BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban adalah suatu proses perubahan cara hidup
manusia. Kemajuan yang dicapai dalam aspek bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan,
sosial, politik, hukum dan agama. Prosesnya berjalan secara berangsur-angsur
dalam waktu yang lama.
Peradaban Islam adalah
terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Landasan peradaban
Islam adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan
kebudayaan Islam adalah agama. Jadi, dalam Islam tidak seperti masyarakat yang
menganut agama bumi (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi melahirkan
kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia,
maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[1]
Peradaban Islam pada mulanya mulai dari zaman
Rasulullah SAW sampai abad ke-12 M telah berhasil gemilang dengan membangun
peradaban-peradabannya yang untuk melahirkan sejarawan kelas dunia. Di permukaan
alam dunia ini pernah timbul beberapa peradaban, tetapi kemudian menghilang dan
sirna. Begitu pula dengan bangsa-bangsa yang dulunya begitu besar dan jaya lama-kelamaan menjadi kecil dan akhirnya lenyap, dan
digantikan dengan bangsa baru timbul makin lama makin maju dan menjadi bangsa
yang besar pula, hingga pada suatu ketika dengan pengalaman-pengalaman itu
menjadikan manusia menjadi matang untuk menerima kemajuan yang sesungguhnya
dalam segala bidang.
Pada waktu Islam datang seluruh dunia sedang mengalami
kemunduran di semua bidang dan lapangan. Belum berlalu masa seratus tahun,
Islam telah menegakkan dan memperbaharui serta meluruskan paham agama-agama
yang telah lalu, ilmu pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, peradaban yang
membawa kebahagiaan dan politik yang selalu menguntungkan, yang semuanya telah
disiarkan di seluruh dunia dengan cepat dan penuh kebenaran.[2]
Dalam
konteks peradaban, Islam mampu
menampilkan peradaban baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya.
Peradaban yang ditinggalkan nabi Muhammad ini misalnya, sangatlah berbeda
dengan peradaban Arab pada masa jahiliyah. Dengan demikian, Islam
telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Peradaban Islam
berkembang sangat maju dalam percaturan peradaban dunia bahkan jauh sebelum
kebangkitan Eropa, sehingga muncullah kawasan-kawasan pusat peradaban Islam
yang masing-masing memiliki karakteristik sesuai dengan kondisi sosial budaya
dan politik yang mendukungnya. Dalam makalah ini pemakalah
akan membahas tentang pusat-pusat peradaban Islam
yang meliputi wilayah Baghdad, Kairo (Mesir), Isfahan (Persia), Istambul (Turki), Delhi (India),
Andalus (Spanyol), Samarkhand dan Bukhara (Transoxania).
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Dimana saja pusat-pusat
peradaban Islam berada?
2.
Bagaimana gambaran
peradaban Islam yang ada di daerah pusat-pusat peradaban Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Islam
di Kota Baghdad
Negara yang berada di bagian barat daya Asia
ini, memiliki batas-batas wilayah: di selatan berbatasan dengan Kuwait dan Arab
Saudi, di sebelah utara berbatasan dengan Turki, di bagian barat dengan
Yordania dan Syiria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Irak
berada tepat di bagian timur wilayah Bulan Sabit Subur yang dulu sering disebut
daerah Mesopotamia kosa kata Yunani yang berarti “lahan di antara dua sungai”:
Sungai Tigris dan Sungai Efrat. Kedua aliran sungai ini sangat mempengaruhi
pola kehidupan dan lingkungan penduduk Irak dari masa ke masa.[3]
Didirikan oleh Khalifah
Abbasiyah kedua, yaitu Al- Manshur (754-755 M) pada tahun 763 M dan di jadikan
sebagai ibu kota pemerintahannya. Terletak di pinggir Sungai Tigris. Menurut
cerita rakyat, daerah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan Kisra
Anusyirwan, seorang raja Persia yang masyhur, di musim panas. Baghdad sendiri
mempunyai arti “Taman Keadilan”. Masa keemasan Kota Baghdad terjadi pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Al- Rasyid (786- 806 M) dan anaknya Al-Ma’mun
(813-833 M).[4]
Peradaban yang dicapai pada masa Khalifah Al-
Manshur diantaranya pada pembangunan fisik, dengan mendesain kota ini berbentuk
bundar, yang di sekililingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di
sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran
air dan sekaligus sebagai benteng. Disediakannya empat buah pintu gerbang di
sekitar kota ini untuk setiap orang yang ingin memasuki kota ini. Keempat pintu
gerbang itu adalah Bab al- Kufah yang terletak di sebelah barat daya, Bab
al- Syam di barat laut, Bab al- Bashrah di tenggara, dan Bab al-
Khurasan di timur laut. Di masing-masing pintu gerbang di bangun 28 menara
untuk tempat pengawal negara yang mengawasi keadaan di luar. Terdapat tempat
peristirahatan dengan ukiran indah dan menyenangkan pada setiap pintu gerbang
bagian atas.
Di tengah-tengah kota terdapat Al- Qashar
Al- Zahabi yang merupakan istana khalifah dengan seni arsitektur Persia.
Dilengkapi dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat
tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar
tempat perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan
empat pintu gerbang. Semua pembangunan itu di kerjakan oleh ahli bangunan yang
terdiri dari arsitek- arsitek, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli
pahat, dan lain- lain. Mereka semua didatangkan khalifah dari Syria, Mosul,
Basrah, dan Kuffah dengan jumlah sekitar 100. 000 orang.[5]
Dalam bidang ilmu
pengetahuan, Al-Manshur memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah dan
kesusteraan dari bahasa Inggris, India, Yunani lama, Bizantium, Persia, dan
Syiria ke dalam bahasa Arab. Sehingga sejak awal berdirinya, kota ini sudah
menjadi kota peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sehingga
julukan sebagai kota intelektual pun di berikan dari Philip K. Hitti terhadap
Kota Baghdad. Para peminat ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong
datang ke kota ini.
Kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena
perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam di dunia setelah masa Al-Manshur. Banyak
buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah mati, yang kemudian dihidupkan
kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah Al- Ma’mun memiliki
perpustakaan yang dipenuhi dengan beribu-ribu ilmu pengetahuan yang bernama Bait
Al-Hikmah. Banyak para ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini
untuk mendalami ilmu pengetahuan.
Berdiri banyak akademi, sekolah tinggi dan
sekolah biasa di kota ini. Diantaranya Perguruan Nizhamiyyah yang didirikan
oleh Nizham Al- Mulk, seorang wazir Sultan Seljuk pada abad ke-5 H. Perguruan
Mustanshiriyah yang didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir Billah.[6]
Dalam bidang sastra, Kota Baghdad terkenal
dengan hasil karya yang indah dan di sukai orang. Di antaranya Alf Lailah wa
Lailah, atau Kisah Seribu Malam. Para saintis, ulama, filosof, dan
sasterawan Islam yang terkenal banyak muncul dari kota ini,
seperti Al- Khawarizmi (ahli astronomi dan matematika, penemu ilmu aljabar),
Al-Kindi (filosof Arab pertama), Al-Razi (filosof, ahli fisika dan kedokteran),
Al-Farabi (filosof besar dengan julukan al-Mu’allim al-Tsani), Abu
Hanifah, Syafi’i, Ahmad ibn Hambal, Al- Ghazali (filosof, teolog, dan sufi
besar dalam Islam dengan julukan Hujjah al-Islam),
Abd Al-Qadir Al-Jilani (pendiri Tarekat Qadariyah), Ibn Muqaffa’ (sasterawan
besar), dan lain-lain.[7]
Perkembangan dalam bidang ekonomi Kota Baghdad
berjalan seiring dengan perkembangan politik. Perdagangan dan industri berkembang
pesat pada masa Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Tiga buah pelabuhan yang ramai
yang banyak dikunjungi para kalifah dagang internasional (Cina, India, Asia
Tengah, Syria, Persia, Mesir dan Afrika lainnya), dua di Bashrah dan Sirat di
Teluk Persia, adalah faktor pendukung perkembangan kehidupan ekonomi di Kota
Baghdad.
Di Kota Baghdad juga
menjadi pusat tempat ziarah bagi orang muslim karena banyaknya orang suci yang
di makamkan di sana, sehingga mendapat julukan Benteng Kesucian. Diantaranya
makam Imam Musa Al-Kazhim (Imam ketujuh Syi’ah), Syekh Junaid, Syibli, dan
Abdul Kadir Jailani (semuanya pemimpin-pemimpin kaum sufi). Para khalifah
dan permaisurinya juga banyak dimakamkan di kota Baghdad.
Kota terindah dan termegah
di dunia pada masanya itu, mencapai masa kegemilangannya sebelum dihancurkan
oleh Tentara Mongol, kota ini memperlihatkan pemandangan yang indah, sehingga
diabadikan dalam Syair Gubahan Anwari.
Semua keindahan Kota
Baghdad hanya tinggal kenangan yang seolah-olah hanyut dibawa arus Sungai
Tigris, setelah dibumi hanguskan oleh Tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan tahun 1258 M. Semua bangunan kota, termasuk istana emas tersebut
dihancurkan. Pasukan Mongol juga meruntuhkan perpustakaan
yang merupakan gudang ilmu dan membakar buku-buku yang terdapat di dalamnya.
Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pasukan Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh
Tentara Kerajaan Safawi. Kota Baghdad yang sekarang menjadi ibu kota Irak
dengan lokasi yang sama tetapi tidak mencerminkan kemajuan Kota Baghdad lama.[8]
B.
Peradaban Islam
di Kota Kairo
Kota yang terletak di tepi
Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa Dinasti
Fatimiah, di masa Shalah Al-Din Al-Ayyubi, dan di bawah Baybars dan Al-Nashir
pada masa Dinasti Mamalik.[9] Dinasti Fathimiyah adalah satu- satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam.
Setelah panglima Jauhar Al-Siqili
menduduki Mesir pada tahun 358 H, maka ia mengambil keputusan untuk memindahkan
pusat pemerintahan dari Fustat, ke kota yang akan dibangun. Pada tanggal 17
Sya’ban 358 H (969 M), Jauhar As-Saqili memulai pembangunan kota baru untuk
menjadi ibu kota Dinasti Fathimiyah. Kota ini mula-mula diberi nama kota “Mansyuriyah” dinisbatkan
kepada Mansur Al-Mu’iz Lidinilah. Setelah Mu’iz sendiri sampai di Mesir, namanya
diubah menjadi Qahirah Mu’iziyah.[10]
Bentuk kota Kairo ini hampir merupakan segi
empat. Di sekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang
sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang
dari Masjid Ibn Thulun sampai ke Qal’at Al- Jabal, memanjang dari Jabal
Al-Muqattam sampai ke tepi Sungai Nil. Setelah pembangunan kota Kairo rampung lengkap dengan istananya, Al-Siqili
mendirikan Masjid Al-Azhar, 17 Ramadhan 359 H/970 M. Masjid ini berkembang
menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar
diambil dari Al-Zahra’, julukan Fathimiah, puteri Nabi Muhammad SAW dan istri
‘Ali ibn Abi Thalib, Imam pertama Syi’ah.
Dalam pemerintahannya Al-Mu’iz melaksanakan
tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi,
pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang administrasi, beliau
mengangkat seorang wazir untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam
bidang ekonomi, beliau memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana,
dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat
lembaga peradilan, dua untuk Madzhad Syi’ah dan dua untuk Madzhab Sunni.
Pada masa Al-Aziz menggunakan program baru
dengan mendirikan masjid- masjid, istana, jembatan, dan kanal- kanal baru. Pada
masa Aziz Billah dan Hakim Biamrillah,
terdapat seorang mahaguru bernama Ibn Yunus menemukan pendulum dan ukuran waktu
dengan ayunannya. Karyanya Zij al-Akbar al-Hakimi diterjemahkan
ke berbagi bahasa. Beliau meninggal pada tahun 1009 M kemudian penemuan-penemuannya
diteruskan oleh Ibn Al-Nabdi (1040) dan Hasan Ibn Haitham, seorang astronom dan
ahli optika, yang tersebut terakhir ini menemukan sinar cahaya datang dari
objek ke mata dan bukan keluar dari mata lalu mengenai dunia luar.
Pada masa Al-Hakim (996-1021 M) didirikan Bait
Al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh
Al-Makmun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga
ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah. Pada masa-masa
selanjutnya, Dinasti Fathimiah mulai mendapat gangguan-gangguan politik. Akan
tetapi Kairo tetap menjadi sebuah kota besar dan penting. Ketika jayanya, di
Kairo telah memiliki kurang lebih 20.000 toko milik khalifah. Kafilah-kafilah,
tempat-tempat pemandian dan sarana umum lainnya telah didirikan oleh khalifah.
Istana khalifah dihuni 30.000 orang, 12.000 orang diantaranya adalah pembantu
dan 1.000 pengawal berkuda.[11]
Dinasti Fathimiah dapat ditumbangkan Dinasti Ayyubiah
yang didirikan Al-Din, seorang
pahlawan dalam Perang Salib. Beliau tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah
yang didirikan oleh Dinasti Fathimiah, tetapi mengubah orientasi keagamaannya
dari Syi’ah menjadi Sunni.[12] Beliau juga
mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang di lengkapi dengan
tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya
dan sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, kompendium sejarah, manual
hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah
sakit. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang
yang cacat fikiran.
Kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir diambil
alih oleh Dinasti Mamalik. Dinasti ini mampu mempertahankan pusat kekuasaannya
dari serangan Mongol dan mengalahkan Tentara Mongol itu di Ayn Jalut dibawah
pimpinan Baybars. Hal yang dilakukan Baybars yaitu memugar bangunan-bangunan
kota, merenovasi Al-Azhar dan pada tahun 1261 M mengundang keturunan dari
Abbasiyah untuk melanjutkan khilafahnya di Kairo. Dengan demikian prestise kota
ini semakin menanjak. Banyak bangunan yang didirikan dengan arsitektur
yang indah-indah pada masanya dan masa-masa kekuasaan Dinasti Mamalik
berikutnya. Kejayaan Dinasti Mamalik memang berlangsung agak lama. Pada tahun
1517 M, dinasti ini dikalahkan oleh Kerajaan Utsmani yang berpusat di
Turki dan sejak itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari Kerajaan Ustmani
tersebut.[13]
Pada waktu itu, Kairo menjadi satu-satunya
pusat peradaban Islam yang terpenting, di karenakan kota ini selamat dari
serangan Mongol yang di pimpin oleh Panglima Jauhar As-Saqili.
C.
Peradaban Islam
di Kota Isfahan
Isfahan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan
Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy,
tempat berdirinya Syahrastan dan
Yahudiyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran
istrinya yang beragama Yahudi. Ada beberapa pendapat tentang kapan kota ini
ditaklukan oleh tentara Islam. Pendapat pertama mengatakan penaklukan itu
terjadi pada tahun 19 H (640 M), dibawah pimpinan Abdullah ibn ‘Atban atas
perintah Umar ibn Al-Khattab untuk menaklukan kota Jayy
yang merupakan salah satu ibu kota provinsi Persia waktu itu.
Setelah beberapa peristiwa, penguasanya memilih
masuk Islam dari pada
membayar pajak. Pendapat lain, yaitu Al-Thabari menyebutkan bahwa penaklukan
itu terjadi pada tahun 21 H (642 M). Aliran Bashrah menyebutkan, penaklukan
Isfahan terjadi pada tahun 23 H (644 M) di bwah pimpinan Abu Musa Al-‘Asy’ari
yaitu setelah penaklukan Nahawand, atau di bawah pimpinan Abdullah ibn Badil
yang menerima penyerahan kota itu dengan syarat pembayaran pajak. Penaklukan
ulang terjadi pada masa khalifah Abbasiyah, Al-Mu’taz. Ketika tentara Abbasiyah
berusaha memadamkan pemberontakan Al-Alawiyin di Tobaristan tahun 247 H(861 M).
Sejak itu, kota ini menjadi kota penting sebagai ibu kota provinsi dan pusat
industri dan perdagangan.[14]
Ketika raja Safawi, Abbas
I, menjadikan Isfahan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota yang
luas dan ramai dengan penduduk. Sebagaimana telah disebutkan, kota ini terletak di atas
sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah
jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota.
Sementara dua lainnya di pinggiran kota.
Kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat
dengan menara pengontrol sebanyak seratus buah. Letak tembok kota sekitar setengah Farsak (satu
farsakh sekitar 8 km atau 3,5 mil). Di dalam kota ini terdapat bangunan
menyerupai benteng, disekitrnya terdapat tambang terbuat dari perak yang sudah
tidak berfungsi lagi sejak penaklukan tentara Islam, dan juga
tambang tembaga batu bahan celak. Ardasyir, raja Persia, pernah membangun irigasi untuk
pengaturan air dari sungai Zandah, bernama Zirrin Rod, berarti sungai
emas. Hingga sekarang, perekonomian negeri ini sangat tergantung kepada
pertanian kapas, candu, dan tembkau.
Kota ini, sebelum berada
di bawah kekuasaan Kerajaan Safawi, sudah beberapa kali mengalami pergantian
penguasa, Dinasti Samani tahun 301 H/913 M, kemudian direbut Mardawij tahun 316
H/928 M dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Setelah itu jatuh ke
tangan kekuasaan Bani Buwaih dan pada tahun 421 H/1030 M direbut oleh
Mahmud Al-Ghaznawi, penguasa Dinasti Ghaznawiah. Dari penguasa
Ghaznawi ini, Isfahan lepas ke tangan penguasa Seljuk dan dijadikan sebagai
tempt tinggal Sultan Maliksyah. Di awal abad ke-6 H/ 12 M, di kota ini Syi’ah
Ismailiah banyak memperoleh pengikut. Pada tahun 625 H/ 1228 M terjadi
pertempuran besar di sini, ketika tentara Mongol datang menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan Isfahan sebagai salah satu
bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur Lenk menyerbu
negeri-negeri Islam kota ini ikut jatuh ke tangannya tahun 790 H/ 1388 M dan 7000 penduduk terbunuh.
Setelah itu kota ini dikuasai oleh Kerajaan Usmani tahun 955 H/1548 M, dan pada
tahun 1134 H/ 1721 M, terjadi pertempuran antara Husein Syah, raja Safawi dengan Mahmud Al-Afghani, yang
mengakhiri riwayat kerajaan Safawi sendiri. Pada tahun 1141 H/1729 M, kota ini
berada di bawah kekuasaan Nadzir Syah.
Kota ini, ketika berada di
bawah kekuasaan kerajaan Safawi di kelilingi oleh tembok yang terbuat dari
tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kota banyak berdiri bangunan, seperti
seperti istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara, pasar, dan rumah-rumah
yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang
masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas I, merupakan salah satu
masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. Di samping itu juga
ada lapangan dan tanaman yang terawat baik dan menawan.[15]
Kerajaan Safawi berdiri di
saat Kerajaaan Utsmani di Turki mencapai puncak kejayannya. Kerajaan Safawi
berasal dari gerakan tharikat di Ardabil sebuah kota di Azerbeijan
(wilayah Rusia) yang berdiri hampir bersamaan dengan Kerajaan Utsmani di Turki. Nama Safawiyah diambil dari
nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M).
Kerajaan Safawiyah menganut ajaran Syi’ah dan di tetapkan sebagai madzhab
negaranya. Safi Al-Din keturunan dari Imam Syi’ah yang ke enam Musa Al-Kazim. Karena alim dan sifat zuhudnya maka Safi
Al-Din diambil menantu oleh gurunya yang bernama Syekh Taj Al-Din Ibrahim
Zahidi (1216-1301 M) yang di kenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dalam waktu
yang tidak lama tarekat ini berkembang pesat di Persia, Syiria, Asia kecil.
Masa kemajuan Kerajaan
Safawi di Persia dalam bidang ekonomi, yaitu telah di kuasainya Kepulauan
Hurmuz dan Pelabuhan Gumrun yang telah di ubah menjadi Bandar Abbas pada
masa Abbas I. Maka salah satu jalur dagang yang menghubungkan antara timur dan
barat sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Di samping
sektor perdagangan kerajaan Safawi jug mengalami kemajuan di sektor pertanian
terutam di diaerah Bulan Sabit Subur (fortille crescent).
Dalam bidang ilmu pengetahuan sejarah Islam
bangsa Pesia dianggap berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Maka
tidaklah mengherankan apabila kondisi tersebut terus berlanjut, sehingga muncul
ilmuwan seperti, Baha Al-Din Asy-Syaerozi, Sadar Al-Din Asy-Syaerozi, Muhammad
Al-Baqir Al-Din ibn Muhammad Damad, masing-masing ilmuwan di bidang filsafat,
sejarah, teolog, dan ilmu umum.
Kemajuan seni arsitektur
ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah ibu kota
ini, seperti masjid, sekolah, rumah sakit, kebun wisata, jembatan yang
memanjang di atas Zende Rud dan Istana Chihilsutun.[16]
D.
Peradaban Islam
di Kota Istambul
Kota Istambul adalah ibu kota Kerajaan Turki
Usmani. Kota ini awalnya merupakan ibu kota Kerajaan Romawi Timur dengan nama
Konstantinopel. Konstantinopel sebelumnya sebuah kota bernama Bizantium,
kemudian diganti dengan nama Konstantinopel oleh Kaisar Romawi Timur, Kaisar
Constantin.
Pada tahun 395 M, Kerajaan Romawi pecah menjadi
dua, Romawi Timur dan Romawi Barat. Romawi Barat yang beribu kota di Roma
(Italia) sedangkan Romawi Timur beribu kota di Konstantinopel.
Konstantinopel jatuh ke
tangan umat Islam pada masa Dinasti Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan
Muhammad II yang bergelar Muhammad Al-Fatih tahun 1453, dan dijadikan ibu
kota Kerajaan Turki Usmani. Bahkan jauh sebelum Sultan Muhammad Al-Fatih dapat
menguasai Konstantinopel, para penguasa Islam sudah sejak zaman Khulafaur
Rasyidin, kemudian Khalifah Bani Umayyah, dan Khalifah Bani Abbasiyyah berusaha
untuk menaklukan kota Konstantinopel, namun baru pada masa Kerajaan Turki
Usmani usaha itu dapat berhasil.
Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, kota
Konstantinopel yang artinya kota Constantin, yang diubah namaya menjadi
Istambul yang artinya kota Islam. Wilayah
kekuasaannya meliputi wilayah Eropa timur, Asia kecil, dan Afrika Utara. Bahkan
kekuasaan Istambul juga diakui oleh daerah-daerah Islam.[17]
Setelah Muhammad Al-Fatih menjadikan Istambul
sebagai ibu kota kerajaan Turki Usmani, beliau
melakukan penataan hal-ihwal
orang-orang Kristen Yunani (Romawi). Dalam
penataan tersebut beliau tetap memberikan kebebasan kepada pihak gereja,
seperti yang dilakukan para pendahulunya dan mengakui agama lain sesuai dengan
ajaran Islam yang menghormati keyakinan suatu agama.
Penduduk Istambul memang heterogen dalam bidang agama. Menurut sensus tahun 1477, penduduk Istambul berdasarkan agama adalah sebagai berikut:
Muslim 8951 rumah tangga (60 %), penganut Kristen Ortodoks (Yunani)
3151 rumah tangga( 21,5%), Yahudi 1647 rumah tangga (11%), lain-lain 1054 rumah
tangga (7,5% ).[18]
Sebagai ibu kota, di sinilh tempat
berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-macam
kebudayaan. Bangsa Turki Utsmani banyak mengambil ajaran etika dan politik dari
bangsa Persia. Sebagai bangsa berasal dari Asia Tengah, Turki memang suka
berasimilasi dan senang bergaul dengan bangsa lain. Dalam bidang kemiliteran
dan pemerintahan, kebudayan Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki
Utsmani ini. Namun, jauh sebelum mereka berasimilasi dengan bangsa-bangsa
tersebut, sejak pertama kali mereka masuk Islam bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam
bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan hukum. Huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajan.
Kekuasaan tertinggi memang berada
di tangan Sultan, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh Shadr Al-A’zham
(Perdana menteri) yang berkedudukan di ibu kota. Jabatan-jabatan penting,
termasuk perdana menteri, seringkali justru diserahkan kepada orang-orang asal
Eropa, dengan syarat menyatakan diri secara formal masuk Islam.
Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun
di sana membuktikan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah
kota Islam, tempat kaum muslimin mendapat fasilitas lengkap untuk menjalankan
kewajiban agamanya, Gereja Aya Sophia, setelah penaklukan diubah menjadi sebuah
masjid agung yang terpenting di Istambul. Gambar-gambar makhluk hidup yang ada
sebelumnya ditutup, mihrab didirikan, dindingnya dihiasi dengan kaligrafi yang
indah, dan menara-menara dibangun. Masjid-masjid penting lainnya adalah Masjid
Agung Al-Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub
Al-Anshari (tempat penaklukan para Sultan Utsmani), Masjid Bayazid dengan gaya
Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni.
Di samping masjid, para sultan juga mendirikn
istana-istana dan vila-vila yang megah, sekolah, asrama, rumah sakit, panti
asuhan, penginapan, pemandian umum, pusat-pusat Tharekat, dan lain- lain.
Rumah-rumah dan vila yang mewah juga dimiliki oleh pedagang-pedagang kaya.
Istana dan vila biasanya dilengkapi dengan taman dan tembok di sekelilingnya.
Jalan-jalan yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lain, terutama
dengan ibu kota dibangun.[19]
Istambul merupakan pusat peradaban Islam pada
masa kekuasaan Turki Usmani terpenting. Bukan saja pada keindahan kotanya akan
tetapi juga karena di kota bekas kekuasaan Romawi Timur itu terdapat
pusat-pusat kajian keilmuwan yang mendorong puncak kejayaan peradaban umat
Islam.[20]
Kemajuan di bidang intelektual di abad ke-19
pada masa pemerintahan Turki Usmani nampaknya tidak lebih menonjol dibandingkan
bidang politik dan kemiliteran. Di antaranya terdapat dua buah surat kabar yang
muncul yaitu, Berita harian Takvini Veka dan jurnal Tasviri Efkyar serta
Terjumaning Ahval dalam bidang pendidikan terjadinya transformasi
yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah tahun 1861 dan
perguruan tinggi 1869, juga mendirikan fakultas kedokteran dan hukum. Di
samping itu mengirimkan para pelajar yang berprestasi ke Perancis untuk melanjutkan
studinya yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dalam bidang sastra dan bahasa muncullah sastrawan-sastrawan
dengan hasil karyanya setelah menamatkan studi di luar negeri. Di antaranya
Ibrahim Shinasi pendiri surat kabar Tasviri Efkyar.[21]
Di masa Dinasti Usmani, Turki meliputi sebagian
negara Eropa, Asia Tengah, Afrika dan semenanjung Arab. Namun pada akhirnya
mengalami kemunduran. Belakangan hanya Turki saja sebagai wilayah dinasti
tersebut. Kemunduran tersebut lebih disebabkan adanya pertentangan internal
Dinasti Usmani serta pemberontakan dan upaya pelepasan diri dari negeri-negeri
jajahan. Pada masa Sultan Salim III (1789-1807) diupayakan birokrasi
namun mengalami kegagalan. Kegagalan Turki dalam upaya pembaharuan tersebut
dikecam oleh Eropa Barat sebagai “The Sick Man of Europe” (orang sakit
Eropa).
E.
Peradaban Islam
di Kota Delhi
Delhi merupakan ibu kota
kerajaan-kerajaan Islam di India sejak tahun 608 H/1211M sampai kerjaan Mughal
runtuh oleh Inggris tahun 1858. Kota Delhi terletak dipinggir sungai Jamna.
Sebelum Islam, Delhi berada di bawah kekuasaan keturunan Johan Rajput. Tahun
598 H (1193 M), kota ini ditaklukan oleh Qutb Al-Din Aybak dan tahun 602 H
(1204 M) dijadikan ibu kota kerajaan tersendiri. Dinasti Mamluk ini berkuasa
sampai tahun 689 H (1290 M), kemudian diganti oleh dinasti Khalji (1296-1316
M), setelah itu, dinasti Tughlug (1320-1413 M). Babur yang merupakan raja
pertama Mughal merebut kekuasaan Delhi dari tangan dinasti Lodi.
Dinasti Mamluk mendirikan
sebuah menara yang disebut “Qutb Manar” dengan tinggi 257 kaki, yang digunakan
sebagai tempat azan, tugu kemenangan dan juga masjid dengan nama “Qutb
Al-Islam”. Mamluk juga memperluas tembok kota Hindu yang dikenal dengan kota
Kil’a Ray Pithora yang merupakan “kota” pertama dari tujuh “kota” Delhi
tersebut.
Dinasti Khalji menambah
bangunan masjid dengan atap yang indah dan beberapa menara lagi. Ke sebelah
Barat, dinasti ini memperluas benteng Lalkot dengan maksud mempertahankan kota
dari serangan bangsa Mongol. Dengan demikian, ia memindahkan ibu kota ke Siri,
sekitar 2 km dari yang pertama. Inilah kota kedua.[22]
Sementara itu, raja
pertama dinasti Tughlug mendirikan Tughlughabad, sekitar 8 km di sebelah timur
Kil’a Ray Pithora, yang pada tahun 720 H / 1320 M menjadi pusat pemerintahan. Di tengah Tughlughabad didirikan istana,
masjid, perumahan, perkotaan dan jalan-jalan, yang dikelilingi oleh benteng
yang kuat. Muhammad ibn Tughlug juga melaksanakan sebuah proyek raksasa, yaitu
mendirikan Adilabad yang kemudian dikenal dengan nama kota Jahanpanah. Selain
itu, Fairuz Tughlug mendirikan kota Fairuzabad, 3 km di sebelah barat laut kota
yang kemudian dikenal dengan Syahjahanabad.
Setelah Delhi dihancurkan
oleh tentara Timur Lenk, kekuasaan raja-raja yang berkedudukan di Delhi merosot
tajam. Dinasti Lodi mengambil kota Agra sebagai ibu kota sementara, Delhi
menjadi kota yang kurang penting. Kota Agra juga untuk pertama kalinya menjadi
ibu kota kerjaan Mughal, ketika Babur mengalahkan dinasti Lodi. Delhi baru
menjadi ibu kota kerjaan Mughal pada masa Humayun (1530-1556). Beliau wafat
karena terjatuh dari tangga perpustakaannya, Din Panah. Raja Mughal lainnya,
Syah Jehan (1628-1658) M) mendirikan kota Syahjahanabad. Inilah “kota” terakhir
dari tujuh “kota” itu.
Kalau saja Timur Lenk tidak
menghancurkan Delhi, tentu akan banyak sekali bangunan mewah dan indah yang
dapat disaksikan. Delhi Islam yang dapat disaksikan sekarang adalah Delhi yang
hanya dibangun oleh kerajaan Mughal.[23]
F.
Peradaban Islam
di Andalusia
Ekspansi umat Islam ke
Spanyol terjadi masa Al-Walid menjabat khalifah (705-715 M). Kedatangan Islam
sudah tentu membawa kultur baru yang memperkaya Spanyol pada umumnya. Oleh
karena itu, akhirnya Spanyol (Andalusia) menjadi salah satu pusat peradaban
dunia, mengimbangi kejayaan Dinasti Umayyah di Damsyik (Damaskus) dan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad. Sejak Spanyol jatuh ketangan umat Islam secara politik,
Spanyol berada di bawah kekuasaan khalifah Bani Umayyah.
Dalam melakukan ekspansi
di Spanyol, umat Islam dengan mudah dapat meraih berbagai kemenangan sehingga
dalam waktu yang relatif singkat, umat Islam dapat menguasai Spanyol. Ada
beberapa faktor yang mendukung proses penguasaan umat Islam atas Spanyol.
Pertama, sikap penguasa Ghotic – sebutan lazim kerajaan Visighotie – yang tidak toleran
terhadap aliran agama yang berkembang saat itu. Penguasa Visighotie memaksakan
aliran agamanya kepada masyarakat. Kedua, perselisihan antara raja
Roderick demham Witiza (walikota Toledo) di satu pihak dan Ratu Julian di pihak
lain. Ketiga, bahwa tentara Roderick tidak mempunyai semangat perang.[24]
Dalam rentang waktu 7
setengah abad sejak masuknya Islam, umat Islam di Spanyol telah mencapai
kemajuan yang pesat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan.
Berbagai disiplin ilmu berkembang pesat pada masa itu, dengan banyaknya
bermunculan figur-figur ilmuwan yang cemerlang.
Kemajuan peradaban di
Spanyol Islam pada saat ini berimbas pada bangkitnya Renaisans dunia
barat pada abad pertengahan sehingga dapat dikatakan bahwa Arab Spanyol adalah
guru bagi Eropa dan Universitas Cordova, Toledo, sedangkan Seville berfungsi
sebagai sumber asli kebudayaan Arab, non-Arab, muslim, kristen, yahudi dan
agama lain sampai beberapa abad kemudian.[25]
Di Spanyol, banyak kota
Islam yang masyhur dan menjadi pusat peradaban Islam, salah satunya seperti
Kordova dan Granada.
1.
Kordova
Kordova terletak di
sebelah selatan lereng gunung Sierra de Cordova dan di tepi sungai
Guadalquivir. Sebelum Islam datang, Kordova adalah ibu kota kerajaan Kristen
Visigoth, sebelum dipindahkan ke Toledo. Spanyol ditaklukan oleh Islam pada
tahun 711 M pada masa Khalifah Al-Walid ibn Abd Al-Malik, di bawah pimpinan
Tarik ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair. Pada tahun 756 M, kota ini menjadi ibu
kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa pertama Bani
Umayyah di Spanyol adalah Abd Al-Rahman Al-Dakhil. Kekuasaan Bani Umayyah di
Andalusia berlangsung dari tahun 756-1031 M.
Sebagai ibu kota
pemerintahan, Kordova di masa Bani Umayyah mengalami perkembangan pesat. Banyak
bangunan baru yang didirikan, seperti istana dan masjid-masjid. Sebuah jembatan
dengan gaya arsitektur Islam dengan 16 lengkungan dalam gaya Romawi,
menghubungkan Kordova dengan daerah pinggiran di seberang sungai. Di sebelah
Barat jembatan, berdiri istana Al-Cazar. Puncak perkembangan Kordova pada masa
pemerintahan Abd Al-Rahman Al-Nashir di pertengahan abad ke-10 M.
Pada masa pemerintahan
Islam Kordova dikenal sebagai pusat kerajinan barang-barang dari perak,
sulaman-sulaman dari sutera dan kulit yang mempunyai bentuk khusus. Pada tahun
1236 M, Kordova direbut oleh tentara Kristen di bawah pimpinan Ferdinand III
dari Castilla. Setelah itu, supermasi Islam di Spanyol mulai mengalami
kemunduran.[26]
Pada masa pemerintahan
Bani Umayyah di Spanyol, Kordova menjadi pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini
berdiri Universitas Cordova. Terdapat pula sebuah perpustakaan besar yang
mempunyai koleksi buku + 400.000 judul. Kemanjuan ilmu pengetahuan ini
tidak terlepas dari jasa dua orang khalifah pencinta ilmu, Abd Al-Rahman
Al-Nashir dan anaknya Al-Hakam. Yang disebut terakhir ini memerintahkan
pegawainya untuk mencari dan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, baik klasik
maupun kontemporer. Ia menulis kepada penulis-penulis terkenal untuk
mendapatkan karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada masanyalah tercapai apa
yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan sastra di Spanyol Islam.
Di Kordova dipelajari ilmu
astronomi, geografi, ilmu kimia, dan sejarah alam. Masjid-masjid Kordova
menjadi pusat aktif filsafat dan ilmu. Kesusastraan dan ilmu Spanyol mengalami
masa keemasannnya di bawah pemerintahan Hakam Al-Mustansir Billah yang wafat
pada tahun 976 M.
Pada masa jayanya, di
Kordova terdapat 491 mesjid dan 900 pemandian umum. Penguasa muslim mendirikan
saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.[27]
2.
Granada
Granada terletak di tepi
sungai Genil di kaki gunung Sierra Nevada, berdekatan dengan pantai laut
Mediterania (Laut Tengah). Semula Granada adalah tempat tinggal orang Iberia,
kemudian menjadi kota orang Romawi dan baru terkenal setelah berada di tengah orang-orang
Islam. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Granada disebut
Andalusia Atas.
Pada masa pemerintahan
Bani Umayyah di Andalusia, Granada mengalami perkembangan pesat. Setelah
mengalami kemunduran tahun 1031 M, Granada diperintah oleh dinasti setempat,
yaitu dinasti Zirids. Setelah itu, Granada jatuh ke bawah pemerintahan
Al-Murabithun, sebuah dinasti Barbar dari Afrika Utara pada tahun 1090 M,
Al-Murabithun berkuasa sampai tahun 1149 M. Pada masa pemerintahannya, banyak
istana dibangun.
Pada abad ke-12, Granada
menjadi kota terbesar kelima di Spanyol. Kota ini dikelilingi oleh tembok.
Struktur penduduknya terdiri dari
berbagai bangsa, terutama Arab, Barbar, dan Spanyol yang menganut tiga agama
besar Islam, Kristen, dan Yahudi. Sejak abad ke-13, Granada diperitah oleh
dinasti Nasrid selama + 250 tahun. Pada masa itu dibangun sebuah
istana indah dan megah yang dikenal dengan nama istana Al-Hambra, berarti
merah. Istana ini dibangun dan dikembangkan oleh arsitek-arsitek muslim pada
tahun 1238-1358 M. Istana ini terletak di sebelah Timur Al-Kazaba, sebuah
benteng tentara Islam.
Granada terkenal dengan
tembok dan 20 menara yang mengitarinya. Granada mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Muhammad V (1354-1391 M), baik dalam arsitektur maupun
politik. Menjelang akhir abad ke-15 pemerintah menjadi lemah karena perpecahan
keluarga. Pada tahun 1492, kota ini jatuh ke tangan penguasa Kristen, raja
Ferdinand dan Isabella. Pada tahun 1610 M orang-orang Islam diusir dari kota
ini oleh penguasa Kristen.[28]
G.
Peradaban Islam
di Samarkand dan Bukhara
Samarkand terletak di
sebelah selatan sungai Al-Saghad. Kota ini beberapa kali diduduki oleh Iskandar
ketika ia dan pasukannya berperang melawan Spitamenes. Tetapi, menurut
riwayat-riwayat tertua dalam bahasa Arab, Iskandarlah yang mendirikan kota
Samarkand. Setelah tahun 323 M, kota ini menjadi bagian dari sebuah kekuasaan
yang berpusat di Bactria. Pada masa Anthiochus II Theos berdiri kerajaan Graeco-Bactrion
(Bactria Yunani), sejak itu hubungan politik dan ekonomi antara Samarkand
dengan Persia dan Cina terputus. Kota Bukhara diperkirakan sudah ada ketika
Iskandar datang ke sana.
Pada tahun 204 H (819 M),
Al-Ma’mun, khalifah dari dinasti Abbas yang berpusat di Baghdad, menyerahkan
urusan pemerintahan negeri Transoxiana, khususnya Samarkand dan Bukhara kepada
keluarga Asad ibn Saman. Sejak itu, dua kota ini berada dibawah kekuasaan
dinasti Samaniah. Pada masa ini Samarkand menjadi daerah yang sangat makmur dan
masyarakatnya hidup sejahtera. Sekalipun ibu kota pindah ke Bukhara, Samarkand
tetap merupakan kota terpenting, karena ia menjadi pusat perdagangan dan
kebudayaan Islam.[29]
Ketika itu Samarkand dan
Bukhara, masing-masing terbagi menjadi tiga bagian yaitu daerah benteng “kota”
sebagai pusat dan perkampungan. Di daerah benteng terdapat istana,
kantor-kantor pemerintahan dan penjara. Di sekitar “kota” digali parit yang
dalam dan tanahnya dibuat tembok kota. “Kota” di Samarkand mempunyai empat buah
pintu utama, sementara di Bukhara tujuh buah pintu. “Kota” berbatasan dengan
perkembangan, yang terdapat pasar-pasar besar, pertokoan, dan gudang harta yang
jarang terdapat di “kota”. Di tengah kota berdiri kantor-kantor pemerintahan
dan masjid jami’.
Penghasilan utama kota
Samarkand adalah kertas Samarkand yang terkenal. Sedangkan kota Bukhara
terkenal dengan perdagangan dan industri tenunnya. Hasil industri tenun ini
diekspor ke Syria, Mesir, dan Romawi. Di Samarkand terdapat makam terkenal dan
dihormati yaitu makam Qasim ibn ‘Abbas, yang dipandang sebagai pembawa agama
Islam ke negeri ini pada masa khalifah Usman ibn Affan. Di Bukhara juga
terdapat makam Baha’ Al-Din Al-Naqsyabandi yang wafat pada abad ke-8 H (14 M).
Terdapat pula seorang ulama terkenal pada masa itu, sebagai pendiri aliran
teologi Islam yang dikenal dengan aliran Maturidiah yaitu Abu Manshur
Al-Maturidi yang wafat di Samarkand tahun 333 H (944 M). Aliran ini
dikembalikan oleh muridnya bernama Abu Al Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H /
1030-1494 M) di Bukhara yang melahirkan aliran teologi Islam dan dikenal dengan
aliran Maturidiah Bukhara. Ulama terkenal lainnya dari Bukhara adalah Imam
Al-Bukhari, seorang ahli hadits terkenal di dunia Islam yang menulis kitab Shahih
Al-Bukhari. Bukhara memang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu keagamaan Islam.
Setelah dinasti Samaniah
runtuh, Samarkand dan Bukhara jatuh ke tangan dinasti Seljuk Sanjar tahun 495 H
(1102 M), tetapi 40 tahun kemudian (536 H/1141 M), kota ini direbut oleh
dinasti Khawarizmsyah yang menjadikan Bukhara sebagai pusatnya. Pada tahun 606
H (1209 M), dua kota ini dikepung oleh Jengis Khan selama beberapa bulan
setelah ia menyeberangi sungai Jihun. Bukhara merupakan kota Islam pertama yang
diserang Jengis Khan pada tahun 616 H (1220 M), setahun kemudian kota
Samarkand.[30]
Selama 150 tahun
berikutnya, sejarah kota ini sangat menyedihkan. Rumah-rumah penduduk sangat
sedikit, dikelilingi oleh puing-puing. Bangkit kembali pada tahun 771 H (1369
M), pada masa pemerintahan Timur Lenk, penguasa tertinggi di Transoxiana. Timur
Lenk menjadikan Samarkand sebagai ibu kota pemerintahannya. Kota ini diperindah
oleh Ulugh Bek (w. 857 H / 1449 M), cucu Timur Lenk, dengan mendirikan sebuah
istana yang sangat megah. Secara politik Bukhara menjadi kota yang tak berarti.
Pada tahun 906 H (1500 M),
dua kota ini jatuh ke tangan Syaibani, raja Uzbek, lalu direbut oleh Babur,
raja Mughal India. Tahun berikutnya kembali dikuasai orang-orang Uzbekistan.
Pada tahun 1917 M, Uni Soviet berdiri dan Uzbekistan yang di dalamnya terdapat
Samarkand dan Bukhara menjadi bagian dari Uni Soviet. Sejak tahun 1992 M,
Uzbekistan menjadi negara muslim merdeka, karena Uni Soviet bubar dengan
sendirinya.[31]
BAB III
KESIMPULAN
Peradaban-peradaban Islam
yang telah di alami di daerah Baghdad, Kairo, Isfahan,
Istambul, Delhi, Andalus, Samarkand dan Bukhara memiliki
kontribusi besar dalam berbagai bidang seperti: pendidikan dan ilmu
pengetahuan, politik dan pemerintahan, ekonomi, arsitektur. Peradaban dalam
bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan Kota Baghdad memiliki perpustakaan yang
dipenuhi dengan beribu-ribu ilmu pengetahuan yang bernama Bait Al-Hikmah,
Perguruan Mustanshiriyah, serta para ilmuwan yaitu Al- Khawarizmi, Al-Kindi,
Al-Razi, Al-Farabi, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad ibn Hambal, Al- Ghazali, Abd
Al-Qadir Al-Jilani, Ibn Muqaffa’, dan lain-lain. Peradaban dalam bidang politik dan pemerintahan
di Kairo dengan pelaksanaaan tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam
bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.
Peradaban Islam dalam
bidang ekonomi di Kota Isfahan dengan di kuasainya Kepulauan Hurmuz dan
Pelabuhan Gumrun dan diubah menjadi Bandar Abbas yang menjadi salah satu jalur
dagang yang menghubungkan antara timur dan barat. Peradaban dalam bidang
arsitektur di Kota Istambul dengan pembangunan masjid, Gereja Ayashopia yang
diubah menjadi masjid Agung terpenting di Istambul dengan menutup gambar
makhluk hidup sebelumnya, mendirikan mihrab yang dindingnya dihiasi dengan
kaligrafi indah dan menara-menara, Masjid Agung Al-Muhammady, Masjid Abu Ayyub
Al-Anshory sebagai tempat pelantikan para Sultan Usmani, Masjid Bayazid dengan
gaya Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni.
Selain itu pusat-pusat
peradaban Islam lain yang ikut memajukan Islam adalah Delhi, Spanyol, Samarkand
dan Bukhara. Di mana di kota-kota tersebut banyak bermunculan ilmuan-ilmuan
muslim yang berpengaruh dalam kemajuan peradaban pada masa itu dan berdirinya
bangunan-bangunan bersejarah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Amzah. 2009.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung
: Pustaka Setia. 2008.
Syukur, Fatah. Sejarah
Peradaban Islam. Semarang:
PT.Pustaka Riski Putra. 2009.
Thohir, Aji. Studi Kawasan Bumi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam-Dirasah Islamiyyah II. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar