KONSEP TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB (DESKRIPSI
PERILAKU
PENDIDIKAN DI PESANTREN TRADISIONAL, PESANTREN
MODERN DAN PENDIDIKAN FORMAL)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.
John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi
sosial, sebagai bimbingan sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin
hidup.[1] Untuk
membentuk disiplin hidup maka perlu adanya Pendidikan Islam. Yang mengembangkan
kemampuan individu secara maksimal dan positif. Dalam pendidikan Islam itu
sendiri terdapat konsep-konsep dalam mengembangkan kemampuan individu yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Dengan adanya konsep-konsep tersebut maka
terealisasikannya pendidikan dan tujuan pendidikan.
Konsep ta’dib adalah suatu pendidikan yang lebih mengarah pada aspek
afektif. Konsep ta’lim adalah proses
pengajaran yang lebih mengarah pada aspek kognitif. Konsep tarbiyah adalah proses pengajaran yang
mampu menumbuhkan dan mengembangkan peserta didik, yang mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik.
Dalam konteks
keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan yang dapat
mengembangkan ketiga aspek tersebut, di negeri ini lembaga pendidikan sangat
banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga
pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah
umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu, memberdayakan
masyarakat dan mengembangkan peserta didik sesuai dengan konsep-konsep
pendidikan. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang
ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak
menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi
mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa
memilih lembaga pendidikan pesantren tradisional, dan bagi yang berkeinginan
ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur pesantren
modern.
Pondok
pesantren tradisional, modern, dan sekolah adalah instansi yang mempunyai
tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini
masing-masing mempunyai ciri khas. Sekolah umum lebih mengedepakan pengembangan
aspek kognitif, pondok pesantren tradisional lebih mengedepankan pengembangan
aspek afektifnya, sedangkan pondok pesantren modern mengembangkan ketiga aspek
baik itu kognitif dan afektif. Namun dengan berkembangnya zaman, ketiga
instansi pendidikan tersebut seharusnya dapat mengedepankan pengembangan ketiga
aspek tersebut baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Berangkat dari
sini pemakalah mencoba sedikit membahas terkait dengan gambaran perilaku
pendidikan beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni pondok pesantren
tradisional, modern dan sekolah umum guna memahami fungsi, peran dan perbedaan penggunaan
konsep tarbiyah, ta’lim dan ta’dib diantara ketiga lembaga
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan tarbiyah, ta’lim dan ta’dib?
2.
Bagimana deskripsi perilaku pendidikan di pondok pesantren tradisional,
modern dan sekolah umum ?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hal pendidikan, bersandar pada Al-Qur’an dan hadist dikenal beberapa istilah yang
dianggap mewakili pengertian pendidikan. Hal ini disebabkan istilah
pendidikan tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sebenarnya, banyak istilah yang
dianggap mendekati makna pendidikan, diantaranya Al Tansyi’ah, Al Islah, Al Ta’dib atau Al Adab, Al Tahzib, Al Tahir, Al Tazkiyyah, Al
Ta’lim, Al Siyasah, Al Nash wa Al Irsyad dan Al Akhlaq bahkan sumber lain menambahkan
dengan istilah at Tabyin dan at
Tadris.[2]
Namun, dalam persidangan dunia pertama mengenai pendidikan Islam pada tahun 1977, menegaskan
bahwa pendidikan didefinisikan sebagai Al Tarbiyah, Al Ta’lim dan Al Ta’dib
secara bersama-sama.
Tarbiyah, ta’lim dan ta’dib merupakan konsep dasar
dalam pendidikan Islam. Untuk lebih
jelasnya ketiga konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
A. Tarbiyah
Dalam bahasa Arab, kata al-tarbiyah
memiliki tiga akar kebakaan, yaitu :[3]
1. Rabba, yarbu : yang memiliki makna tumbuh, bertambah,
berkembang.
2. Rabbi, yarba : yang memiliki makna tumbuh dan menjadi besar atau
dewasa.
3. Rabba, yarubbu : yang memiliki makna memperbaiki, mengatur, mengurus
dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara.
Menurut
Musthafa Al-Ghalayani, at-tarbiyah adalah penanaman etika yang mulia
pada anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga
ia memiliki potensi dan kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan
sifat-sifat bijak, baik cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah airnya.[4]
Tarbiyah (pendidikan)
merupakan transformasi pengetahuan dari satu generasi ke generasi, atau dari orang tua kepada anaknya.
Transformasi pengetahuan ini dilakukan dengan penuh keseriusan agar peserta
didik memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari
kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang
luhur. Dengan terbentuknya individu seperti itu maka suatu pendidikan dapat
terealisasikan tujuannya.
Dalam pendidikan (tarbiyah)
ini mencakup ranah kognitif, afektif, psikomotorik, ketiga ranah tersebut harus
dimiliki peserta didik, agar apa yang jadi visi misi lembaga institusi tertentu
bisa terwujud tujuan pendidikannya, untuk itu maka pendidik dalam mendidik
harus memiliki rasa keseriusan, keikhlasan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Agar peserta didik menjadi sosok yang diharapkan dan bisa bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan juga masyarakat.
Musthafa al-Maraghi membagi
aktivitas al-tarbiyah menjadi dua macam:[5]
1. Tarbiyah
khalaqiyyah, yaitu
pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan
jasmani manusia, agar dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan
rohaninya.
2. Tarbiyah
diniyah tahdzibiyyah, pendidikan
yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan akhlak dan agama manusia.
Dalam
pengertian tarbiyah ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak sekedar menitik beratkan pada kebutuhan
jasmani, tetapi diperlukan juga pengembangan kebutuhan psikis, sosial, etika
dan agama untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan
Islam yang dilakukan harus mencakup proses transformasi kebudayaan, nilai dan
ilmu pengetahuan dan aktualisasi terhadap seluruh potensi yang dimiliki oleh
peserta didik, agar mencetak peserta didik ke arah insan kamil, yaitu insan
sempurna yang tahu dan sadar akan diri dan lingkungan.
B. Ta’lim
Kata ta’lim berasal dari kata dasar “allama”
yang berarti mengajar, mengetahui.[6] Pengajaran
(ta’lim) lebih mengarah pada aspek kognitif, ta’lim mencakup
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu
pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim).
Al-ta'lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah al-aqliyah yang bertujuan
memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain
kognitif. Hal ini dapat
dipahami dari pemakaian kata ‘allama dalam surat Al-Baqarah, 2:31. Kata ‘allama
dikaitkan dengan kata ‘aradha yang berimplikasikan bahwa proses
pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahap evaluasi. Konotasi
konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yaitu penyebutan
nama-nama benda yang diajarkan, belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini
memberi isyarat bahwa al-ta'lim sebagai masdar dari ‘allama hanya
bersifat khusus dibanding dengan al-tarbiyah.
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim
dengan : “Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu”.[7]
Definisi ta’lim menurut Abdul Fattah Jalal, yaitu sebagai proses
pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman
amanah, sehingga penyucian diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang
bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.[8]
Mengacu pada definisi ini, ta’lim berarti adalah usaha terus menerus
manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi
“tahu” seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78.
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا
تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Dari pengertian di atas, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku
yang baik, sebagai upaya untuk mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia
lebih maju dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan karena
seseorang dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia
dibekali dengan berbagai potensi untuk mengembangkan keterampilannya tersebut
agar dapat memahami ilmu serta memanfaatkannya dalam kehidupan.
Pengajaran mencakup teoritis dan
praktis sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan menjauhi kemahdaratan. Pengajaran itu juga mencakup ilmu pengetahuan
dan al-hikmah (bijaksana), misalnya guru matematika akan berusaha
mengajarkan al-hikmah matematika, yaitu pengajaran nilai kepastian dan
ketepatan dalam mengambil sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi
oleh pertimbangan yang rasional dan perhitungan yang matang.
C. Ta’dib
Kata ta’dib secara etimologis
adalah bentuk masdar yang berasal dari kata “addaba”, yang artinya
membuat makanan, melatih dengan akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara
pelaksanaan sesuatu yang baik.[9]
Menurut al-Naqaid, al-Attas, ta’dib
berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada
manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan
keagungan Tuhan.[10]
Dalam
pengertian ta’dib di atas bahwasannya pendidikan dalam perspektif Islam adalah usaha agar orang mengenali dan
mengetahui sesuatu sistem pengajaran tertentu. Seperti halnya dengan cara
mengajar, dengan mengajar tersebut individu mampu untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilannya, misalnya seorang pendidik memberikan teladan
atau contoh yang baik agar ditiru, memberikan pujian, dan hadiah, mendidik
dengan cara membiasakan, dengan adanya konsep ta’dib tersebut maka
terbentuklah seorang individu yang
muslim dan berakhlak. Pendidikan ini dalam sistem pendidikan dinilai sangat
penting fungsinya, karena bagaimanapun sederhananya komunitas suatu masyarakat
pasti membutuhkan atau memerlukan pendidikan ini terutama dalam pendidikan
akhlak. Dari usaha pembinaan dan pengembangan ini diharapkan manusia mampu
berperan sebagai pengabdi Allah dengan ketaatan yang optimal dalam setiap
aktivitas kehidupannya, sehingga terbentuk akhlak yang mulia yang dimiliki
serta mampu memberi manfaat bagi kehidupan alam dan lingkungannya. Jadi
terwujudlah sosok manusia yang beriman dan beramal shaleh.
Dalam konsep ta’dib
mengandung tiga unsur, yaitu : pengembangan iman, pengambangan ilmu, pengembangan
amal.[11] Hubungan
antara ketiga sangat penting karena untuk tujuan pendidikan juga. Iman
merupakan suatu pengakuan terhadap apa yang diciptakan Allah di dunia ini yang
direalisasikan dengan ilmu, dan konsekuensinya
adalah amal. Ilmu harus dilandasi dengan iman, dengan iman maka ilmu
harus mampu membentuk amal karena ilmu itu harus diamalkan kepada orang yang
belum mengetahuinya, dengan terealisasikannya unsur tersebut maka akan
terwujudnya tujuan pendidikan.
Dalam sosok pribadi manusia beriman
dan beramal shaleh tersebut dapat digambarkan bahwa mereka memiliki jati diri
sebagai pengabdi Allah, serta ikut dalam berkreasi dan berinovasi guna
kepentingan kesejahteraan hidup bersama. Atas dasar keimanan, mampu memelihara
hubungan dengan Allah dan antara dirinya dengan sesama makhluk Allah, sedangkan
realisasi dan keimanan itu terlihat dari kemampuan untuk senantiasa berkreasi
dan berinovasi yang bernilai bagi kehidupan bersama.
Ta’dib sebagai upaya dalam
pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam :[12]
1. Ta’dib adab al-haqq,
pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang di dalamnya segala yang
ada memiliki kebenaran dan dengannya segala sesuatu diciptakan.
2. Ta’dib adab
al-khidmah, pendidikan
tata krama spiritual dalam pengabdian.
3. Ta’dib adab
al-syari’ah, pendidikan
tata krama yang tata caranya telah digariskan oleh Allah memalui wahyu.
4. Ta’dib adab
al-shuhbah, pendidikan
tata krama dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan saling tolong
menolong.
Konsep ta’dib
dalam pendidikan menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin
terlihatnya gejala keruntuhan akhlak di kalangan umat Islam bukan dikarenakan
mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, tetapi karena mereka telah kehilangan
adab. Tindak kejahatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
pembunuhan dan hal lain justru banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang mengenyam
proses pendidikan. Proses bertambahnya ilmu pengetahuan seakan-akan tidak
berbanding lurus bahkan tidak berhubungan dengan peningkatan akhlak yang mulia
atau keimanan para mudarist.
D. Gambaran Pendidikan di
Pondok Pesantren Tradisional, Modern dan Sekolah Umum
1. Pendidikan di Pesantren
Tradisional dan Pesantren Modern
Proses pertumbuhan
pondok pesantren berbeda-beda diberbagai tempat, baik bentuk, kegiatan
kurikulernya, proses maupun substansi yang diajarkan. Meskipun demikian, masih
ditemukan adanya pola yang sama. Persama pola tersebut oleh A. Mukti Ali yang
dikutip oleh Abd. Halim Sobahar dibedakan menjadi dua segi : segi fisik dan
segi non fisik. Segi fisik, terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada
pada setiap pondok pesantren, yaitu : a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru
dan panutan, b) santri sebagai peserta didik atau siswa, c) masjid sebagai
tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran,
dan peribadatan, dan d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Sedangkan
segi nonfisik, yaitu pengajian (pengajaran agama) yang disampaikan dengan
berbagai metode yang secara umum memiliki keseragaman, yakni standarisasi
kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan dan
perkembangan pokok pesantren.[13]
Pengajaran dititikberatkan pada pengajaran kitab-kitab Islam klasik, karena
tanpa pengajaran kitab-kitab Islam klasik, maka pondok pesantren dianggap bukan
lagi asli (indigenous).
Kiai, dalam kehidupan
pondok pesantren merupakan komponen yang paling esensial. Pertumbuhan suatu
pondok pesantren amat tergantung pada kemampuan, keilmuan, keterampilan yang
dimiliki kiai. Kiai juga dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pondok pesantren,
karena kiailah yang selalu memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan
kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses
pengembangan diri.
Dengan demikian, secara umum pesantren wajib memiliki lima elemen pokok
yakni:
a. Kyai, Ustadz, atau sebutan yang lain
b. Santri
c. Pondok atau asrama ; dan
d. Masjid atau Musholla
e. Pesantren wajib menyelenggarakan pengajian kitab kuning
sesuai dengan kekhasan masing-masing pesantren.[14]
Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus
yang dimiliki oleh pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang
lain. Selain itu ada pula ciri khusus pesantren yakni kepemimpinan yang
kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam.
Pondok pesantren secara
garis besar terdapat 2 kelompok yaitu : Pertama, pesantren salafi
yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren tradisional. Sistem Madrasah di terapkan untuk
memudahkan sistem sorogan yang di pakai dalam
lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan
umum. Kedua, pesantren modern yang telah memasukkan
pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan atau
membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren.[15]
Pondok pesantren
dikategorikan salafi jika memiliki komponen kiai, santri, masjid /
musholla, pengajian kitab-kitab Islam klasik, dan pondok / asrama dengan
kurikulum sepenuhnya agama dan disajikan secara sorogan, bandongan, atau
weton, dan belum mengadopsi sistem pendidikan pemerintah yang dikelola
oleh Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan Nasional. Kategori salafi
akan berubah jika terjadi kebijakan inovasi sistem pendidikan (baik secara
internal maupun internal) berupa dikembangkannya komponen baru : keterampilan,
atau sekolah umum, atau madrasah, atau lembaga pengembangan masyarakat.[16]
Pesantren salaf pada umumnya dikenal
dengan pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal semacam pesantren
modern ataupun sekolah. Kalaulah menyelenggarakan pendidikan
keagaman dengan sistem berkelas kurikulumnya berbeda
dari kurikulum model sekolah ataupun madrasah pada umumnya.
Amin Haedari, dkk
mengemukakan beberapa pola umum pendidikan Islam pesantren tradisional, yaitu :[17]
a.
Adanya hubungan akrab
antara kiai dan santri;
b.
Tradisi ketundukkan dan
kepatuhan seorang santri terhadap kiai;
c.
Pola hidup sederhana (zuhud)
d.
Kemandirian atau
independensi;
e.
Berkembangnya iklim dan
tradisi tolong-menolong serta suasana persaudaraan;
f.
Disiplin ketat;
g.
Berani menderita untuk
mencapai tujuan; dan
h.
Kehidupan dengan tingkat
religiositas yang tinggi.
Pola kehidupan pondok
pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca jiwa”, yang memuat “lima jiwa”
yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima
jiwa tersebut adalah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian,
jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang bertanggung jawab.[18]
Di pesantren “panca jiwa” benar-benar dijadikan fondasi utama sistem
pendidikan. Hal ini karena pembinaan karakter dan mentalitas santri di pondok
pesantren memang sangatlah diutamakan.[19]
Berhubungan dengan jiwa
keikhlasan, belajar dianggap sebagai ibadah, maka menimbulkan tiga akibat,
yaitu : 1) berlama-lama di pesantren tidak pernah dianggap sebagai suatau
masalah; 2) keberadaan ijazah sebagai tanda tamat belajar tidak terlalu
diperdulikan; dan 3) lahirnya budaya restu kiai yang terus bertahan hingga saat
ini.[20]
Dari segi kurikulum pesantren tradisional lebih mencolok terhadap penekanan
mengenai fikih, tasawuf dan ilmu alat. Dalam sistem pembelajarannya juga masih
mengikuti model-model terdahulu seperti bondongan, hafalan rutinan, sorogan,
dan metode yang lainnya.
Sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang
menonjol. Keempat ciri khusus itu adalah memberikan penjelasan agama versi
kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, memiliki teknik pengajaran unik yang
biasa dikenal dengan metode sorogan dan bandongan atau wetonan[21],
mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqah (lingkaran
peserta didik atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang
ustadz atau kiai dalam satu tempat).[22]
Adanya pesantren
diharapkan dapat menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu
kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan dan berakhlak mulia,
bermanfaat bagi masyarakat atau berkhitmat kepada masyarakat dengan jalan
menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti rasul yaitu menjadi pelayan
masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi) mampu
berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul
Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian Indonesia yang muhsin bukan sekedar muslim.[23] Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang berorientasi pada
tafaqquh fiddin dan membentuk kepribadian Muslim yang Kaffah.[24]
Jadi menurut hemat pemakalah pesantren salaf yakni
pesantren yang melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk belajar
agama Islam secara khusus tanpa
mengikutsertakan pendidikan umum di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan
biasanya mempelajari ajaran Islam dengan belajar menggunakan kitab-kitab kuning
atau kitab kuno (klasik), yang menggunakan metode tradisional seperti hafalan,
menerjemahkan kitab-kitab di dalam berlangsungnya proses
belajar mengajar. Dalam pesantren salaf peran seorang kyai atau ulama
sangat dominan, kyai menjadi sumber referensi utama dalam sistem pembelajaran
santri-santrinya. Pesantren tradisional (salafi) “merupakan salah satu
lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam mempersiapkan ulama
pada masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam memfilter dampak
negatif kehidupan modern”. Istilah pesantren tradisional digunakan untuk menunjuk
ciri dasar perkembangan pesantren yang masih bertahan pada corak generasi
pertama atau generasi salafi.
Pesantren salafiyah telah memperoleh penyetaraan melalui SKB 2 Menteri
(Menag dan Mendiknas) No : 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret
2000 yang memberi kesempatan kepada
pesantren salafiyah untuk ikut menyelenggarakan pendidikan dasar sebagai
upaya mempercepat pelaksanaan program wajib belajar dengan persyaratan tambahan mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA dalam kurikulumnya. Dengan demikian SKB
ini memiliki implikasi yang sangat besar untuk mempertahankan eksistensi
pendidikan pesantren.[25]
Dari pemaparan di atas
sangat jelas jika pendidikan yang dilaksanakan di pesantren tradisional lebih
menekankan pada pemberian ilmu-ilmu agama yang diharapkan dapat menjadi dasar
revolusi mental bangsa, membentuk akhlakul karimah dan pembentukan moral pada
setiap santri. Di pesantren ketadiban seorang santri kepada kiai juga sangat
dijunjung tinggi. Di sini terlihat jika pengembangan aspek afektif di pondok
pesantren tradisional sangatlah menonjol.
Namun dengan
perkembangan zaman saat ini diharapkan pondok peasntren dapat melakukan
pembaharuan sistem pengajaran dan pendidikan, agar dapat tetap diterima
masyarakat dan tidak terkesan kolot dan monoton. Dan dapat mengembangkan aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik dalam pembelajarannya pada siswa secara utuh.
Menurut A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip oleh Sutrisno, usaha pembaharuan
sistem pengajaran dan pendidikan Islam di pesantren dilakukan dengan cara
sebagai berikut. Pertama, mengubah kurikulum supaya berorientasi pada
kebutuhan masyarakat. Kedua, kurikulum ala wajib belajar hendaknya
digunakan sebagai patokan untuk pembaharuan tersebut. Ketiga, mutu para
guru hendaknya ditingkatkan dan prasarana-prasarana pendidikan juga
diperbaharui. Keempat, usaha pembaharuan itu hendaknya dilaksanakan
secara bertahap dengan didasarkan pada hasil-hasil penelitian seksama tentang
kebutuhan riil masyarakat yang sedang membangun.[26]
Ke depan, peluang
pengembangan komponen pondok pesantren semakin terbuka. Pondok pesantren yang
berupaya melakukan standarisasi pendidikan berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003,
maka sudah seharusnya jika pondok pesantren melakukan pembenahan-pembenahan
dalam semua aspek, tetapi harus dengan tiga syarat : pondok pesantren perlu
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pondok pesantren perlu merespons
harapan masyarakat, tetapi pondok pesantren harus tetap menjaga kekhasan pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam.[27]
Sedangkan mengenai arti
pesantren khalafiyah (modern) adalah pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian
kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi
kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan lokal. Pesantren
modern mengadopsi sistem madrasah atau sekolah yang memasukkan pelajaran umum
dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang
menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK
dan bahkan PT dalam lingkungannya.[28] Dengan
demikian pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atas
pesantren salaf, sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih
tua dari Indonesia itu sendiri, adalah ‘legenda hidup’ yang masih eksis hingga
hari ini.
Sedangkan menurut pemakalah pesantren modern itu dapat
diartikan bahwa pesantren modern adalah pesantren yang berusaha menyeimbangkan
pendidikan agama dengan pendidikan umum, metode yang digunakan tidak lagi
seperti dulu, materi yang diajarkanpun juga lebih banyak dibanding pesantren salaf.
Selain mengajarkan pendidikan agama Islam pesantren ini juga
mengajarkan pendidikan keterampilan, ilmu-ilmu umum dan juga
bahasa-bahasa asing yang dilakukan guna menghadapi perkembangan zaman yang
semakin canggih seperti sekarang ini. Dan didirikan pula sekolah-sekolah
diberbagai tingkat sebagai sarana prasarana sebagai penunjang dalam sistem
pembelajaran mereka.
Pemberian pendidikan
keterampilan ini dilandasi suatu pemikiran bahwa tidak semua santri akan
menjadi kiai, ustad atau ulama. Sebagai seorang biasa mereka harus memiliki
keterampilan untuk hidup di tengah masyarakat.
Kebijakan pendidikan
keterampilan di pondok pesantren modern, sungguh telah menghasilkan varian baru
kontruksi pondok pesantren yang lebih lengkap dari pondok pesantren salafi,
sehingga komponen pondok pesantren modern terdiri dari : kiai, santri, musholla
/ masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, pondok / asrama, pendidikan
keterampilan, pendidikan ilmu-ilmu umum dan bahasa asing.[29]
Sebagai penggagas
kurikulum keterampilan di pondok pesantren, A. Mukti Ali mengkritik kurikulum
pondok pesantren salafi yang sepenuhnya agama, terlalu mementingkan
kepandaian otak (hafalan) dan penonjolan kekuatan akhlak (tasawuf), tetapi
kurang memperhatikan keterampilan lainnya untuk bekal hidup dalam masyarakat.
Menurutnya, secara ideal seorang santri harus mampu menyerasikan anatra otak (head),
akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand).[30]
Pondok pesantren modern
senantiasa berusaha menampilkan model pendidikan Islam yang memiliki orientasi,
metode dan sistemnya mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tanpa
meninggalkan nilai-nilai tradisional yang luhur.
Satu hal yang perlu
diketahui adalah bahwa gerakan pembaharuan/modernisasi sistem pendidikan
pesantren yang dilakukan berupa penerapan sistem klasikal, kurikulum yang
berisi pelajaran agama dan umum, penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab
(Inggris dan Belanda), dan lain-lain.
Dalam pondok pesantren
modern memberlakukan kurikulum yang selalu ditinjau dan diperbaharui dari waktu
ke waktu dengan selalu mempertimbangkan perkembangan dan perubahan yang terjadi
di luar pondok. Perubahan bisa berlaku cepat jika menyangkut materi-materi yang
bersifat umum, tetapi terhadap materi-materi agama, maka perubahan dilakukan
dengan sangat hati-hati. Pembaharuan kurikulum tidak hanya dilakukan dengan
mengajarkan ilmu agama (revealed knowledge) di samping ilmu kawniyah
(acquaried knowledge) secara terpisah, tetapi bersifat integrasi,
artinya pengajaran ilmu kawniyah tidak terlepas dari dasar dan nilai
agama, dan sebaliknya pengajaran ilmu agama dikembangkan sejalan dengan
perkembangan keilmuan umum. Hal ini dapat dilihat dari bidang studi yang
diajarkan, misalnya : bahasa Arab, dirasah Islamiyah, keguruan, dan
psikologi pendidikan, bahasa Inggris, ilmu pasti (matematika, IPA, fisika, dan
biologi), Ilmu Pengetahuan Sosial, bahasa Indonesia, dan lain-lain.[31]
Kurikulum yang
diterapkan bersifat integrated, artinya semua potensi yang ada pada diri
anak didik dikembangkan secara komperhensif, sehingga diharapkan akan lahir
para alumni yang menjadi seorang ulama yang intelek pada masa yang akan datang.
Dengan demikian, seluruh ranah pendidikan yang meliputi kognitif, afektif dan
psikomotor dapat diwujudkan oleh pondok pesantren modern sebagai lembaga
pendidikan Islam.[32]
Selanjutnya pembaharuan
di bidang metode, adapun metode yang dapat diterapkan di pesantren modern
meliputi :
Pertama, metode
keteladanan (uswatun khasanah) melalui penanaman nilai keikhlasan
sebagai asas utama dari seluruh proses pendidikan pondok pesantren. Di samping
itu juga ditanamkan nilai-nilai perjuangan, pengorbanan, kesungguhan,
kesederhanaa, tanggung jawab, dan nilai-nilai kemuliaan lainnya kepada para
santri oleh para pengasuhnya.
Kedua, penciptaan
lingkungan (conditioning) yaitu dengan kewajiban santri dan guru tinggal
bersama dalam satu asrama, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan
proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus.
Ketiga, pengarahan
yang berisi tentang petunjuk mengerjakan sesuatu sehingga para santri dapat
mencapai hasil yang maksimal. Keempat, penugasan yang cukup variatf,
artinya tidak hanya meliputi aspek akademik saja tetapi organisasi,
administrasi, ekonomi, dan lain sebagainya. Kelima, pengajaran yang
menggunakan sistem klasikal dan penjenjangan dalam proses belajar mengajar.
Berbeda sekali dengan metode pengajaran
yang umumnya digunakan di pesantren tradisional, yaitu metode halaqah.
Keenam, pembiasaan yang disertai dengan penerapan disiplin yang tinggi.[33]
Sehingga bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam
membentuk perilaku santri, yakni 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2)
Latihan dan Pembiasaan; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah);
5) Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib).
Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat
disimpulkan bahwa pesantren tradisional dan modern adalah lembaga pendidikan
Islam dibawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal maupun non
formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui
pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman
dalam berprilaku keseharian santri.
2.
Pendidikan di Sekolah Umum
Orientasi keilmuan di pendidikan
formal dinilai berorientasi pada prestasi akademik, kerja, dan lebih
mengedepankan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sekolah umum inilah anak
menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya
menitikberatkan pada persoalan umum seperti ilmu matematika, bahasa, ilmu
pengetahuan alam dan sosial.
Aspek-aspek yang harus
ada di dalam pendidikan sekolah umum adalah sebagai berikut :[34]
a.
Kurikulum
1)
Memiliki kurikulum tetap dan
mengikuti perkembangan serta menyesuaikan dengan standar pendidikan Nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2)
Memiliki buku ajar yang permanent
untuk proses belajar mengajar yang efektif.
3)
Satuan pelajaran yang sudah ditetapka
menjadi acuan dalam proses belajar mengajar
b.
Metode Pengajaran
1)
Banyak metode yang dikembangkan dalam
proses belajar mengajar diantaranya ceramah, bermain, tanya jawab dan lain-lain yang
disesuaikan dengan bidang studinya.
2)
Ada sebagian sekolah mengadakan
kegiatan belajar mengajar tidak di dalam kelas namun juga di luar ruang kelas.
c.
Organisasi
1)
Terdiri dari Kepala Sekolah, Pembantu Kepala
Sekolah yang berjumlah 4 (Wakil Kepala Sekolah), Wali Kelas, Dewan Guru, Tenaga
Kependidikan, Organisasi Siswa, Siswa.
2)
Struktur organisasi yang solid.
d.
Lingkungan Belajar
1)
Proses Belajar Mengajar
berlangsung selama 7 Jam min atau max 9 jam dalam sehari.
2)
Dilakukan di dalam kelas dan di
luar kelas, termasuk ruang praktikum.
e.
Komponen Warga Belajar
1) Guru yang tetap
2) Peserta Didik
3) Sekolah berjenjang
4) Wali Murid
Kata sekolah, yang
secara harfiah identik dengan sekolah formal, yang lebih mengedepankan
pengembangan aspek kognitif siswa dengan pemberian ilmu-ilmu pengetahuan,
lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam
meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, sekolah dalam
kegiatan pembelajarannya mulai memberi ruang lebih terhadap mata pelajaran agama
dan muatan lokal.
Diharapkan dengan
pemberian materi-materi ilmu umum, ilmu agama dan keterampilan melalui muatan
lokal, dapat membuat pertumbuhan pengetahuan, pembentukan moral dan
keterampilan yang dibutuhkan masyarakat dapat diperoleh para siswa secara utuh.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 3 dinyatakan : “pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.[35]
Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi
atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi. Hal ini
mendorong perlunya peningkatan kualitas pendidikan melalui pengembangan-pengembangan
kurikulum, sarana prasarana sekolah, pengembangan teknologi informasi yang
digunakan dalam lembaga sekolah, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidik dalam perspektif Islam mencakup tiga konsep, yaitu :
1. Konsep tarbiyah
: proses pengajaran untuk mengembangkan, menumbuhkan yang mencakup kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
2. Konsep ta’lim
: proses pendidikan yang mengarah pada aspek kognitif, dengan cara
mengembangkan kemampuan, keterampilan peserta didik.
3. Konsep ta’dib : Pendidikan
yang mengedepankan aspek afektif, agar dapat membentuk pribadi manusia beriman
dan beramal shaleh.
Ta’dib terbagi menjadi 4 macam yaitu :
a. Ta’dib adab
al-haqq
b. Ta’dib adab
al-khidmah
c. Ta’dib adab
al-syari’ah
d. Ta’dib adab
al-shuhbah.
Pondok pesantren tradisional, modern dan sekolah adalah instansi yang
mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing
mempunyai ciri khas. Pada intinya semua lembaga
pendidikan tersebut dituntut untuk dapat mengembangan aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik pada peserta didik secara utuh.
B. Saran
Dalam suatu pendidikan Islam peserta
didik harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik dan harus adanya keseimbangan antara ketiga ranah tersebut, agar
terwujudnya sosok pribadi yang bertaqwa dan berakal shaleh dan agar menjalani
insan kamil.
DAFTAR PUSTAKA
DEPAG. Pedoman Pondok Pesantren. Jakarta: Direk.Pen.Diniyah dan PonPes. 2002.
Dhofier, Zamasyari. Tradisi Pesantren. Jakarta:LP3ES. 1994.
Haedari,
Amin, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta
: IRD Press. 2004.
Hakim,
Lukman. Perbandingan Model Pendidikan Sekolah Umum dan Pesantren. (http://pandidikan.blogspot.com/2010/11/perbandingan-model-pendidikan-sekolah.html), diakses pada tanggal
12 November 2014 pada pukul 15.30.
Halim, Mahmud, Ali Abdul. Pendidikan Ruhani. Jakarta : Gema Insani Press. 2000.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2003.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS. 1994.
Masyhud, Sulthon. Khusnur Ridho. Manajemen Pondok
Pesantren. Jakarta : Diva Pustaka. 2003.
Mujib, Abdul. Ilmu Pebdidikan Islam. Jakarta :
Kencana Prenada Media. 2006.
Nasir, Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005.
Nizar,
Samsul, Muhammad Syaifudin. Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam.
Jakarta : Kalam Mulia. 2010.
Soebahar, Abd.
Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada. 2013.
Suharto, Babun. Dari Pesantren Untuk Umat. Surabaya : IMTIYAS. 2011.
Sutrisno. Pembaharuan
dan Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta : Fadilatama. 2011.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perpektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1984.
Wahyudi, Jindar M. Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta : Apeiron
Philotes. 2006.
[4] Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi
Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hlm. 47
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 31
[13] Abd. Halim
Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.37.
[17] Amin Haedari,
dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta
: IRD Press, 2004), hlm. 15.
[21] Sorogan merupakan metode pengajaran
individual yang dilaksanakan di pesantren. Dalam aplikasinya, metode ini
terbagi menjadi dua cara. Pertama, bagi santri pemula, mereka mendatangi
ustadz atau kiai yang akan membacakan kitab tertentu. Kedua, bagi santri
senior, mereka mendatangi senior, mereka mendatangi seorang ustadz atau kiai
supaya sang ustadz atau kiai mendengarkan sekaligus memberikan koreksi terhadap
bacaan kitab mereka. Adapun bandongan atau wetonan adalah metode
pengajaran kolektif, di mana santri secara bersama-sama mendengarkan seorang
ustadz atau kiai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab
berbahasa Arab tertentu.
[25] Sulthon Masyhud, Khusnur Ridho, Manajemen
Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hlm. 7
[26] Sutrisno, Pembaharuan
dan Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fadilatama, 2011), hlm.
61.
[31] Samsul Nizar,
Muhammad Syaifudin, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta
: Kalam Mulia, 2010), hlm. 205.
[34] Lukman Hakim, Perbandingan Model
Pendidikan Sekolah Umum dan Pesantren, (http://pandidikan.blogspot.com/2010/11/perbandingan-model-pendidikan-sekolah.html), diakses pada tanggal
12 November 2014 pada pukul 15.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar