BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syari’at
Islam merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh setiap umat muslim yang bertaqwa.
Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT.
Salah satu
dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan, talak, cerai, dan rujuk. Keempat
hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam
Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai
dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan.
Akad
perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan
suci (misaqan galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada
Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu
perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah
warahmah) dapat terwujud.[1]
Allah
menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup,
menimbulkan rasa kasih sayang antara suami dan istri, antara mereka dan
anak-anaknya, antara pihak yang mempunyai hubungan besan akibat
perkawinan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara
berkehormatan. Tujuan syariat perkawinan itu seperti disebutkan itu
kadang-kadang terhalang oleh keadaan-keadaan yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Sering kali
apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas diperjalanan. Perkawinan harus putus
di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja,
karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan
perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang
kemudian dapat disebut dengan talak. Makna dari talak itu adalah melepaskan
ikatan atau melepaskan perjanjian.[2]
Dari beberapa keadaan yang dapat
menjadi alasan terhentinya perkawinan antara suami dan istri itu, dapat
diperoleh ketentuan bawha Islam membenarkan terjadinya putus perkawinan untuk
memenuhi tuntutan kebaikan hidup rumah tangga, bukan sebaliknya mengakibatkan
kehancuran rumah tangga. Oleh karena itu, khusus mengenai putusnya perkawinan
dengan jalan talak ini Islam memberikan pedoman yang harus diperhatikan.
Para ulama
klasik menyebutkan beberapa sebab putusnya perkawinan diantaranya adalah talak,
khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar dan lian. Maka
dari itu pemakalah akan mencoba memaparkan beberapa permasalaan yang sering
muncul dalam hukum syariat Islam munakahat diantaranya yaitu : khulu, ‘ila,
dhihar, lian, iddah dan rujuk.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas,
pemakalah dapat mengambil suatu rumusan yang menjadi pokok permasalahan dalam
makalah ini, yakni tentang pembubaran perkawinan, masa idah dan rujuk. Dari
rumusan masalah diatas kemudian dapat dituangkan lagi kedalam beberapa batasan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
fikih mengatur tentang pembubaran perkawinan?
2.
Apa
yang dimaksud dengan masa iddah?
3.
Bagaimana
rujuk dalam perspektif ilmu fikih?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Putusnya
Perkawinan
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya
hubungan suami istri. Putusnya perkawinan terjadi karena ada beberapa
kemungkinan :[3]
1. Putusnya perkawinan atas kehendak
Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami atau istri.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si
suami (talak)
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si
istri (khulu’).
4. Putusnya perkawinan atas kehendak
hakim sebagai pihak ketiga (fasakh).
Disamping itu terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan
hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun
tidak memutuskan hubungan perkawinan secara hukum syara’. Terhentinya hubungan
perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk :
1. Zhihar
2. Ila’’
B. Hukum
Perceraian dalam Islam
Hukum cerai menurut para ahli fiqh
yang paling benar adalah “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar.[5]
Hadits Rasulullah “Inna abghad al-mubahat ‘indallah al-talak”, sesungguhnya
perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak.[6]
Menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka ada 4 hukum talak yaitu:[7]
1. Wajib, apaila terjadi perselisihan
antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah
memandang perlu supaya keduanya bercerai.
2. Sunah, apabila suami tidak sanggup
lagi membayar dan mencukupi kewajiannya (nafkahnya), atau perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya.
3. Haram (bid’ah) dalam dua keadaan.
Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid. Kedua,
menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
4. Makruh, yaitu hukum asal dari talak
yang tersebut di atas.
C. Talak
1. Pengertian
Talak
Menurut bahasa talak berarti pemutusan ikatan, kata ini
adalah berasal dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Sedangkan menurut istilah talak berati pemutusan tali perkawinan dengan lafaz
talak atau yang semakna, atau menghilangkan ikatan perkawinan dengan seketika
atau rentang waktu jarak tertentu dengan menggunakan lafad tertentu.[8]
Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan
dinyatakannya kehendak itu dengan ucapan tertentu.
Adapun dalil tentang dibolehkannya talak dapat dilahat
sebagai berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah: 229)[9]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…..” (QS. At-Talaq: 1) [10]
2. Rukun Talak
Rukun talak
ada empat, sebagai berikut:[11]
1.
Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak
dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya.
2.
Istri
Masing-masing suami hanya berhak
menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang
dijatuhkan terhadap istri orang lain.
3.
Shighot talak
Shighot talak ialah kata-kata yang
diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih
(jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan,
tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.[12]
Jika seseorang berniat menalak
istrinya di dalam hati tanpa diungkapkan atau semacamnya maka tidak terjadi talak
menurut umumnya orang-orang berilmu.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي
مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمَ
“Sesungguhnya Allah melewati umatku
(tidak ada saksinya) apa yang dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum
diungkapkan.” (H.R. Al-Bukhori, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi).
4.
Qashdu
(sengaja)
Artinya bahwa dengan ucapan talak
itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud
lain.
3. Syarat
Talak
Syarat-syarat talak sebagai berikut:[13]
1. Orang yang menjatuhkan talak itu
sudah mukallaf (berakal dan baligh)
Sabda Rasulullah
SAW.
عَنْ عَلِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النّبِيّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثَةٍ
عَنِ النَّا ئِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصّبِي حَتّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
الْمَجْنُوْنِ حَتّى يَعْقِلُ . (رَوَاهُ الْبُخَارِى وَاَبُوْدَاود).
“ Dari Ali
r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga orang yang tidur
hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang gila sampai
ia kembali sehat."
Tidak
sah talak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk, dan tidur, baik talak
menggunakan kalimat yang tegas maupun yang bergantung.
2.
Talak dilakukan atas kemauan sendiri
Hukum talak yang dijatuhkan karena
dipaksa adalah tidak sah. Contoh: apabila suami tidak menceraikan istrinya,
maka ia akan dibunuh atau dicelakakan, atau talaknya orang yang lupa atau
tersalah.
Rasulullah saw bersabda:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَّاءُ
وَالنِّسْيَانُ وَمَااسْتَكْرَهُوْاعَلَيْهِ
“ Terangkat dari umatku kesalahan, kelupaan,
dan dipaksa.”
Sebagian
ulama Syafi’iyah memisahkan antara ucapan talak dari orang yang terpaksa itu
menggunakan niat atau tidak. Kalau waktu mengucapkan talak itu dia meniatkan talak,
maka jatuh talaknya, sebaliknya bila tidak diniatkannya untuk talak, tidak
jatuh talaknya.
3. Talak itu dijatuhkan sesudah nikah
yang sah
Perempuan
yang ditalak adalah istrinya atau orang yang secara hukum masih terikat
pernikahan dengannya. Begitu pula bila perempuan itu telah ditalak oleh
suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadan begini hubungan
pernikahannya masih dinyatakan masih ada. Oleh karena itu dapat ditalak.
Perempuan yang tidak pernah dinikahinya, atau pernah dinikahinya namun telah
diceraikannya, karena wilayahnya atas perempuan itu telah tiada.[14]
Hadits
nabi.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَال : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :لاَ طَلَاقَ إِلَّا
بَعْدَ نِكَاحٍ وَلَاعِتْقَ إِلَّا بَعْدَ مِلْكٍ.
رَوَاهُ أَبُوْ يَعْلَى, وَصِححَهُ الحَاكِمْ
وَهُوَ مَعْلُوْل,وَأَخْرَج اِبْنُ مَاجَه عَنِ الْمِسْوَر بِنْ مَخْرَمَة
مِثْلُهُ,وَاسَنَاده حَسَن لَكِنَّهُ مَعْلُول أَيْضًا.
“ Jabir ra. Mengatakan, Rasulullah SAW, bersabda: “Tidak ada
perceraian kecuali sesudah nikah, dan tidak dianggap memerdekakan kecuali
sesudah memilikinya.”
4.
Macam-macam Talak
Secara
garis besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi
menjadi dua macam, yaitu :[15]
1.
Talak
Raj’i
Talak
raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunya hak untuk merujuk kembali
istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan istri
benar-benar sudah digauli. Pada
talak jenis ini, si suami dapat kembali kepada istrinya dalam masa iddah tanpa
melalui perkawinan baru, yaitu pada talak pertama dan kedua.
Yang
termasuk dalam kategori talak raj’i adalah sebagai berikut :
a.
Talak
satu atau talak dua tanpa iwad dan telah kumpul
1)
Talak
mati, tidak hamil
2)
Talak
hidup dan hamil
3)
Talak
mati dan hamil
4)
Talak
hidup dan tidak hamil
5)
Talak
hidup dan belum haid ataupun haid.[16]
b.
Talak karena ila’ yang dilakukan oleh hakim
c.
Talak hakamain, talak hakamain artinya talak yang diputuskan
oleh juru damai (hakam) dari pihak suami maupun dari pihak istri.[17]
2.
Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu jenis talak
yang tidak bisa dirujuk kembali kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam
masa iddah, seperti talak yang belum dukhul (menikah tetapi belum
disenggamai kemudian ditalak).[18]
Talak ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.
Talak Ba’in Sughro
Talak ba’in sughro adalah talak yang terjadi kurang
dari tiga kali, keduanya tidak ada hak rujuk dalam masa iddah, akan
tetapi boleh dan bisa menikah kembali dengan akad nikah baru. Adapun yang
termasuk ke dalam bagian talak ba’in sughro adalah:[19]
1)
Talak karena fasakh
2)
Talak pakai iwad (ganti rugi), atau talak tebus
berupa khuluk.
3)
Talak karena belum dikumpuli.
b.
Talak Ba’in Kubro
Talak ba’in kubro yaitu talak yang terjadi sampai
tiga kali penuh dan tidak ada rujuk dalam masa iddah maupun dengan nikah baru,
kecuali dalam talak tiga sesudah ada tahlil. Yang termasuk jenis talak ba’in
kubro adalah sebagai berikut:[20]
1)
Talak Li’an
2)
Talak Tiga
Ditinjau dari keadaan istri, dibagi
menjadi:
1.
Talak sunni, yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan
agama, yaitu seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali
talak dimasa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.
2.
Talak bid’i, yaitu talak yang menyalahi ketentuan
agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada yang bersamaan
atau talak dengan ucapan talak tiga, atau menalak istri dalam keadaan haid atau
menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah didukhul.[21]
Ditinjau dari ucapan suami, terbagi menjadi dua bagian:
1.
Talak sharih, talak sharih yaitu talak yang
diucapkan dengan jelas, sehingga karena jelasnya, ucapan tersebut tidak dapat
diartikan lain, kecuali perpisahan atau perceraian, seperti ucapan suami kepada
istrinya, “Aku talak engkau atau aku ceraikan engkau”.
Imam Syafi’i dan sebagian fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa
kata-kata tegas atau jelas tersebut ada tiga, yaitu talak yang berarti cerai,
kemudian kata firaaq yang berarti pisah, dan kata sarah yang
berarti lepas. Di luar kata tersebut bukan kata-kata yang jelas dalam kaitannya
dengan talak. Para ulama berselisih pendapat apakah harus diiringi niat atau
tidak. Sebagian tidak mensyaratkan niat bagi kata-kata yang telah jelas tadi,
sebagian lagi mengharuskan adanya niat atau keinginan yang bersangkutan.
Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa mengucapkan kata-kata saja tidak menjatuhkan talak bila yang bersangkutan
menginginkan talak dari kata-kata tersebut, kecuali apabila saat dikeluarkan
kata-kata tadi terdapat kondisi yang mendukung ke arah perceraian. Seperti
dikatakan ulam Maliki, ada permintaan dari istri untuk dicerai, kemudian suami
mengucapkan kata-kata talak, firaaq, atau sarah.
2.
Talak kinayah, talak kinayah yaitu talak yang
diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut
dapat diartikan lain, seperti ucapan suami: “pulanglah kamu”, dan sebagainya.
Menurut imam Malik, kata-kata kinayah itu ada dua jenis, pertama, kinayah
zhahiriyah, artinya kata-kata yang mengarah pada maksud, misalnya ucapan
suami kepada istrinya, “Engkau tidak bersuami lagi atau ber-iddahlah kamu”
Kedua, kinayah muhtamilah, artinya sindiran yang mengandung kemungkinan,
misalnya, “Aku tak mau melihatmu lagi”.[22]
Ditinjau dari masa berlakunya terbagi menjadi tiga bagian:
1.
Berlaku seketika, yaitu ucapan suami kepada istrinya dengan
kata-kata yang tidak digantungkan pada waktu atau keadaan tertentu. Maka ucapan
tersebut berlaku seketika artinya mempunyai kekuatan hukum setelah selesai
pengucapan kata-kata tersebut. Seperti, “Engkau tertalak langsung”, maka talak
berlaku ketika itu juga.
2.
Berlaku untuk waktu tertentu, artinya ucapan talak tersebut
digantungkan kepada waktu tertentu atau pada suatu perbuatan istri. Berlakunya
talak tersebut sesuai dengan kata-kata yang diucapkan atau perbuatan tersebut
benar-benar terjadi. Seperti, “Engkau tertalak bila engkau pergi ke tempat
seseorang”.
3.
Berlaku untuk selama-lamanya (talak Al-Battah),
artinya talak yang dijatuhkan untuk selama-lamanya, dan tidak akan dirujuk
kembali. Misalnya: “Engkau kuceraikan untuk selama-lamanya”. Menurut Imam
Syafi’i, talak semacam ini akan jatuh sesuai dengan niatnya. Kalau
diniatkan tiga, maka hukumnya tiga. Dan kalau diniatkannya hanya satu atau dua
, maka talak itu akan jatuh sesuai dengan berapa yang diniatkannya.[23]
D.
Khulu’
Khulu’ secara harfiyah berarti “lepas” atau “copot”, oleh para ulama
didefinisikan dengan : perceraian dengan tebusan (dari pihak istri kepada pihak
suami) dengan menggunakan lafaz talak atau khulu’.[24]
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri
melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si
istri ini dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan
dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.
Ganti rugi dapat dilakukan dengan mengembalikan mahar yang
telah diberikan oleh suami pada istri saat terjadinya akad nikah, atau
memberikan sesuatu yang berharga yang nilainya sebanding dengan mahar yang
diterima istri. Hikmah dari kebolehan khulu’ itu adalah terhindarnya si
istri dari kesulitan yang dirasakannya tanpa merugikan si suami dengan adanya
ganti rugi.
Bila telah diucapkan shigat khulu’ oleh suami atas
permintaan sendiri dan telah pula memberikan tebusan, maka perkawinan putus
dalam bentuk talak ba’in shugra, dalam arti tidak boleh rujuk, namun
diperbolehkan melangsungkan pernikahan sesudah itu tanpa muhallil. Khulu’
bagi sebagian pendapat ulama mengurangi jumlah bilangan cerai.[25]
E.
Fasakh
Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Fasakh artinya membatalkan ikatan
perkawinan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi, atau karena ada hal-hal
lain yang datang kemudian dan membatalkan perkawinan, seperti talak karena
murtad.
Dalam
hukum perdata disebut dengan “pembatalan perkawinan”. Salah satu bentuk
terjadinya fasakh ini adalah adanya pertengkaran antara suami-istri yang
tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. [26]
Putusnya
perkawinan dalam bentuk fasakh dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :[27]
1.
Diketahui
adanya hubungan nasab atau sepersusuan
2.
Dinikahkan
pada waktu kecil, namun saat besar memilih untuk membatalkan perkawinan
3.
Adanya
unsur penipuan dalam pernikahan
4.
Salah
satu dari suami atau istri murtad
5.
Cacat
fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri
6.
Terputusnya
sumber nafkah dari suami untuk istri.
Putus
perkawinan disebabkan fasakh, berbeda dengan talak, yang berlangsung
hanyalah talak bain sughra, dalam arti suami tidak boleh kembali kepada
istrinya dalam bentuk rujuk, namun dapat mengawini bekas istrinya itu tanpa muhallil.
Fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang dimiliki suami dalam arti
dapat dilakukan berulang kali tanpa memerlukan muhallil.
F.
Zhihar
Secara
arti kata zhihar berarti punggung. Secara definitif dikemukakan sebagai
ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya : “Engkau bagi saya seperti punggung
ibu saya”.[28]
Hukum
zhihar itu adalah haram. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyamakan istrinya dengan ibunya, namun yang demikian tidak berarti memutuskan
perkawinan.. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah
membayar kafarat.[29]
Kalau
ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana ia menghormati
ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun orang Arab terbiasa
menggunakan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinannya dengan istrinya.
Kafarat
dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Bila tidak
mampu, maka wajib menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut. Bila
berpuasa tidak mampu, maka dapat diganti dengan memberi makan 60 orang miskin.[30]
G.
Ila’
Secara
arti kata ila’ berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara
bersumpah”. Secara definitif ila’ berarti “sumpah suami untuk tidak
menggauli istrinya”.
Ila’
artinya bersumpah. Dalam hal munakahat, ila’ maksudnya adalah
seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya dalam waktu tertentu.
Jadi, suami dilarang bersetubuh dengan istrinya sebagai akibat dari sumpahnya
sendiri, sebelum suami membayar kafarat atas sumpahnya itu, namun perkawinan
tetap utuh.[31]
Adapun
kafarat bagi orang yang melakukan ila’ adalah dengan memberi makan
sepuluh orang miskin dengan makanan pertengahan, atau memberi pakaian sepuluh
orang miskin, atau memerdekakan hamba sahaya mukmin, kalau tidak mampu maka
wajib berpuasa tiga hari.[32]
Bila
telah habis tenggang waktu empat bulan yang ditetapkan Allah dan ternyata si
suami tidak mau menggauli istrinya dengan terlebih dahulu memayar kafarat, maka
istri wajib menuntut untuk dicerai. Namun jika suami tidak menceraikan juga,
maka hakim wajib menceraikan suami istri itu.
Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa talak yang terjadi
karena ila’ termasuk talak raj’i. Karena pada dasarnya setiap
talak yang terjadi menurut syara’ diartikan kepada talak raj’i sampai
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa talak tersebut adalah talak ba’in.
Imam Abu Hanifah dan Abu Saur berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak ba’in
sebab kalau talak tersebut termasuk talak raj’i, maka kerugian yang
menimpa istri tidak hilang, karena suami dapat memaksa istrinya untuk dirujuk
kembali.
H. Li’an
Secara harfiah li’an
berarti saling melaknat. Secara terminologi berarti : “sumpah suami yang
menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat
orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia
benar dalam tuduhannya”.[33]
Pada dasarnya bila
seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, mesti dikenai had qazaf yaitu tuduhan zina tanpa saksi.
Had qazaf itu adalah 80 kali dera.[34]
I. Iddah
Secara etimologi, iddah
yang jamaknya adalah ‘idad berarti bilangan. Secara terminologi diartikan
: masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya)
untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan.[35]
Perempuan yang bercerai
dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah,
dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain.
Hikmah adanya masa iddah
:
a. Untuk
mengetahui apakah mantan suami meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau
tidak
b. Memberikan
kesempatan kepada suami untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan
suaminya.[36]
Adapun lama masa iddah
adalah sebagai berikut :[37]
a. Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu,
iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
b. Istri
yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Adapun
perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya maka masa
iddahnya 4 bulan 10 hari sebagai penghormatan kepada suaminya yang meninggal.
c. Istri
yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suaminya sedangkan ia masih
dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru’ yaitu 3 kali
suci. Menurut ulama hanafiyah tiga quru’ itu berarti tiga kali masa
haid.
d. Istri
yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya, dan dia tidak
lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah
selama tiga bulan.
e. Istri-istri
yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah
melahirkan anaknya. Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut jumhur
ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya, meskipun masanya belum empat bulan
sepuluh hari. Sedangkan menurut ulama lain, diantaranya Ali bin Abi Thalib,
iddah perempuan hamil yang kematiannya suami adalah masa yang terpanjang antara
empat bulan sepuluh hari dengan melahirkan anak.
Hak – hak istri dalam
masa iddah :
a. Istri
yang dicerai dalam bentuk talak raj’i, hak yang diterimanya adalah penuh
sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk
pangan, untuk pakaian dan tempat tinggal
b. Istri
yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain
kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil.
Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat
nafkah selama masa hamilnya itu
c. Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak
mendapatkan tempat tinggal selama dalam masa iddah, adapun nafkah dan pakaian
kebanyakan ulama menyamakan dengan cerai dalam bentuk talak bain.[38]
J. Ruju’
Secara lughawi ruju’
atau raj’ah berarti kembali. Sedangkan definisinya menurut al-Mahalli
ilalah : kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain,
selama dalam masa iddah.[39]
Adapun unsur yang
menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut :[40]
a. Laki-laki yang meruju’ istrinya
mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu
telah dewasa dan sehat akal.
b. Perempuan yang dirujuki adalah
perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk
cerai tebus (khulu’) dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan ia telah
digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.
c. Ada ucapan ruju’ yang diucapkan oleh
laki-laki yang akan merujuk. Disini tidak diperlukan qabul dari pihak
istri, karena ruju’ itu bukan memulai nikah, tetapi hanya
melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju’ itu menggunakan lafaz yang jelas
untuk ruju’.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dari dua orang
saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah, adapula yang tidak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa sebab diantaranya
adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, syiqaq, nusyuz, ila’, zihar dan lian. Kedudukan perceraian atau talak
dalam Islam adalah sesuatu yang diperbolehkan (mubah), asalkan rukun dan syarat
terjadinya talak tersebut telah terpenuhi secara benar dan tepat.
Setelah seorang wanita bercerai dengan suaminya maka wanita
tersebut harus menjalani adanya masa iddah yang sesuai dengan penyebab
terjadinya perceraian. Iddah disini bertujuan untuk mengetahui adakah bakal
janin yang tertanam dalam rahim wanita, dan sebagai waktu untuk berfikir untuk
ruju’ atau tidak.
Ruju’ di sini berarti kembali kepada suami untuk dapat
menjalankan kehidupan rumah tanggal secara bersama-sama kembali
Setidaknya suami sangat harus berhati-hati dalam bertutur
kata dalam hal berbicara kepada istri karena ditakutkan kata-kata itu dapat diaggap
sebagai sebuah talak.
Talak dalam hukum fikih dan hukum perdata sangatlah
diperhatikan untuk dapat menjadi kemaslahatan, kebaikan bagi suami dan istri.
B.
Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini
bisa dijadikan salah satu referensi sebagai suatu pengetahuan kepada pembaca
sekalian utamanya penyusun, semoga dengan adanya makalah ini bisa memberi
manfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat II. Bandung :
Pustaka Setia. 1999.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Prenada Group. 2010.
Mughniyah,
Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera Basritama. 2000.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No. 1/1974
Sampai KHI. Jakarta : Kencana. 2006.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram
fi Al-Islam). Surakarta : Era Intermedia. 2007.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru
Algensindo. 1994.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung :
Diponegoro. 2005.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 8 (Fiqhussunah). Bandung :
Alma’arif. 1980.
Soemiyati. Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty. 2004.
Syarifuddin,
Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana. 2010.
[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam Dari Fikih UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006),
hlm.206.
[2] Log. Cit, hlm. 206
[3] Amir Syarifuddin, Garis-garis
Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 124.
[4] Ibid, hlm. 125.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8
(Fiqhussunah), (Bandung : Alma’arif, 1980), hlm.9.
[6] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Op.Cit., hlm. 208
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung
: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 402
[8] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih
Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 9.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung : Diponegoro, 2005), hlm.36.
[10] Ibid, hlm. 556.
[11] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), hlm.201.
[13] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit,
hlm.55.
[14] Ibid, hlm. 57
[15] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit,
hlm. 16
[16] Ibid, hlm. 21
[17] Ibid, hlm. 33
[18] Ibid, hlm. 34
[19] Ibid, hlm. 35
[20] Ibid, hlm. 36
[22] Ibid, hlm. 244
[23] Ibid, hlm. 245
[24] Amir Syarifuddin, Op. Cit.,
hlm. 131.
[25] Ibid, hlm. 133.
[26] Ibid, hlm. 134.
[27] Log. Cit, hlm. 134
[28] Ibid, hlm. 135.
[29] Ibid, hlm. 136.
[30] Log. Cit, hlm. 136.
[31] Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.Cit,
hlm. 22.
[32] Amir Syarifuddin, Op. Cit.,
hlm. 137.
[33] Ibid, hlm. 138.
[34] Ibid, hlm. 139.
[35] Ibid, hlm. 141
[36] Log. Cit, hlm. 141.
[37] Ibid, hlm. 142-143
[38] Ibid, hlm. 144.
[39] Ibid, hlm. 145
[40] Ibid, hlm. 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar