kepada orang kafir yang memusuhi islam, atau pendonoran dari organ tubuh si mayit yang pernah berwasiat melarang pendonoran organ tubuhnya ketika meninggal, maka transplantasi tersebut tidaklah boleh di lakukan.


Nama             :  Khusnaeni
NIM               :  3120022
Kelas              :  4 B  Reguler



HUKUM MENUNDA HAID DALAM IBADAH HAJI DAN PUASA RAMADHAN
A.    Haid
Secara lughot atau bahasa Arab haid artinya sesuatu yang mengalir. Sedangkan menurut hukum syara’ atau hukum fiqih artinya adalah darah yang keluar mengalir dari rahim wanita secara alami, tanpa sebab dan pada waktu tertentu saja. Haid adalah darah alami, tidak muncul karena sebab penyakit, luka, keguguran, atau bersalin. Karena haid adalah darah alami, maka texturnya juga berbeda. Sesuai kondisi, lingkungan, temperatur udara tempat wanita tersebut hidup.
Dari segi medis, haid adalah suatu keadaan dimana rahim (uterus) permukaanya (endometrium) lepas disertai pendarahan(fertilisasi).
Dipermukaan rahim yang penuh luka-luka,terjadi pelepasan permukaan yang selanjutnya akan diikuti oleh pembaharuan permukaan rahim itu. Hal tersebut dapat terjadi antara lain karena pengaruh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kalenjer wanita. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim pada semua perempuan yang sehat alat reproduksinya. Bukan karena penyakit atau benturan kecelakaan. Haid juga bisa dijadikan indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi perempuan karena hukum islam melarang perempuan yang sedang haid melakukan ibadah. Wanita yang sedang haid dilarang melakukan 6 kegiatan yaitu: 1. Thawaf, 2. Sholat, baik wajib maupun sunnah, 3. Berdiam diri didalam mesjid, 4. Memegang dan membaca Al-Qur’an, 5. berpuasa, 6. Bersenggama.
Kegiatan- kegiatan dalam ibadah haji seperti Sa’i, wukuf, Mabid, melontar jumrah, dan memotong rambut boleh dilakukan dalam keadaan haid.

B.     Obat Penunda Haid
                        Obat siklus haid adalah obat obat yang bisa dipakai untuk mengatur saat datangnya haid pada wanita tergantung pada keinginan dengan cara memajukan atau menunda saat haid tersebut. Salah satu contoh obat yang biasa digunakan untuk mengatur siklus haid adalah Primolut N. Obat ini sering digunakan calon jemaah haji wanita yang hendak menunaikan ibadah hajinya di mekkah. Jenis obat ini mengandung hormon progestin dan hormon progesterone yang digunakan untuk mempercepat atu memperlambat masa datangnya haid, baik secara terpisah maupun kombinasi, karena siklus haid dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron.
                        Pada dasarnya ada dua faktor yang menjadi alasan bagi wanita untuk  memakai obat pengatur siklus haid, yaitu: Untuk keperluan ibadah dan untuk keperluan diluar ibadah. Penggunaan pil pengguna haid dibagi menjadi dua:
1.      Memajukan saat haid
Dengan cara meminum pil atau tablet yang hanya berisi hormon estrogen atau kombinasi pada hari kelima pada siklus haid dari hari ke dua sampai hari ketiga sebelum datangnya haid yang diinginkan karena haid yang biasa disebut  pendarahan putus obat (Withdraw Bleeding) akan terjadi dua sampai tiga hari setelah obat habis
2.      Menunda saat haid
Dengan cara meminum pil yang hanya berisi progesteron atau kombinasi pada hari sebelum haid berikutnya datang sampai pada hari ke dua sebelum haid yang diinginkan. Karena biasanya haid itu akan datang setelah dua hari penghentian pil tersebut.


C.    Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Haji
   Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah haji  wanita usia subur,  terdapat halangan haid yang dapat menyebabkan tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah) tidak bisa bersama muhrim, keluarga, atau bahkan kelompok terbangnya (kloter) nya, yang dapat mengganggu psikologis calon jemaah haji sehingga dapat mengalami gangguan psikologis dan menggangu kesempurnaan hajinya. Disamping itu karena mengalami haid dapat menyebabkan calon jemaah haji tidak dapat melaksanakan sholat arba’in (40 waktu sholat) di mesjid nabawi yang merupakan idaman setiaporang yang menunaikan ibadah haji.
Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat menunda haid dalam berhaji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji lainya bersama dimekkah, serta dapat sholat arba’in  dimadinah sebagaimna yang diinginkan. Tanpa terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna.
Adapun aspek hukumnya terdapat berbagai pendapat para ulama. Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan yusuf Al- Qardawy (Ahli fiqih Kontemporer) berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya (dan umrah) tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat menunda hainya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang melarang menunda haid itu tidak ada. Selain itu Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang komosi fatwanya pada tahun 1984  menetapkan, bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusukan seorang wanita dalam melaksanakan ibadah haji hukunya adalah mubah (boleh) para fuqaha’ ( ulama ahli fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk berhaji dengan obat-obatan. Hal ini sebagaimana dasar kaidah fiqiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.
Di zaman modern ini, dunia mengeluarkan obat untuk menahan keluarnya haid, sehingga wanita itu bisa mengerjakan ibadah haji dan ibadah puasa Ramadhan secara sempurna tanpa harus mengqaho’nya. Dalam hal ini, Syaikh  Mar’i bin Yusuf al-Maqdisi dan Yusuf Al-Qardawi tokoh fiqh kontenporer berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan puasa dan hajinya tidak sempurna, maka ia boleh untuk menunda haidnya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit untuk mengqadla’ puasanya pada hari yang lain. Sedangkan larangan untuk penundan haid itu tidak ada sama sekali dalam nash.
Sementara itu MUI dalam sidang komisi fatwanya pada tahun 1984 menetapkan bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusyu’an seorang wanita dalam melaksanakan ibadah, maka :
ð  Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan haji itu hukumnya adalah boleh.
ð  Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat menyempurnakan puasa ramadhan sebulan penuh, pada dasrnya hukumnya makhruh. Tapi bagi wanita yang mengalami kesulitan untuk mengganti puasanya yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah boleh.
Penggunaan pil anti haid selain dari dua ibadah tersebut itu tergantung niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hokum agama, maka hukumnya haram. Hukum penggunaan obat perangsang haid seperti halnya pencegah/penundaan, obat perangsang haid juga diperbolehkan untuk digunakan, tetapi dengan dua syarat :
ð  Pemakai tidak punya rencana negative bahwa dengan menggunakan alat tersebut ia akan terhindar dari kewajibannya. Misalnya seorang wanita menggunakan alat ini saat menjelang ramadhan dengan tujuan agar bulan ramadhan tersebut ia tidak berpuasa dan tidak shalat.
ð  Harus izin dengan suami bagi yang sudah bersuami.

Pendapat Para Ulama Tentang Hokum Meminum Obat Anti Haid
Ulama era klasik seperti Ibnu Qudhamah al-Hanbali, Al-Hathaab al-Maliki, dan Al-Ramly al-Syafi’I, tidak mempermasalhkan seorang wanita yang meminum obat-obatan anti/penunda haid. Dengan kata lain, para ulama tersebut menetapkan hokum tentang hal itu dengan mubah. Begitu pula Ibnu Taymiyah, beliau juga memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa Ramadhan. Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu Al-‘Ain merinci menggunakan obat penunda haid ada dua macam, yaitu : Makhruh apabila bertujuan untuk mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid. Kemudian haram ketika bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makhruh.
Sedangkan pada era modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak dikemukakan paling awal adalah fatwa MUI. Sidang komisi fatwa MUI tanggal 12 januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid itu mubah bagi wanita yang sukar mengqadha puasa Ramadhan pada hari lain, serta makhruh jika untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat mengqadha pada hari lain tanpa kesulitan. Pendapat dan fatwa dari para ulama’ serta lembaga otoritatif lain di Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian, karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam. Maka di tingkat lokalpun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum bahtsul Masail Diniyyah di Yayasan As-Salam, bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu merumuskan kesimpulan untuk diperbolehkannya penggunaan pil atau obat pencegah haid agar dapat menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya selama tidak menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang ulama local mengenai persoalan fiqh kontenporer. KH. Tajuddin Subki misalnya, dalam forum tersebut mengqiyaskan kebolehan menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan menggunakannya dalam ibadah haji. Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad mengatakan, hokum awal pemakaian obat-obatan penunda haid dalam Islam tidak diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan ketentuan yang telah digariskan Allah. Namun, hokum tersebut menjadi mubah karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi. Kesimpulan-kesimpulan tersebut didasarkan pada hadits Nabi:
Pertama, pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang melakukan satu bentuk  rukhshah (keringanan), sedang Nabi bersabda : “sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan ‘azimahnya (beban moral). (HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata : perawinya perawi hadits shahih)”.
Kedua, Rasulalah juga bersabda : “Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul melakukannya”(HR. Abu Dawud).
Ketiga, terdapat hadits yang pengertian dzahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya wanita akibat udzur dan tidak puasanya wanita, mesti di qhada’ karna adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. “Bukalah jika sedang haid dia tidak shalat dan berpuasa ? “benar” demikianlah bentuk kekurangan Agamanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan berdasarkan atas hadits tersebut, Hidayatullah menandaskan istilah “kekurangan Agama” dalam hadits tersebut bukan dipahami dari segi kualitas akibat udzur yang memang sudah menjadi taqdir penciptaannya melainkan pada kuantitas pelaksanaan agama yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas agama wanita yang bersangkutan.
Sedangkan ulama Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan penggunaan pil pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus izin dengan suaminya. Meski demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek samping bagi tubuh wanita tersebut. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tetapi ia tidak senang kaum wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinannya madharat yang menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai Aisyah menangis setelah berikhram untuk umrah. Nabi bertanya : Ada apa denganmu, barangkali engkau sedang haid? Aisyah menjawab : “ya”, lalu beliau bersabda : “ini sesuatu yang telah di tulis oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam”. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa haid. Sebab itu merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat obat tersebut adalah makhruh.
Syaikh Mutawaali al-Sya’rawi mengatakan bahwa : wanita yang melakukan itu berarti telah menolak rukhshah (keringanan hokum) yang duberikan oleh Allah kepadanya selain itu. Meminum obat pencegah haid menurutnya dapat merusak metabolism tubuh manusia. Perbuatan itu harus dihindari wanita muslim, khususnya puasa Ramadhan yang telah lewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam nash yang jelas. Sebagian ulama’ berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan terutama Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama’ Saudi Arabia sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa wanita boleh meminum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar-pakar medis dan dokter bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaliknya, hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hai-hai lain. Hal itu lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan.

D.    Hukum Menunda Haid dalam Pelaksanaan Ibadah Puasa Ramadhan
            Seiring kemajuan dunia kesehatan, masalah siklus haid atau menstruasi bagi wanita sudah bisa ditunda dengan mengkonsumsi obat atau pil penunda haid. Yang menjadi permasalahan adalah bolehkah menunda siklus haid untuk tujuan menunaikan ibadah puasa ramadhan?
            Menurut Drs KH. Ahmad faisal Haq, M.Ag, para ulama mempunyai beberapa pendapat menyangkut menunda datangnya haid atau menstruasi dengan mengkonsumsi pil haid selama bulan ramadhan. Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat bahwa hukumnya adalah tidak diperbolehkan.
            Dalam durus wa fatwa Al haram Al makki  Ibnu Utsmain mengatakan kepada para wanita yang mendapatkan haid pada bulan ramadhan “Syeikh Utsmain ditanya oleh seseorang: “ Apakah boleh seseorang wanita menggunakan pil penunda haid pada bulan ramadhan dan lainya? Beliau menjawab: “menurut hemat saya dalam masalah ini agar para wanita tidak menggunakanya biak dibulan ramadhan atau dibulan lainya, karena menurut para dokter hal ini menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi rahim, urat syaraf dan darah. Dan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya adalah dilarang. Padahal Nabi SAW telah bersabda:”janganlah kamu melakukan tindakan yang mmbahayakan dirimu dan orang lain’’.dan kami telah mengetahui dari mayoritas wanita yang menggunakanya bahwa kebiasaan haid mereka berubah, dan menyibukkan para ulama membicarakan masalah tersebut.maka yang paling benar adalah tidak menggunakan obat tersebut selamanya baik dibulan ramadhan maupun lainya.
            Menurut KH. Habib Syarif Muhammad, hukum awal pemakaian obat obat penunda haid dalam islam tidak terbolehkan. “ pemakaian obat berarti ingin menunda, sehingga melawan ketentuan yang telah digariskan. Perempuan memiliki siklus haid secara alamiah, sebagai rahmad dari Allah. Hanya ibadah haji merupakan amalan yang tidak bisa dilakukan setiap tahun dengan pengorbanan harta, tenaga, yang tidak sedikit.
Namun demikian, ada banyak ulama yang berpendapat berbeda dengan pendapat diatas, diantaranya adalah;
Menyatakan boleh, dasar yang diambil menjadi pegangan berasal dari alqur’an dan dan Hadits  misalnya surah Al-baqarah ayat 185;
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan atas kamu dan tidak menginginkan kesulitan menimpamu”.
Selain itu Ibnu Qudamah Al Hanbaly dalam kitabnya Al Mughni (madzhab Hambali) dan Hutbah Al Maliki dalam kitabnya Mawahib Al jalil (Madzhab Maliki) serta Imam Ramli Asy Syafi’i dalam An-Nihyahnya (madzhab Syafi’i) Mereka menyatakan bahwa menggunakan pil pencegah haid dalam tujuan agar dapat melaksanakan puasa ramadhan dan ibadah lainya hukumnya mubah dalam artian boleh boleh saja, selagi tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan wanita.
             
E.     Efek Mengkonsumsi Obat Penunda Haid Bagi Kesehatan Wanita              
      Bagi wanita yang ingin menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan selama sebulan penuh, biasanya mereka mencoba meminum obat penunda menstruasi, atau siklus haid agar terhindar dari haid di bulan ramadhan . tetapi jika mereka memakai obat penunda haid ini tanpa pengawasan dokter tentunya dapat berakibat negatif bagi kesehatan mereka. Beberapa merek obat yang dikonsumsi sebagai penunda menstruasi yang sering digunakan oleh wanita-wanita terutama bagi wanita yang belum menikah tentunya akan menimbulkan beberapa dampak buruk bagi kesehatan mereka. Misalnya Primolut tablet N norethisterone, yang berisi bahan aktif produk sintesis yang agak mirip dengan progesteron, yakni hormon alami wanita. Seorang konsultan ginekolog Al-Amin Hospital di Taif, Dr Hanan Oyara  yang dikutip dari arab news, mengatakan agar wanita membatasi pemakaian obat-obat penunda menstruasi. Karena tablet tersebut bisa mengakibatkan komplikasi kesehatan yang sangat serius, bahkan termasuk adanya kemungkinan terjadi kemandulan. Dr Dalal Namnaqani, salah satu konsultan ahli patologi, di Rumah Sakit King Abdul Ajiz juga mengatakan bahwa konsumen untuk obat-obat penunda haid haruslah dibawah pengawasan dokter. Bahkan untuk pengunaan serta jumlah takaranyapun harus dibatasi dan juga hanya untuk jangka waktu tertentu. Efek negatif lainya yang diakibatkan karena mengkonsumsi obat penunda haid sebagai berikut:
a.       Rasa mual dan muntah-muntah
b.      Sakit kepala hebat
c.       Perasaan lelah dan gelisah
d.      Darah tinggi
e.       Pigmentasi pada muka
f.       Keputihan
g.      Bercak darah (spotting)
h.      Nafsu makan bertambah
Disamping mempunyai dampak negatif, penggunaan obat pengatur siklus haid juga mempunyai dampak positif seperti:
a.       Siklus haid menjadi teratur
b.      Lamanya haid menjadi singkat
c.       Jumlah darah haid menjadi kurang
d.      Berkurangnya gejala sakit perut
e.       Berkurangnya atau hilangnya tegangan pra haid
f.       Berkurangnya rasa nyeri saat haid
            Pemakaian obat kombinasi juga non kontraseptif.misalnya dapat dipergunakan untuk mengobati pendarahan disfungsional uterus, pertambahan berat badan pada wanita. Pemakaian ini juga terbukti mencegah anemia dan karsinova ovarium, kebanyakan  efek non kontraseptif terjadi pada preparat-preparat dengan dosis estoragen yang rendah.           






Nama             :  Septian Khusnul K
NIM               :  3120011
Kelas              :  4 B  Reguler

 

Masailul Fiqh : Bank ASi Dalam Islam


A.    Pengertian Bank ASI
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a.       Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.      Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.       Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan



B.     Hukum Mengenai Bank ASI
            Seorang bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai, atau karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat menyusuinya. Status ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh kawin dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai saudara sepersusuan. Gambaran yang dikemukakan jelas bahwa siapa wanita yang menyusukan dan siapa pula bayi yang disusukan itu hukumnya jelas yaitu sama dengan mahram. Sekarang yang menjadi perrsoalan ialah, air susu yang disimpan pada Bank ASI, maka air susu itu sama saja seperti darah yang disumbangkan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana darah boleh diterima dari siapa saja dan boleh diberikan kepada yang memerlukannya, maka air susupun demikian juga hukumnya.
Bedanya ialah darah najis, sedangkan air susu bukan najis. Oleh sebab itu, darah baru dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Namun timbul lagi pertanyaan bagaimana hubungan antara donor ASI dengan bayi yang menerimanya? Apakah sama dengan ar-Radha’ah atau saudara sepersusuan?
Menurut Ali Hasan, agak sukar menentukan atau mengetahui donor asli itu, sebagaimana donor darah. Dengan demikian, baik ibu “susuan”, maupun “anak susuan”, tidak saling mengenal. Hal ini berarti, masalah pemanfaatan air susu dari Bank ASI, tidak dapat disamakan dengan ar-Radhaah. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anak itu, maka itulah sebenarnya yang terbaik. Hubungan psikologis antara si bayi dan ibunya terjalin juga dengan mesra pada saat menyusukan bayi itu. Si bayi merasa disayangi dan si ibu pun merasakan bahwa air susunya akan menjadi darah daging anak itu. Berbeda, kalau air susu yang diminum anaknya itu berasal dari orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan anak itu, dibantu oleh pihak lain, sebagaimana air susu sapi yang kita kenal selama ini, dan makanan yang khusus dibuat (diproduksi) untuk bayi.
1.      Memperhatikan
Perbedaan pendapat  mengenai Bank ASI
a.       Pendapat Pertama
Menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya “Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.

b.      Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.

c.       Pendapat Ketiga
Menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Prof. DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu ibu kandungnya.
Hanya saja pencatatannya harus benar dan kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung atau tidak langsung, itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5 kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.
Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu “radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali susuan:
a)      Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.

b)      Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari dan Muslim).

c)      Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim)

d)     Cara Menyusu
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara “السعوطas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara “الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.

2.      Mengingat
Perdebatan dari segi dalil
Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu? Kedua, apakah harus ada saksi penyusuan?
a.       Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu ?
Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya.
Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa':23).

Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sedangkan bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya.
Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ, فَإِنَّمَا اَلرَّضَاعَةُ مِنْ اَلْمَجَاعَةِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) 
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah ra dia menceritakan :Diantara ayat-ayat yang diturunkan dalam Al-quran adalah sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi mengharamkan (orang yang menyusui dan disusui menikah ), kemudian dinash ( di hapuskan ) dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi, lalu Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai ketetapan Al-Quran “ ( HR. Muslim dan Ibnu Majah)

b.      Haruskah Ada Saksi ?
Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas. Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan bahwa bank air susu menjadi haram.



3.      Memutuskan
Dengan memohon rahmat serta hidayah dari Allah SWT, memutuskan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan. Tetapi jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.

4.      Rekomendasi
Pemberian ASI ke bayi dengan ASI yang berasal dari bank ASI sebisa mungkin untuk dihindari, karena menolak mudharat itu lebih diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan. Untuk menghindari percampuran nasab yang akan menyebabkan masalah baru yang lebih komplek. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa dan mendesak sesekali boleh menggunakan jasa bank ASI.
Jika telah memenuhi syarat yang telah dijelaskan di atas, maka boleh saja menggunakan ASI dari bank ASI. 









Nama             :  Hesti Makiya Dewi
NIM               :  3130099
Dosen             :  Andy Eswoyo, M.Si.


Anak Angkat dan Statusnya Dalam Islam


Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita, entah karena orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena ingin menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab yang lain.
Akan tetapi, karena ketidaktahuan banyak dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak angkat’, maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehinga tidak memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk Allah Ta’ala dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak akan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.

Tradisi Sejak Jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan tersebut dalam firman-Nya,
{وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”.

Status Anak Angkat Dalam Islam
Firman Allah Ta’ala di atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di jaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak kandung dalam semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu memiliki dua orang ayah3.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1.      Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”

2.      Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia
3.      Anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”
4.      Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,


 Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat mereka…Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai turunnya firman Allah:
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka” (QS al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid bin Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceraikan istrinya…(Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha sebagaimana ayat tersebut di atas)”.

Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di antaranya:
ü  Dari Ibnu Abbas radhiayallahu ‘anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk paha kami dan bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah kalian melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10 Dzulhijjah) sampai matahari terbit”1
ü  Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada: “Wahai anakku”.

Oleh karena itu, imam an-Nawawi dalam kitab “shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar