Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

Filsafat Pendidikan Islam



KONSEP TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB (DESKRIPSI PERILAKU
PENDIDIKAN DI PESANTREN TRADISIONAL, PESANTREN
MODERN DAN PENDIDIKAN FORMAL)

                                                                           BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan sarana pertumbuhan yang mempersiapkan  dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.[1] Untuk membentuk disiplin hidup maka perlu adanya Pendidikan Islam. Yang mengembangkan kemampuan individu secara maksimal dan positif. Dalam pendidikan Islam itu sendiri terdapat konsep-konsep dalam mengembangkan kemampuan individu yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Dengan adanya konsep-konsep tersebut maka terealisasikannya pendidikan dan tujuan pendidikan.
Konsep ta’dib adalah suatu pendidikan yang lebih mengarah pada aspek afektif. Konsep ta’lim adalah proses pengajaran yang lebih mengarah pada aspek kognitif. Konsep tarbiyah adalah proses pengajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan peserta didik, yang mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik.
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan yang dapat mengembangkan ketiga aspek tersebut, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu, memberdayakan masyarakat dan mengembangkan peserta didik sesuai dengan konsep-konsep pendidikan. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren tradisional, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur pesantren modern.
Pondok pesantren tradisional, modern, dan sekolah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Sekolah umum lebih mengedepakan pengembangan aspek kognitif, pondok pesantren tradisional lebih mengedepankan pengembangan aspek afektifnya, sedangkan pondok pesantren modern mengembangkan ketiga aspek baik itu kognitif dan afektif. Namun dengan berkembangnya zaman, ketiga instansi pendidikan tersebut seharusnya dapat mengedepankan pengembangan ketiga aspek tersebut baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Berangkat dari sini pemakalah mencoba sedikit membahas terkait dengan gambaran perilaku pendidikan beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni pondok pesantren tradisional, modern dan sekolah umum guna memahami fungsi, peran dan perbedaan penggunaan konsep tarbiyah, ta’lim dan ta’dib diantara ketiga lembaga tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan tarbiyah, ta’lim dan ta’dib?
2.      Bagimana deskripsi perilaku pendidikan di pondok pesantren tradisional, modern dan sekolah umum ?


BAB II
PEMBAHASAN

Dalam hal pendidikan, bersandar pada Al-Qur’an dan hadist dikenal beberapa istilah yang dianggap mewakili pengertian pendidikan. Hal ini disebabkan istilah pendidikan tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sebenarnya, banyak istilah yang dianggap mendekati makna pendidikan, diantaranya Al Tansyi’ah, Al Islah, Al Ta’dib atau Al Adab, Al Tahzib, Al Tahir, Al Tazkiyyah, Al Ta’lim, Al Siyasah, Al Nash wa Al Irsyad dan Al Akhlaq bahkan sumber lain menambahkan dengan istilah at Tabyin dan at Tadris.[2] Namun, dalam persidangan dunia pertama mengenai pendidikan Islam pada tahun 1977, menegaskan bahwa pendidikan didefinisikan sebagai Al Tarbiyah, Al Ta’lim dan Al Ta’dib secara bersama-sama.
Tarbiyah, ta’lim dan ta’dib merupakan konsep dasar dalam pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya ketiga konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
A.    Tarbiyah
            Dalam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebakaan, yaitu :[3]
1.      Rabba, yarbu : yang memiliki makna tumbuh, bertambah, berkembang.
2.      Rabbi, yarba : yang memiliki makna tumbuh dan menjadi besar atau dewasa.
3.      Rabba, yarubbu : yang memiliki makna memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara.
Menurut Musthafa Al-Ghalayani, at-tarbiyah adalah penanaman etika yang mulia pada anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia memiliki potensi dan kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah airnya.[4]
Tarbiyah (pendidikan) merupakan transformasi pengetahuan dari satu generasi ke generasi, atau dari orang tua kepada anaknya. Transformasi pengetahuan ini dilakukan dengan penuh keseriusan agar peserta didik memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur. Dengan terbentuknya individu seperti itu maka suatu pendidikan dapat terealisasikan tujuannya.
            Dalam pendidikan (tarbiyah) ini mencakup ranah kognitif, afektif, psikomotorik, ketiga ranah tersebut harus dimiliki peserta didik, agar apa yang jadi visi misi lembaga institusi tertentu bisa terwujud tujuan pendidikannya, untuk itu maka pendidik dalam mendidik harus memiliki rasa keseriusan, keikhlasan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Agar peserta didik menjadi sosok yang diharapkan dan bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga masyarakat.
            Musthafa al-Maraghi membagi aktivitas al-tarbiyah menjadi dua macam:[5]
1.      Tarbiyah khalaqiyyah, yaitu pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan jasmani manusia, agar dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan rohaninya.
2.      Tarbiyah diniyah tahdzibiyyah, pendidikan yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan akhlak dan agama manusia.
Dalam pengertian tarbiyah ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak sekedar menitik beratkan pada kebutuhan jasmani, tetapi diperlukan juga pengembangan kebutuhan psikis, sosial, etika dan agama untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam yang dilakukan harus mencakup proses transformasi kebudayaan, nilai dan ilmu pengetahuan dan aktualisasi terhadap seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik, agar mencetak peserta didik ke arah insan kamil, yaitu insan sempurna yang tahu dan sadar akan diri dan lingkungan.


B.     Ta’lim
            Kata ta’lim berasal dari kata dasar “allama” yang berarti mengajar, mengetahui.[6] Pengajaran (ta’lim) lebih mengarah pada aspek kognitif, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim).
Al-ta'lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah al-aqliyah yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain kognitif. Hal ini dapat dipahami dari pemakaian kata ‘allama dalam surat Al-Baqarah, 2:31. Kata ‘allama dikaitkan dengan kata ‘aradha yang berimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahap evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yaitu penyebutan nama-nama benda yang diajarkan, belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini memberi isyarat bahwa al-ta'lim sebagai masdar dari ‘allama hanya bersifat khusus dibanding dengan al-tarbiyah.
            Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan : “Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”.[7] Definisi ta’lim menurut Abdul Fattah Jalal, yaitu sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah, sehingga penyucian diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.[8] Mengacu pada definisi ini, ta’lim berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi “tahu” seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78. 
  والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

            Dari pengertian di atas, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik, sebagai upaya untuk mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia lebih maju dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan karena seseorang dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia dibekali dengan berbagai potensi untuk mengembangkan keterampilannya tersebut agar dapat memahami ilmu serta memanfaatkannya dalam kehidupan.
            Pengajaran mencakup teoritis dan praktis sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan menjauhi kemahdaratan. Pengajaran itu juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana), misalnya guru matematika akan berusaha mengajarkan al-hikmah matematika, yaitu pengajaran nilai kepastian dan ketepatan dalam mengambil sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi oleh pertimbangan yang rasional dan perhitungan yang matang.

C.    Ta’dib
            Kata ta’dib secara etimologis adalah bentuk masdar yang berasal dari kata “addaba”, yang artinya membuat makanan, melatih dengan akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik.[9]
            Menurut al-Naqaid, al-Attas, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.[10]
Dalam pengertian ta’dib di atas bahwasannya pendidikan dalam perspektif Islam adalah usaha agar orang mengenali dan mengetahui sesuatu sistem pengajaran tertentu. Seperti halnya dengan cara mengajar, dengan mengajar tersebut individu mampu untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, misalnya seorang pendidik memberikan teladan atau contoh yang baik agar ditiru, memberikan pujian, dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan, dengan adanya konsep ta’dib tersebut maka terbentuklah seorang individu yang muslim dan berakhlak. Pendidikan ini dalam sistem pendidikan dinilai sangat penting fungsinya, karena bagaimanapun sederhananya komunitas suatu masyarakat pasti membutuhkan atau memerlukan pendidikan ini terutama dalam pendidikan akhlak. Dari usaha pembinaan dan pengembangan ini diharapkan manusia mampu berperan sebagai pengabdi Allah dengan ketaatan yang optimal dalam setiap aktivitas kehidupannya, sehingga terbentuk akhlak yang mulia yang dimiliki serta mampu memberi manfaat bagi kehidupan alam dan lingkungannya. Jadi terwujudlah sosok manusia yang beriman dan beramal shaleh.
            Dalam konsep ta’dib mengandung tiga unsur, yaitu : pengembangan iman, pengambangan ilmu, pengembangan amal.[11] Hubungan antara ketiga sangat penting karena untuk tujuan pendidikan juga. Iman merupakan suatu pengakuan terhadap apa yang diciptakan Allah di dunia ini yang direalisasikan dengan ilmu, dan konsekuensinya  adalah amal. Ilmu harus dilandasi dengan iman, dengan iman maka ilmu harus mampu membentuk amal karena ilmu itu harus diamalkan kepada orang yang belum mengetahuinya, dengan terealisasikannya unsur tersebut maka akan terwujudnya tujuan pendidikan.
            Dalam sosok pribadi manusia beriman dan beramal shaleh tersebut dapat digambarkan bahwa mereka memiliki jati diri sebagai pengabdi Allah, serta ikut dalam berkreasi dan berinovasi guna kepentingan kesejahteraan hidup bersama. Atas dasar keimanan, mampu memelihara hubungan dengan Allah dan antara dirinya dengan sesama makhluk Allah, sedangkan realisasi dan keimanan itu terlihat dari kemampuan untuk senantiasa berkreasi dan berinovasi yang bernilai bagi kehidupan bersama.
            Ta’dib sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam :[12]
1.      Ta’dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran dan dengannya segala sesuatu diciptakan.
2.      Ta’dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian.
3.      Ta’dib adab al-syari’ah, pendidikan tata krama yang tata caranya telah digariskan oleh Allah memalui wahyu.
4.      Ta’dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan saling tolong menolong.
Konsep ta’dib dalam pendidikan menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin terlihatnya gejala keruntuhan akhlak di kalangan umat Islam bukan dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, tetapi karena mereka telah kehilangan adab. Tindak kejahatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan dan hal lain justru banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang mengenyam proses pendidikan. Proses bertambahnya ilmu pengetahuan seakan-akan tidak berbanding lurus bahkan tidak berhubungan dengan peningkatan akhlak yang mulia atau keimanan para mudarist.

D.    Gambaran Pendidikan di Pondok Pesantren Tradisional, Modern dan Sekolah Umum
1.      Pendidikan di Pesantren Tradisional dan Pesantren Modern
Proses pertumbuhan pondok pesantren berbeda-beda diberbagai tempat, baik bentuk, kegiatan kurikulernya, proses maupun substansi yang diajarkan. Meskipun demikian, masih ditemukan adanya pola yang sama. Persama pola tersebut oleh A. Mukti Ali yang dikutip oleh Abd. Halim Sobahar dibedakan menjadi dua segi : segi fisik dan segi non fisik. Segi fisik, terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada setiap pondok pesantren, yaitu : a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru dan panutan, b) santri sebagai peserta didik atau siswa, c) masjid sebagai tempat  penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Sedangkan segi nonfisik, yaitu pengajian (pengajaran agama) yang disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum memiliki keseragaman, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan dan perkembangan pokok pesantren.[13] Pengajaran dititikberatkan pada pengajaran kitab-kitab Islam klasik, karena tanpa pengajaran kitab-kitab Islam klasik, maka pondok pesantren dianggap bukan lagi asli (indigenous).
Kiai, dalam kehidupan pondok pesantren merupakan komponen yang paling esensial. Pertumbuhan suatu pondok pesantren amat tergantung pada kemampuan, keilmuan, keterampilan yang dimiliki kiai. Kiai juga dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pondok pesantren, karena kiailah yang selalu memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri.
Dengan demikian, secara umum  pesantren wajib memiliki lima elemen pokok  yakni:
a.       Kyai, Ustadz, atau sebutan yang lain
b.      Santri
c.       Pondok atau asrama ; dan
d.      Masjid atau Musholla
e.       Pesantren wajib menyelenggarakan pengajian kitab kuning sesuai dengan kekhasan masing-masing pesantren.[14]
Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki oleh pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain. Selain itu ada pula ciri khusus pesantren yakni kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam.
Pondok pesantren secara garis besar terdapat 2 kelompok yaitu : Pertama, pesantren salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren tradisional. Sistem Madrasah di terapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang di pakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Kedua, pesantren modern yang telah memasukkan pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren.[15]
Pondok pesantren dikategorikan salafi jika memiliki komponen kiai, santri, masjid / musholla, pengajian kitab-kitab Islam klasik, dan pondok / asrama dengan kurikulum sepenuhnya agama dan disajikan secara sorogan, bandongan, atau weton, dan belum mengadopsi sistem pendidikan pemerintah yang dikelola oleh Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan Nasional. Kategori salafi akan berubah jika terjadi kebijakan inovasi sistem pendidikan (baik secara internal maupun internal) berupa dikembangkannya komponen baru : keterampilan, atau sekolah umum, atau madrasah, atau lembaga pengembangan masyarakat.[16]
Pesantren salaf pada umumnya dikenal dengan pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal semacam pesantren modern ataupun sekolah. Kalaulah menyelenggarakan pendidikan keagaman dengan sistem berkelas kurikulumnya berbeda dari kurikulum model sekolah ataupun madrasah pada umumnya.
Amin Haedari, dkk mengemukakan beberapa pola umum pendidikan Islam pesantren tradisional, yaitu :[17]
a.       Adanya hubungan akrab antara kiai dan santri;
b.      Tradisi ketundukkan dan kepatuhan seorang santri terhadap kiai;
c.       Pola hidup sederhana (zuhud)
d.      Kemandirian atau independensi;
e.       Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong serta suasana persaudaraan;
f.       Disiplin ketat;
g.      Berani menderita untuk mencapai tujuan; dan
h.      Kehidupan dengan tingkat religiositas yang tinggi.
Pola kehidupan pondok pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca jiwa”, yang memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa tersebut adalah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang bertanggung jawab.[18] Di pesantren “panca jiwa” benar-benar dijadikan fondasi utama sistem pendidikan. Hal ini karena pembinaan karakter dan mentalitas santri di pondok pesantren memang sangatlah diutamakan.[19]
Berhubungan dengan jiwa keikhlasan, belajar dianggap sebagai ibadah, maka menimbulkan tiga akibat, yaitu : 1) berlama-lama di pesantren tidak pernah dianggap sebagai suatau masalah; 2) keberadaan ijazah sebagai tanda tamat belajar tidak terlalu diperdulikan; dan 3) lahirnya budaya restu kiai yang terus bertahan hingga saat ini.[20]
Dari segi kurikulum pesantren tradisional lebih mencolok terhadap penekanan mengenai fikih, tasawuf dan ilmu alat. Dalam sistem pembelajarannya juga masih mengikuti model-model terdahulu seperti bondongan, hafalan rutinan, sorogan, dan metode yang lainnya.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Keempat ciri khusus itu adalah memberikan penjelasan agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, memiliki teknik pengajaran unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan dan bandongan atau wetonan[21], mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqah (lingkaran peserta didik atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai dalam satu tempat).[22]
Adanya pesantren diharapkan dapat menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan dan berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhitmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi) mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia yang muhsin bukan sekedar muslim.[23] Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang berorientasi pada tafaqquh fiddin dan membentuk kepribadian Muslim yang Kaffah.[24]
Jadi menurut hemat pemakalah pesantren salaf yakni pesantren yang melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk belajar agama Islam secara khusus tanpa mengikutsertakan pendidikan umum di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ajaran Islam dengan belajar menggunakan kitab-kitab kuning atau kitab kuno (klasik), yang menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-kitab di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Dalam pesantren salaf peran seorang kyai atau ulama sangat dominan, kyai menjadi sumber referensi utama dalam sistem pembelajaran santri-santrinya. Pesantren tradisional (salafi) “merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam mempersiapkan ulama pada masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam memfilter dampak negatif kehidupan modern”. Istilah pesantren tradisional digunakan untuk menunjuk ciri dasar perkembangan pesantren yang masih bertahan pada corak generasi pertama atau generasi salafi.
Pesantren salafiyah telah memperoleh penyetaraan melalui SKB 2 Menteri (Menag dan Mendiknas) No : 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret 2000 yang memberi kesempatan kepada pesantren salafiyah untuk ikut menyelenggarakan pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan program wajib belajar dengan persyaratan tambahan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA dalam kurikulumnya. Dengan demikian SKB ini memiliki implikasi yang sangat besar untuk mempertahankan eksistensi pendidikan pesantren.[25]
Dari pemaparan di atas sangat jelas jika pendidikan yang dilaksanakan di pesantren tradisional lebih menekankan pada pemberian ilmu-ilmu agama yang diharapkan dapat menjadi dasar revolusi mental bangsa, membentuk akhlakul karimah dan pembentukan moral pada setiap santri. Di pesantren ketadiban seorang santri kepada kiai juga sangat dijunjung tinggi. Di sini terlihat jika pengembangan aspek afektif di pondok pesantren tradisional sangatlah menonjol.
Namun dengan perkembangan zaman saat ini diharapkan pondok peasntren dapat melakukan pembaharuan sistem pengajaran dan pendidikan, agar dapat tetap diterima masyarakat dan tidak terkesan kolot dan monoton. Dan dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam pembelajarannya pada siswa secara utuh. Menurut A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip oleh Sutrisno, usaha pembaharuan sistem pengajaran dan pendidikan Islam di pesantren dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, mengubah kurikulum supaya berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Kedua, kurikulum ala wajib belajar hendaknya digunakan sebagai patokan untuk pembaharuan tersebut. Ketiga, mutu para guru hendaknya ditingkatkan dan prasarana-prasarana pendidikan juga diperbaharui. Keempat, usaha pembaharuan itu hendaknya dilaksanakan secara bertahap dengan didasarkan pada hasil-hasil penelitian seksama tentang kebutuhan riil masyarakat yang sedang membangun.[26]
Ke depan, peluang pengembangan komponen pondok pesantren semakin terbuka. Pondok pesantren yang berupaya melakukan standarisasi pendidikan berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003, maka sudah seharusnya jika pondok pesantren melakukan pembenahan-pembenahan dalam semua aspek, tetapi harus dengan tiga syarat : pondok pesantren perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pondok pesantren perlu merespons harapan masyarakat, tetapi pondok pesantren harus tetap menjaga kekhasan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam.[27]
Sedangkan mengenai arti pesantren khalafiyah (modern) adalah pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan lokal. Pesantren modern mengadopsi sistem madrasah atau sekolah yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya.[28] Dengan demikian pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atas pesantren salaf, sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri, adalah ‘legenda hidup’ yang masih eksis hingga hari ini.
Sedangkan menurut pemakalah pesantren modern itu dapat diartikan bahwa pesantren modern adalah pesantren yang berusaha menyeimbangkan pendidikan agama dengan pendidikan umum, metode yang digunakan tidak lagi seperti dulu, materi yang diajarkanpun juga lebih banyak dibanding pesantren salaf. Selain mengajarkan pendidikan agama Islam pesantren ini juga mengajarkan pendidikan keterampilan, ilmu-ilmu umum dan juga bahasa-bahasa asing yang dilakukan guna menghadapi perkembangan zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini. Dan didirikan pula sekolah-sekolah diberbagai tingkat sebagai sarana prasarana sebagai penunjang dalam sistem pembelajaran mereka.
Pemberian pendidikan keterampilan ini dilandasi suatu pemikiran bahwa tidak semua santri akan menjadi kiai, ustad atau ulama. Sebagai seorang biasa mereka harus memiliki keterampilan untuk hidup di tengah masyarakat.
Kebijakan pendidikan keterampilan di pondok pesantren modern, sungguh telah menghasilkan varian baru kontruksi pondok pesantren yang lebih lengkap dari pondok pesantren salafi, sehingga komponen pondok pesantren modern terdiri dari : kiai, santri, musholla / masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, pondok / asrama, pendidikan keterampilan, pendidikan ilmu-ilmu umum dan bahasa asing.[29]
Sebagai penggagas kurikulum keterampilan di pondok pesantren, A. Mukti Ali mengkritik kurikulum pondok pesantren salafi yang sepenuhnya agama, terlalu mementingkan kepandaian otak (hafalan) dan penonjolan kekuatan akhlak (tasawuf), tetapi kurang memperhatikan keterampilan lainnya untuk bekal hidup dalam masyarakat. Menurutnya, secara ideal seorang santri harus mampu menyerasikan anatra otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand).[30]
Pondok pesantren modern senantiasa berusaha menampilkan model pendidikan Islam yang memiliki orientasi, metode dan sistemnya mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional yang luhur.
Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa gerakan pembaharuan/modernisasi sistem pendidikan pesantren yang dilakukan berupa penerapan sistem klasikal, kurikulum yang berisi pelajaran agama dan umum, penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab (Inggris dan Belanda), dan lain-lain.
Dalam pondok pesantren modern memberlakukan kurikulum yang selalu ditinjau dan diperbaharui dari waktu ke waktu dengan selalu mempertimbangkan perkembangan dan perubahan yang terjadi di luar pondok. Perubahan bisa berlaku cepat jika menyangkut materi-materi yang bersifat umum, tetapi terhadap materi-materi agama, maka perubahan dilakukan dengan sangat hati-hati. Pembaharuan kurikulum tidak hanya dilakukan dengan mengajarkan ilmu agama (revealed knowledge) di samping ilmu kawniyah (acquaried knowledge) secara terpisah, tetapi bersifat integrasi, artinya pengajaran ilmu kawniyah tidak terlepas dari dasar dan nilai agama, dan sebaliknya pengajaran ilmu agama dikembangkan sejalan dengan perkembangan keilmuan umum. Hal ini dapat dilihat dari bidang studi yang diajarkan, misalnya : bahasa Arab, dirasah Islamiyah, keguruan, dan psikologi pendidikan, bahasa Inggris, ilmu pasti (matematika, IPA, fisika, dan biologi), Ilmu Pengetahuan Sosial, bahasa Indonesia, dan lain-lain.[31]
Kurikulum yang diterapkan bersifat integrated, artinya semua potensi yang ada pada diri anak didik dikembangkan secara komperhensif, sehingga diharapkan akan lahir para alumni yang menjadi seorang ulama yang intelek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seluruh ranah pendidikan yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotor dapat diwujudkan oleh pondok pesantren modern sebagai lembaga pendidikan Islam.[32]
Selanjutnya pembaharuan di bidang metode, adapun metode yang dapat diterapkan di pesantren modern meliputi :
Pertama, metode keteladanan (uswatun khasanah) melalui penanaman nilai keikhlasan sebagai asas utama dari seluruh proses pendidikan pondok pesantren. Di samping itu juga ditanamkan nilai-nilai perjuangan, pengorbanan, kesungguhan, kesederhanaa, tanggung jawab, dan nilai-nilai kemuliaan lainnya kepada para santri oleh para pengasuhnya.
Kedua, penciptaan lingkungan (conditioning) yaitu dengan kewajiban santri dan guru tinggal bersama dalam satu asrama, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dan proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus.
Ketiga, pengarahan yang berisi tentang petunjuk mengerjakan sesuatu sehingga para santri dapat mencapai hasil yang maksimal. Keempat, penugasan yang cukup variatf, artinya tidak hanya meliputi aspek akademik saja tetapi organisasi, administrasi, ekonomi, dan lain sebagainya. Kelima, pengajaran yang menggunakan sistem klasikal dan penjenjangan dalam proses belajar mengajar. Berbeda sekali dengan metode pengajaran  yang umumnya digunakan di pesantren tradisional, yaitu metode halaqah. Keenam, pembiasaan yang disertai dengan penerapan disiplin yang tinggi.[33]
Sehingga bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni 1) Metode Keteladanan (Uswah Hasanah); 2) Latihan dan Pembiasaan; 3) Mengambil Pelajaran (ibrah); 4) Nasehat (mauidzah); 5) Kedisiplinan; 6) Pujian dan Hukuman (targhib wa tahzib).
Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren tradisional dan modern adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

2.      Pendidikan di Sekolah Umum
Orientasi keilmuan di pendidikan formal dinilai berorientasi pada prestasi akademik, kerja, dan lebih mengedepankan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sekolah umum inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan umum seperti ilmu matematika, bahasa, ilmu pengetahuan alam dan sosial.
Aspek-aspek yang harus ada di dalam pendidikan sekolah umum adalah sebagai berikut :[34]
a.       Kurikulum
1)      Memiliki kurikulum tetap dan mengikuti perkembangan serta menyesuaikan dengan standar pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2)      Memiliki buku ajar yang permanent untuk proses belajar mengajar yang efektif.
3)      Satuan pelajaran yang sudah ditetapka menjadi acuan dalam proses belajar mengajar
b.      Metode Pengajaran
1)      Banyak metode yang dikembangkan dalam proses belajar mengajar diantaranya ceramah, bermain, tanya jawab dan lain-lain yang disesuaikan dengan bidang studinya.
2)      Ada sebagian sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar tidak di dalam kelas namun juga di luar ruang kelas.
c.       Organisasi
1)      Terdiri dari Kepala Sekolah, Pembantu Kepala Sekolah yang berjumlah 4 (Wakil Kepala Sekolah), Wali Kelas, Dewan Guru, Tenaga Kependidikan, Organisasi Siswa, Siswa.
2)      Struktur organisasi yang solid.
d.      Lingkungan Belajar
1)      Proses Belajar Mengajar berlangsung selama 7 Jam min atau max 9 jam dalam sehari.
2)      Dilakukan di dalam kelas dan di luar kelas, termasuk ruang praktikum.
e.       Komponen Warga Belajar
1) Guru yang tetap
2) Peserta Didik
3) Sekolah berjenjang
4) Wali Murid
Kata sekolah, yang secara harfiah identik dengan sekolah formal, yang lebih mengedepankan pengembangan aspek kognitif siswa dengan pemberian ilmu-ilmu pengetahuan, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, sekolah dalam kegiatan pembelajarannya mulai memberi ruang lebih terhadap mata pelajaran agama dan muatan lokal.
Diharapkan dengan pemberian materi-materi ilmu umum, ilmu agama dan keterampilan melalui muatan lokal, dapat membuat pertumbuhan pengetahuan, pembentukan moral dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat dapat diperoleh para siswa secara utuh.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 3 dinyatakan : “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[35]
Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi. Hal ini mendorong perlunya peningkatan kualitas pendidikan melalui pengembangan-pengembangan kurikulum, sarana prasarana sekolah, pengembangan teknologi informasi yang digunakan dalam lembaga sekolah, dan lain sebagainya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidik dalam perspektif Islam mencakup tiga konsep, yaitu :
1.      Konsep tarbiyah : proses pengajaran untuk mengembangkan, menumbuhkan yang mencakup kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2.      Konsep ta’lim : proses pendidikan yang mengarah pada aspek kognitif, dengan cara mengembangkan kemampuan, keterampilan peserta didik.
3.      Konsep ta’dib : Pendidikan yang mengedepankan aspek afektif, agar dapat membentuk pribadi manusia beriman dan beramal shaleh.
Ta’dib terbagi menjadi 4 macam yaitu :
a.      Ta’dib adab al-haqq
b.      Ta’dib adab al-khidmah
c.       Ta’dib adab al-syari’ah
d.      Ta’dib adab al-shuhbah.
Pondok pesantren tradisional, modern dan sekolah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Pada intinya semua lembaga pendidikan tersebut dituntut untuk dapat mengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pada peserta didik secara utuh.

B.     Saran
            Dalam suatu pendidikan Islam peserta didik harus mampu mengembangkan kemampuannya dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan harus adanya keseimbangan antara ketiga ranah tersebut, agar terwujudnya sosok pribadi yang bertaqwa dan berakal shaleh dan agar menjalani insan kamil.


DAFTAR PUSTAKA


DEPAG. Pedoman Pondok Pesantren. Jakarta: Direk.Pen.Diniyah dan PonPes. 2002.
Dhofier, Zamasyari. Tradisi Pesantren. Jakarta:LP3ES. 1994.
Haedari, Amin, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta : IRD Press. 2004.
Hakim, Lukman. Perbandingan Model Pendidikan Sekolah Umum dan Pesantren. (http://pandidikan.blogspot.com/2010/11/perbandingan-model-pendidikan-sekolah.html), diakses pada tanggal 12 November 2014 pada pukul 15.30.
Halim, Mahmud, Ali Abdul. Pendidikan Ruhani. Jakarta : Gema Insani Press. 2000.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2003.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS. 1994.
Masyhud, Sulthon. Khusnur Ridho. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta : Diva Pustaka. 2003.
Mujib, Abdul. Ilmu Pebdidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media. 2006.
Nasir, Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005.
Nizar, Samsul, Muhammad Syaifudin. Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. 2010.
Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2013.
Suharto, Babun. Dari Pesantren Untuk Umat. Surabaya : IMTIYAS. 2011.
Sutrisno. Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta : Fadilatama. 2011.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perpektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1984.
Wahyudi, Jindar M. Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta : Apeiron Philotes. 2006.



[1] Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), hlm. 67
[2] Wahyudi,Jindar M, Nalar Pendidikan Qur’ani, (Yogyakarta : Apeiron Philotes,2006), hlm. 52.
[3] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada  Media, 2006), hlm. 10-11
[4] Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hlm. 47
[5] Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hlm. 17
[6] Ibid, hlm. 18
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 31
[8] Ridlwan Nasir, Log.Cit, hlm. 47
[9] Ibid, hlm.44
[10] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hlm.29
[11] Ridlwan Nasir, Op.Cit, hlm. 52-53
[12] Abdul Mujib, Op.Cit, hlm. 20-21
[13] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.37.
[14] Ibid,hlm. 38.
[15] Zamasyari Dhofier, Tradisi Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1994),hlm. 41-42
[16] Abd. Halim Soebahar, Op.Cit, hlm. 50
[17] Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), hlm. 15.
[18] Abd. Halim Soebahar, Op.Cit, hlm. 42
[19] Ibid, hlm. 45
[20] Ibid, hlm. 43
[21] Sorogan merupakan metode pengajaran individual yang dilaksanakan di pesantren. Dalam aplikasinya, metode ini terbagi menjadi dua cara. Pertama, bagi santri pemula, mereka mendatangi ustadz atau kiai yang akan membacakan kitab tertentu. Kedua, bagi santri senior, mereka mendatangi senior, mereka mendatangi seorang ustadz atau kiai supaya sang ustadz atau kiai mendengarkan sekaligus memberikan koreksi terhadap bacaan kitab mereka. Adapun bandongan atau wetonan adalah metode pengajaran kolektif, di mana santri secara bersama-sama mendengarkan seorang ustadz atau kiai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa Arab tertentu.
[22] Amin Haedari, dkk¸ Op.Cit. hlm. 16.
[23] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56.
[24] Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, (Surabaya : IMTIYAS, 2011), hlm. 15.
[25] Sulthon Masyhud, Khusnur Ridho, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hlm. 7
[26] Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fadilatama, 2011), hlm. 61.
[27] Abd. Halim Soebahar, Op.Cit, hlm. 42.
[28] DEPAG, Pedoman Pondok Pesantren (Jakarta: Direk.Pen.Diniyah dan PonPes, 2002), hlm. 6
[29] Abd. Halim Soebahar, Op.Cit, hlm. 53.
[30] Log. Cit, hlm. 53.
[31] Samsul Nizar, Muhammad Syaifudin, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010), hlm. 205.
[32] Ibid, hlm. 206.
[33] Ibid,  hlm. 206-208
[34] Lukman Hakim, Perbandingan Model Pendidikan Sekolah Umum dan Pesantren, (http://pandidikan.blogspot.com/2010/11/perbandingan-model-pendidikan-sekolah.html), diakses pada tanggal 12 November 2014 pada pukul 15.30.
[35] Abd. Halim Soebahar, Op.Cit, hlm. 137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar