Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

Putusnya Perkawinan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Syari’at Islam merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh setiap umat muslim yang bertaqwa. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan, talak, cerai, dan rujuk. Keempat hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan.
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah warahmah) dapat terwujud.[1]
Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan rasa kasih sayang antara suami dan istri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak yang mempunyai hubungan besan  akibat perkawinan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan. Tujuan syariat perkawinan itu seperti disebutkan itu kadang-kadang terhalang oleh keadaan-keadaan yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas diperjalanan. Perkawinan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan talak. Makna dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.[2]
Dari beberapa keadaan yang dapat menjadi alasan terhentinya perkawinan antara suami dan istri itu, dapat diperoleh ketentuan bawha Islam membenarkan terjadinya putus perkawinan untuk memenuhi tuntutan kebaikan hidup rumah tangga, bukan sebaliknya mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Oleh karena itu, khusus mengenai putusnya perkawinan dengan jalan talak ini Islam memberikan pedoman yang harus diperhatikan.
Para ulama klasik menyebutkan beberapa sebab putusnya perkawinan diantaranya adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar dan lian. Maka dari itu pemakalah akan mencoba memaparkan beberapa permasalaan yang sering muncul dalam hukum syariat Islam munakahat diantaranya yaitu : khulu, ‘ila, dhihar, lian, iddah dan rujuk.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, pemakalah dapat mengambil suatu rumusan yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini, yakni tentang pembubaran perkawinan, masa idah dan rujuk. Dari rumusan masalah diatas kemudian dapat dituangkan lagi kedalam beberapa batasan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana fikih mengatur tentang pembubaran perkawinan?
2.      Apa yang dimaksud dengan masa iddah?
3.      Bagaimana rujuk dalam perspektif ilmu fikih?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan terjadi karena ada beberapa kemungkinan :[3]
1.      Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami atau istri.
2.      Putusnya perkawinan atas kehendak si suami (talak)
3.      Putusnya perkawinan atas kehendak si istri (khulu’).
4.      Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga (fasakh).
Disamping itu terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan secara hukum syara’. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk :
1.      Zhihar
2.      Ila’’
3.      Li’an.[4]

B.     Hukum Perceraian dalam Islam
Hukum cerai menurut para ahli fiqh yang paling benar adalah “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar.[5] Hadits Rasulullah “Inna abghad al-mubahat ‘indallah al-talak”, sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak.[6] Menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka ada 4 hukum talak yaitu:[7]
1.      Wajib, apaila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
2.      Sunah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajiannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
3.      Haram (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
4.      Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang tersebut di atas.

C.     Talak
1.      Pengertian Talak
Menurut bahasa talak berarti pemutusan ikatan, kata ini adalah berasal dari kata الْإِطْلَاق  ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah talak berati pemutusan tali perkawinan dengan lafaz talak atau yang semakna, atau menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika atau rentang waktu jarak tertentu dengan menggunakan lafad tertentu.[8] Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakannya kehendak itu dengan ucapan tertentu.
Adapun dalil tentang dibolehkannya talak dapat dilahat sebagai berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah: 229)[9]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…..” (QS. At-Talaq: 1) [10]
2.      Rukun Talak
Rukun talak ada empat, sebagai berikut:[11]
1.      Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya.
2.      Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
3.      Shighot talak
Shighot talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.[12]
Jika seseorang berniat menalak istrinya di dalam hati tanpa diungkapkan atau semacamnya maka tidak terjadi talak menurut umumnya orang-orang berilmu.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمَ
“Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada saksinya) apa yang dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan.” (H.R. Al-Bukhori, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi).

4.      Qashdu (sengaja)
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.

3.      Syarat Talak
Syarat-syarat talak sebagai berikut:[13]
1.      Orang yang menjatuhkan talak itu sudah mukallaf (berakal dan baligh)
Sabda Rasulullah SAW.
عَنْ عَلِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النّبِيّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ عَنِ النَّا ئِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصّبِي حَتّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتّى يَعْقِلُ . (رَوَاهُ الْبُخَارِى وَاَبُوْدَاود).
“ Dari Ali r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia kembali sehat."
Tidak sah talak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk, dan tidur, baik talak menggunakan kalimat yang tegas maupun yang bergantung.

2.      Talak dilakukan atas kemauan sendiri
Hukum talak yang dijatuhkan karena dipaksa adalah tidak sah. Contoh: apabila suami tidak menceraikan istrinya, maka ia akan dibunuh atau dicelakakan, atau talaknya orang yang lupa atau tersalah.
Rasulullah saw bersabda:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَّاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَااسْتَكْرَهُوْاعَلَيْهِ
 “ Terangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan dipaksa.”
Sebagian ulama Syafi’iyah memisahkan antara ucapan talak dari orang yang terpaksa itu menggunakan niat atau tidak. Kalau waktu mengucapkan talak itu dia meniatkan talak, maka jatuh talaknya, sebaliknya bila tidak diniatkannya untuk talak, tidak jatuh talaknya.

3.      Talak itu dijatuhkan sesudah nikah yang sah
Perempuan yang ditalak adalah istrinya atau orang yang secara hukum masih terikat pernikahan dengannya. Begitu pula bila perempuan itu telah ditalak oleh suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadan begini hubungan pernikahannya masih dinyatakan masih ada. Oleh karena itu dapat ditalak. Perempuan yang tidak pernah dinikahinya, atau pernah dinikahinya namun telah diceraikannya, karena wilayahnya atas perempuan itu telah tiada.[14]
Hadits nabi.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَال : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :لاَ طَلَاقَ إِلَّا بَعْدَ نِكَاحٍ وَلَاعِتْقَ إِلَّا بَعْدَ مِلْكٍ.
 رَوَاهُ أَبُوْ يَعْلَى, وَصِححَهُ الحَاكِمْ وَهُوَ مَعْلُوْل,وَأَخْرَج اِبْنُ مَاجَه عَنِ الْمِسْوَر بِنْ مَخْرَمَة مِثْلُهُ,وَاسَنَاده حَسَن لَكِنَّهُ مَعْلُول أَيْضًا.
“ Jabir ra. Mengatakan, Rasulullah SAW, bersabda: “Tidak ada perceraian kecuali sesudah nikah, dan tidak dianggap memerdekakan kecuali sesudah memilikinya.”

4.      Macam-macam Talak
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu :[15]
1.      Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunya hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri benar-benar sudah digauli. Pada talak jenis ini, si suami dapat kembali kepada istrinya dalam masa iddah tanpa melalui perkawinan baru, yaitu pada talak pertama dan kedua.
Yang termasuk dalam kategori talak raj’i adalah sebagai berikut :
a.       Talak satu atau talak dua tanpa iwad dan telah kumpul
1)      Talak mati, tidak hamil
2)      Talak hidup dan hamil
3)      Talak mati dan hamil
4)      Talak hidup dan tidak hamil
5)      Talak hidup dan belum haid ataupun haid.[16]
b.      Talak karena ila’ yang dilakukan oleh hakim
c.       Talak hakamain, talak hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru damai (hakam) dari pihak suami maupun dari pihak istri.[17]
2.      Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu jenis talak yang tidak bisa dirujuk kembali kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak yang belum dukhul (menikah tetapi belum disenggamai kemudian ditalak).[18] Talak ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Talak Ba’in Sughro
Talak ba’in sughro adalah talak yang terjadi kurang dari tiga kali, keduanya tidak ada hak rujuk dalam masa iddah, akan tetapi boleh dan bisa menikah kembali dengan akad nikah baru. Adapun yang termasuk ke dalam bagian talak ba’in sughro adalah:[19]
1)      Talak karena fasakh
2)      Talak pakai iwad (ganti rugi), atau talak tebus berupa khuluk.
3)      Talak karena belum dikumpuli.
b.      Talak Ba’in Kubro
Talak ba’in kubro yaitu talak yang terjadi sampai tiga kali penuh dan tidak ada rujuk dalam masa iddah maupun dengan nikah baru, kecuali dalam talak tiga sesudah ada tahlil. Yang termasuk jenis talak ba’in kubro adalah sebagai berikut:[20]
1)      Talak Li’an
2)      Talak Tiga
Ditinjau dari keadaan istri, dibagi menjadi:
1.      Talak sunni, yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak dimasa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.
2.      Talak bid’i, yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada yang bersamaan atau talak dengan ucapan talak tiga, atau menalak istri dalam keadaan haid atau menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah didukhul.[21]
Ditinjau dari ucapan suami, terbagi menjadi dua bagian:
1.      Talak sharih, talak sharih yaitu talak yang diucapkan dengan jelas, sehingga karena jelasnya, ucapan tersebut tidak dapat diartikan lain, kecuali perpisahan atau perceraian, seperti ucapan suami kepada istrinya, “Aku talak engkau atau aku ceraikan engkau”.
Imam Syafi’i dan sebagian fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa kata-kata tegas atau jelas tersebut ada tiga, yaitu talak yang berarti cerai, kemudian kata firaaq yang berarti pisah, dan kata sarah yang berarti lepas. Di luar kata tersebut bukan kata-kata yang jelas dalam kaitannya dengan talak. Para ulama berselisih pendapat apakah harus diiringi niat atau tidak. Sebagian tidak mensyaratkan niat bagi kata-kata yang telah jelas tadi, sebagian lagi mengharuskan adanya niat atau keinginan yang bersangkutan.
Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mengucapkan kata-kata saja tidak menjatuhkan talak bila yang bersangkutan menginginkan talak dari kata-kata tersebut, kecuali apabila saat dikeluarkan kata-kata tadi terdapat kondisi yang mendukung ke arah perceraian. Seperti dikatakan ulam Maliki, ada permintaan dari istri untuk dicerai, kemudian suami mengucapkan kata-kata talak, firaaq, atau sarah.
2.      Talak kinayah, talak kinayah yaitu talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat diartikan lain, seperti ucapan suami: “pulanglah kamu”, dan sebagainya. Menurut imam Malik, kata-kata kinayah itu ada dua jenis, pertama, kinayah zhahiriyah, artinya kata-kata yang mengarah pada maksud, misalnya ucapan suami kepada istrinya, “Engkau tidak bersuami lagi atau ber-iddahlah kamu” Kedua, kinayah muhtamilah, artinya sindiran yang mengandung kemungkinan, misalnya, “Aku tak mau melihatmu lagi”.[22]
Ditinjau dari masa berlakunya terbagi menjadi tiga bagian:
1.      Berlaku seketika, yaitu ucapan suami kepada istrinya dengan kata-kata yang tidak digantungkan pada waktu atau keadaan tertentu. Maka ucapan tersebut berlaku seketika artinya mempunyai kekuatan hukum setelah selesai pengucapan kata-kata tersebut. Seperti, “Engkau tertalak langsung”, maka talak berlaku ketika itu juga.
2.      Berlaku untuk waktu tertentu, artinya ucapan talak tersebut digantungkan kepada waktu tertentu atau pada suatu perbuatan istri. Berlakunya talak tersebut sesuai dengan kata-kata yang diucapkan atau perbuatan tersebut benar-benar terjadi. Seperti, “Engkau tertalak bila engkau pergi ke tempat seseorang”.
3.      Berlaku untuk selama-lamanya (talak Al-Battah), artinya talak yang dijatuhkan untuk selama-lamanya, dan tidak akan dirujuk kembali. Misalnya: “Engkau kuceraikan untuk selama-lamanya”. Menurut Imam Syafi’i, talak semacam ini  akan jatuh sesuai dengan niatnya. Kalau diniatkan tiga, maka hukumnya tiga. Dan kalau diniatkannya hanya satu atau dua , maka talak itu akan jatuh sesuai dengan berapa yang diniatkannya.[23]

D.    Khulu’
Khulu’ secara harfiyah berarti “lepas” atau “copot”, oleh para ulama didefinisikan dengan : perceraian dengan tebusan (dari pihak istri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafaz talak atau khulu’.[24]
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.
Ganti rugi dapat dilakukan dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh suami pada istri saat terjadinya akad nikah, atau memberikan sesuatu yang berharga yang nilainya sebanding dengan mahar yang diterima istri. Hikmah dari kebolehan khulu’ itu adalah terhindarnya si istri dari kesulitan yang dirasakannya tanpa merugikan si suami dengan adanya ganti rugi.
Bila telah diucapkan shigat khulu’ oleh suami atas permintaan sendiri dan telah pula memberikan tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk talak ba’in shugra, dalam arti tidak boleh rujuk, namun diperbolehkan melangsungkan pernikahan sesudah itu tanpa muhallil. Khulu’ bagi sebagian pendapat ulama mengurangi jumlah bilangan cerai.[25]

E.     Fasakh
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Fasakh artinya membatalkan ikatan perkawinan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi, atau karena ada hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan perkawinan, seperti talak karena murtad.
Dalam hukum perdata disebut dengan “pembatalan perkawinan”. Salah satu bentuk terjadinya fasakh ini adalah adanya pertengkaran antara suami-istri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. [26]
Putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :[27]
1.      Diketahui adanya hubungan nasab atau sepersusuan
2.      Dinikahkan pada waktu kecil, namun saat besar memilih untuk membatalkan perkawinan
3.      Adanya unsur penipuan dalam pernikahan
4.      Salah satu dari suami atau istri murtad
5.      Cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri
6.      Terputusnya sumber nafkah dari suami untuk istri.
Putus perkawinan disebabkan fasakh, berbeda dengan talak, yang berlangsung hanyalah talak bain sughra, dalam arti suami tidak boleh kembali kepada istrinya dalam bentuk rujuk, namun dapat mengawini bekas istrinya itu tanpa muhallil. Fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang dimiliki suami dalam arti dapat dilakukan berulang kali tanpa memerlukan muhallil.

F.     Zhihar
Secara arti kata zhihar berarti punggung. Secara definitif dikemukakan sebagai ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya : “Engkau bagi saya seperti punggung ibu saya”.[28]
Hukum zhihar itu adalah haram. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya, namun yang demikian tidak berarti memutuskan perkawinan.. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarat.[29]
Kalau ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana ia menghormati ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun orang Arab terbiasa menggunakan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinannya dengan istrinya.
Kafarat dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Bila tidak mampu, maka wajib menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut. Bila berpuasa tidak mampu, maka dapat diganti dengan memberi makan 60 orang miskin.[30]

G.    Ila’
Secara arti kata ila’ berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah”. Secara definitif ila’ berarti “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”.
Ila’ artinya bersumpah. Dalam hal munakahat, ila’ maksudnya adalah seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya dalam waktu tertentu. Jadi, suami dilarang bersetubuh dengan istrinya sebagai akibat dari sumpahnya sendiri, sebelum suami membayar kafarat atas sumpahnya itu, namun perkawinan tetap utuh.[31]
Adapun kafarat bagi orang yang melakukan ila’ adalah dengan memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan pertengahan, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan hamba sahaya mukmin, kalau tidak mampu maka wajib berpuasa tiga hari.[32]
Bila telah habis tenggang waktu empat bulan yang ditetapkan Allah dan ternyata si suami tidak mau menggauli istrinya dengan terlebih dahulu memayar kafarat, maka istri wajib menuntut untuk dicerai. Namun jika suami tidak menceraikan juga, maka hakim wajib menceraikan suami istri itu.
Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa talak yang terjadi karena ila’ termasuk talak raj’i. Karena pada dasarnya setiap talak yang terjadi menurut syara’ diartikan kepada talak raj’i sampai terdapat dalil yang menunjukkan bahwa talak tersebut adalah talak ba’in. Imam Abu Hanifah dan Abu Saur berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak ba’in sebab kalau talak tersebut termasuk talak raj’i, maka kerugian yang menimpa istri tidak hilang, karena suami dapat memaksa istrinya untuk dirujuk kembali.

H.    Li’an
Secara harfiah li’an berarti saling melaknat. Secara terminologi berarti : “sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya”.[33]
Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, mesti dikenai had qazaf yaitu tuduhan zina tanpa saksi. Had qazaf itu adalah 80 kali dera.[34]


I.       Iddah
Secara etimologi, iddah yang jamaknya adalah ‘idad  berarti bilangan. Secara terminologi diartikan : masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan.[35]
Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah, dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Hikmah adanya masa iddah :
a.       Untuk mengetahui apakah mantan suami meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak
b.      Memberikan kesempatan kepada suami untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan suaminya.[36]
Adapun lama masa iddah adalah sebagai berikut :[37]
a.       Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
b.      Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya maka masa iddahnya 4 bulan 10 hari sebagai penghormatan kepada suaminya yang meninggal.
c.       Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suaminya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru’ yaitu 3 kali suci. Menurut ulama hanafiyah tiga quru’ itu berarti tiga kali masa haid.
d.      Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya, dan dia tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan.
e.       Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya, meskipun masanya belum empat bulan sepuluh hari. Sedangkan menurut ulama lain, diantaranya Ali bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematiannya suami adalah masa yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan melahirkan anak.
Hak – hak istri dalam masa iddah :
a.       Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan tempat tinggal
b.      Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu
c.       Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam masa iddah, adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyamakan dengan cerai dalam bentuk talak bain.[38]

J.      Ruju’
Secara lughawi ruju’ atau raj’ah berarti kembali. Sedangkan definisinya menurut al-Mahalli ilalah : kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah.[39]
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut :[40]
a.       Laki-laki yang meruju’ istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akal.
b.      Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus (khulu’) dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan ia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.
c.       Ada ucapan ruju’ yang diucapkan oleh laki-laki yang akan merujuk. Disini tidak diperlukan qabul dari pihak istri, karena ruju’ itu bukan memulai nikah, tetapi hanya melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju’ itu menggunakan lafaz yang jelas untuk ruju’.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dari dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah, adapula yang tidak.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa sebab diantaranya adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar dan lian. Kedudukan perceraian atau talak dalam Islam adalah sesuatu yang diperbolehkan (mubah), asalkan rukun dan syarat terjadinya talak tersebut telah terpenuhi secara benar dan tepat.
Setelah seorang wanita bercerai dengan suaminya maka wanita tersebut harus menjalani adanya masa iddah yang sesuai dengan penyebab terjadinya perceraian. Iddah disini bertujuan untuk mengetahui adakah bakal janin yang tertanam dalam rahim wanita, dan sebagai waktu untuk berfikir untuk ruju’ atau tidak.
Ruju’ di sini berarti kembali kepada suami untuk dapat menjalankan kehidupan rumah tanggal secara bersama-sama kembali
Setidaknya suami sangat harus berhati-hati dalam bertutur kata dalam hal berbicara kepada istri karena ditakutkan kata-kata itu dapat diaggap sebagai sebuah talak.
Talak dalam hukum fikih dan hukum perdata sangatlah diperhatikan untuk dapat menjadi kemaslahatan, kebaikan bagi suami dan istri.

B.     Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini bisa dijadikan salah satu referensi sebagai suatu pengetahuan kepada pembaca sekalian utamanya penyusun, semoga dengan adanya makalah ini bisa memberi manfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat II. Bandung : Pustaka Setia. 1999.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2010.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera Basritama. 2000.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No. 1/1974 Sampai KHI. Jakarta : Kencana. 2006.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam). Surakarta : Era Intermedia. 2007.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo. 1994.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Diponegoro. 2005.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 8 (Fiqhussunah). Bandung : Alma’arif. 1980.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty. 2004.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana. 2010.



[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm.206.
[2] Log. Cit, hlm. 206
[3] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 124.
[4] Ibid, hlm. 125.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8 (Fiqhussunah), (Bandung : Alma’arif, 1980), hlm.9.
[6] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm. 208
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 402
[8] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 9.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro, 2005), hlm.36.
[10] Ibid, hlm. 556.
[11] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), hlm.201.
[12] Ibid, hlm.204.
[13] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit, hlm.55.
[14] Ibid, hlm. 57
[15] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit, hlm. 16
[16] Ibid, hlm. 21
[17] Ibid, hlm. 33
[18] Ibid, hlm. 34
[19] Ibid, hlm. 35
[20] Ibid, hlm. 36
[21] Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Lentera Basritama. 2000), hlm. 241
[22] Ibid, hlm. 244
[23] Ibid, hlm. 245
[24] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 131.
[25] Ibid, hlm. 133.
[26] Ibid, hlm. 134.
[27] Log. Cit, hlm. 134
[28] Ibid, hlm. 135.
[29] Ibid, hlm. 136.
[30] Log. Cit, hlm. 136.
[31] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit, hlm. 22.
[32] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 137.
[33] Ibid, hlm. 138.
[34] Ibid, hlm. 139.
[35] Ibid, hlm. 141
[36] Log. Cit, hlm. 141.
[37] Ibid, hlm. 142-143
[38] Ibid, hlm. 144.
[39] Ibid, hlm. 145
[40] Ibid, hlm. 146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar