Sugeng Rawuh Teng Blog Kula "Dinazad"

Sabtu, 16 Mei 2015

PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peradaban adalah suatu proses perubahan cara hidup manusia. Kemajuan yang dicapai dalam aspek bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, sosial, politik, hukum dan agama. Prosesnya berjalan secara berangsur-angsur dalam waktu yang lama.
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Landasan peradaban Islam adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi, dalam Islam tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[1]
Peradaban Islam pada mulanya mulai dari zaman Rasulullah SAW sampai abad ke-12 M telah berhasil gemilang dengan membangun peradaban-peradabannya yang untuk melahirkan sejarawan kelas dunia. Di permukaan alam dunia ini pernah timbul beberapa peradaban, tetapi kemudian menghilang dan sirna. Begitu pula dengan bangsa-bangsa yang dulunya begitu besar dan jaya lama-kelamaan menjadi kecil dan akhirnya lenyap, dan digantikan dengan bangsa baru timbul makin lama makin maju dan menjadi bangsa yang besar pula, hingga pada suatu ketika dengan pengalaman-pengalaman itu menjadikan manusia menjadi matang untuk menerima kemajuan yang sesungguhnya dalam segala bidang.
Pada waktu Islam datang seluruh dunia sedang mengalami kemunduran di semua bidang dan lapangan. Belum berlalu masa seratus tahun, Islam telah menegakkan dan memperbaharui serta meluruskan paham agama-agama yang telah lalu, ilmu pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, peradaban yang membawa kebahagiaan dan politik yang selalu menguntungkan, yang semuanya telah disiarkan di seluruh dunia dengan cepat dan penuh kebenaran.[2]
Dalam konteks peradaban, Islam mampu menampilkan peradaban baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Peradaban yang ditinggalkan nabi Muhammad ini misalnya, sangatlah berbeda dengan peradaban Arab pada masa jahiliyah. Dengan demikian, Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Peradaban Islam berkembang sangat maju dalam percaturan peradaban dunia bahkan jauh sebelum kebangkitan Eropa, sehingga muncullah kawasan-kawasan pusat peradaban Islam yang masing-masing memiliki karakteristik sesuai dengan kondisi sosial budaya dan politik yang mendukungnya. Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi wilayah Baghdad, Kairo (Mesir), Isfahan (Persia), Istambul (Turki), Delhi (India), Andalus (Spanyol), Samarkhand dan Bukhara (Transoxania).

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Dimana saja pusat-pusat peradaban Islam berada?
2.      Bagaimana gambaran peradaban Islam yang ada di daerah pusat-pusat peradaban Islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peradaban Islam di Kota Baghdad
Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas wilayah: di selatan berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di sebelah utara berbatasan dengan Turki, di bagian barat dengan Yordania dan Syiria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Irak berada tepat di bagian timur wilayah Bulan Sabit Subur yang dulu sering disebut daerah Mesopotamia kosa kata Yunani yang berarti “lahan di antara dua sungai”: Sungai Tigris dan Sungai Efrat. Kedua aliran sungai ini sangat mempengaruhi pola kehidupan dan lingkungan penduduk Irak dari masa ke masa.[3]
Didirikan oleh Khalifah Abbasiyah kedua, yaitu Al- Manshur (754-755 M) pada tahun 763 M dan di jadikan sebagai ibu kota pemerintahannya. Terletak di pinggir Sungai Tigris. Menurut cerita rakyat, daerah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan Kisra Anusyirwan, seorang raja Persia yang masyhur, di musim panas. Baghdad sendiri mempunyai arti “Taman Keadilan”. Masa keemasan Kota Baghdad terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al- Rasyid (786- 806 M) dan anaknya Al-Ma’mun (813-833 M).[4]
Peradaban yang dicapai pada masa Khalifah Al- Manshur diantaranya pada pembangunan fisik, dengan mendesain kota ini berbentuk bundar, yang di sekililingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air dan sekaligus sebagai benteng. Disediakannya empat buah pintu gerbang di sekitar kota ini untuk setiap orang yang ingin memasuki kota ini. Keempat pintu gerbang itu adalah Bab al- Kufah yang terletak di sebelah barat daya, Bab al- Syam di barat laut, Bab al- Bashrah di tenggara, dan Bab al- Khurasan di timur laut. Di masing-masing pintu gerbang di bangun 28 menara untuk tempat pengawal negara yang mengawasi keadaan di luar. Terdapat tempat peristirahatan dengan ukiran indah dan menyenangkan pada setiap pintu gerbang bagian atas.
Di tengah-tengah kota terdapat Al- Qashar Al- Zahabi yang merupakan istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Dilengkapi dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan empat pintu gerbang. Semua pembangunan itu di kerjakan oleh ahli bangunan yang terdiri dari arsitek- arsitek, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, ahli pahat, dan lain- lain. Mereka semua didatangkan khalifah dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kuffah dengan jumlah sekitar 100. 000 orang.[5]
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Al-Manshur memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah dan kesusteraan dari bahasa Inggris, India, Yunani lama, Bizantium, Persia, dan Syiria ke dalam bahasa Arab. Sehingga sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi kota peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sehingga julukan sebagai kota intelektual pun di berikan dari Philip K. Hitti terhadap Kota Baghdad. Para peminat ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong datang ke kota ini.
Kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam di dunia setelah masa Al-Manshur. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah mati, yang kemudian dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah Al- Ma’mun memiliki perpustakaan yang dipenuhi dengan beribu-ribu ilmu pengetahuan yang bernama Bait Al-Hikmah. Banyak para ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan.
Berdiri banyak akademi, sekolah tinggi dan sekolah biasa di kota ini. Diantaranya Perguruan Nizhamiyyah yang didirikan oleh Nizham Al- Mulk, seorang wazir Sultan Seljuk pada abad ke-5 H. Perguruan Mustanshiriyah yang didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir Billah.[6]
Dalam bidang sastra, Kota Baghdad terkenal dengan hasil karya yang indah dan di sukai orang. Di antaranya Alf Lailah wa Lailah, atau Kisah Seribu Malam. Para saintis, ulama, filosof, dan sasterawan Islam yang terkenal banyak muncul dari kota ini, seperti Al- Khawarizmi (ahli astronomi dan matematika, penemu ilmu aljabar), Al-Kindi (filosof Arab pertama), Al-Razi (filosof, ahli fisika dan kedokteran), Al-Farabi (filosof besar dengan julukan al-Mu’allim al-Tsani), Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad ibn Hambal, Al- Ghazali (filosof, teolog, dan sufi besar dalam Islam dengan julukan Hujjah al-Islam), Abd Al-Qadir Al-Jilani (pendiri Tarekat Qadariyah), Ibn Muqaffa’ (sasterawan besar), dan lain-lain.[7]
Perkembangan dalam bidang ekonomi Kota Baghdad berjalan seiring dengan perkembangan politik. Perdagangan dan industri berkembang pesat pada masa Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Tiga buah pelabuhan yang ramai yang banyak dikunjungi para kalifah dagang internasional (Cina, India, Asia Tengah, Syria, Persia, Mesir dan Afrika lainnya), dua di Bashrah dan Sirat di Teluk Persia, adalah faktor pendukung perkembangan kehidupan ekonomi di Kota Baghdad.
Di Kota Baghdad juga menjadi pusat tempat ziarah bagi orang muslim karena banyaknya orang suci yang di makamkan di sana, sehingga mendapat julukan Benteng Kesucian. Diantaranya makam Imam Musa Al-Kazhim (Imam ketujuh Syi’ah), Syekh Junaid, Syibli, dan Abdul Kadir Jailani (semuanya pemimpin-pemimpin kaum sufi). Para khalifah dan permaisurinya juga banyak dimakamkan di kota Baghdad.
Kota terindah dan termegah di dunia pada masanya itu, mencapai masa kegemilangannya sebelum dihancurkan oleh Tentara Mongol, kota ini memperlihatkan pemandangan yang indah, sehingga diabadikan dalam Syair Gubahan Anwari.
Semua keindahan Kota Baghdad hanya tinggal kenangan yang seolah-olah hanyut dibawa arus Sungai Tigris, setelah dibumi hanguskan oleh Tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258 M. Semua bangunan kota, termasuk istana emas tersebut dihancurkan. Pasukan Mongol juga meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu dan membakar buku-buku yang terdapat di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pasukan Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh Tentara Kerajaan Safawi. Kota Baghdad yang sekarang menjadi ibu kota Irak dengan lokasi yang sama tetapi tidak mencerminkan kemajuan Kota Baghdad lama.[8]

B.     Peradaban Islam di Kota Kairo
Kota yang terletak di tepi Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa Dinasti Fatimiah, di masa Shalah Al-Din Al-Ayyubi, dan di bawah Baybars dan Al-Nashir pada masa Dinasti Mamalik.[9] Dinasti Fathimiyah adalah satu- satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam.
Setelah panglima Jauhar Al-Siqili menduduki Mesir pada tahun 358 H, maka ia mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Fustat, ke kota yang akan dibangun. Pada tanggal 17 Sya’ban 358 H (969 M), Jauhar As-Saqili memulai pembangunan kota baru untuk menjadi ibu kota Dinasti Fathimiyah. Kota ini mula-mula diberi nama kota “Mansyuriyah” dinisbatkan kepada Mansur Al-Mu’iz Lidinilah. Setelah Mu’iz sendiri sampai di Mesir, namanya diubah menjadi Qahirah Mu’iziyah.[10]
Bentuk kota Kairo ini hampir merupakan segi empat. Di  sekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini  memanjang dari Masjid Ibn Thulun sampai ke Qal’at Al- Jabal, memanjang dari Jabal Al-Muqattam sampai ke tepi Sungai Nil. Setelah pembangunan kota Kairo rampung lengkap dengan istananya, Al-Siqili mendirikan Masjid Al-Azhar, 17 Ramadhan 359 H/970 M. Masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Azhar diambil dari Al-Zahra’, julukan Fathimiah, puteri Nabi Muhammad SAW dan istri ‘Ali ibn Abi Thalib, Imam pertama Syi’ah.
Dalam pemerintahannya Al-Mu’iz melaksanakan tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang administrasi, beliau mengangkat seorang wazir untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, beliau memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk Madzhad Syi’ah dan dua untuk Madzhab Sunni.
Pada masa Al-Aziz menggunakan program baru dengan mendirikan masjid- masjid, istana, jembatan, dan kanal- kanal baru. Pada masa Aziz Billah dan Hakim Biamrillah, terdapat seorang mahaguru bernama Ibn Yunus menemukan pendulum dan ukuran waktu dengan ayunannya. Karyanya Zij al-Akbar al-Hakimi diterjemahkan ke berbagi bahasa. Beliau meninggal pada tahun 1009 M kemudian penemuan-penemuannya diteruskan oleh Ibn Al-Nabdi (1040) dan Hasan Ibn Haitham, seorang astronom dan ahli optika, yang tersebut terakhir ini menemukan sinar cahaya datang dari objek ke mata dan bukan keluar dari mata lalu mengenai dunia luar.
Pada masa Al-Hakim (996-1021 M) didirikan Bait Al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al-Makmun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah. Pada masa-masa selanjutnya, Dinasti Fathimiah mulai mendapat gangguan-gangguan politik. Akan tetapi Kairo tetap menjadi sebuah kota besar dan penting. Ketika jayanya, di Kairo telah memiliki kurang lebih 20.000 toko milik khalifah. Kafilah-kafilah, tempat-tempat pemandian dan sarana umum lainnya telah didirikan oleh khalifah. Istana khalifah dihuni 30.000 orang, 12.000 orang diantaranya adalah pembantu dan 1.000 pengawal berkuda.[11]
Dinasti Fathimiah dapat ditumbangkan Dinasti Ayyubiah yang didirikan Al-Din, seorang pahlawan dalam Perang Salib. Beliau tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiah, tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah menjadi Sunni.[12] Beliau juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang di lengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah  kamus-kamus biografi, kompendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat fikiran.
Kekuasaan Dinasti Ayyubiah di Mesir diambil alih oleh Dinasti Mamalik. Dinasti ini mampu mempertahankan pusat kekuasaannya dari serangan Mongol dan mengalahkan Tentara Mongol itu di Ayn Jalut dibawah pimpinan Baybars. Hal yang dilakukan Baybars yaitu memugar bangunan-bangunan kota, merenovasi Al-Azhar dan pada tahun 1261 M mengundang keturunan dari Abbasiyah untuk melanjutkan khilafahnya di Kairo. Dengan demikian prestise kota ini semakin menanjak. Banyak  bangunan yang didirikan dengan arsitektur yang indah-indah pada masanya dan masa-masa kekuasaan Dinasti Mamalik berikutnya. Kejayaan Dinasti Mamalik memang berlangsung agak lama. Pada tahun 1517 M, dinasti ini  dikalahkan oleh Kerajaan Utsmani yang berpusat di Turki dan sejak itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari Kerajaan Ustmani tersebut.[13]
Pada waktu itu, Kairo menjadi satu-satunya pusat peradaban Islam yang terpenting, di karenakan kota ini selamat dari serangan Mongol yang di pimpin oleh Panglima Jauhar As-Saqili.

C.    Peradaban Islam di Kota Isfahan
Isfahan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy, tempat berdirinya Syahrastan dan Yahudiyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi. Ada beberapa pendapat tentang kapan kota ini ditaklukan oleh tentara Islam. Pendapat pertama mengatakan penaklukan itu terjadi pada tahun 19 H (640 M), dibawah pimpinan Abdullah ibn ‘Atban atas perintah Umar ibn Al-Khattab untuk menaklukan kota Jayy yang merupakan salah satu ibu kota provinsi Persia waktu itu.
Setelah beberapa peristiwa, penguasanya memilih masuk Islam dari pada membayar pajak. Pendapat lain, yaitu Al-Thabari menyebutkan bahwa penaklukan itu terjadi pada tahun 21 H (642 M). Aliran Bashrah menyebutkan, penaklukan Isfahan terjadi pada tahun 23 H (644 M) di bwah pimpinan Abu Musa Al-‘Asy’ari yaitu setelah penaklukan Nahawand, atau di bawah pimpinan Abdullah ibn Badil yang menerima penyerahan kota itu dengan syarat pembayaran pajak. Penaklukan ulang terjadi pada masa khalifah Abbasiyah, Al-Mu’taz. Ketika tentara Abbasiyah berusaha memadamkan pemberontakan Al-Alawiyin di Tobaristan tahun 247 H(861 M). Sejak itu, kota ini menjadi kota penting sebagai ibu kota provinsi dan pusat industri dan perdagangan.[14]
Ketika raja Safawi, Abbas I, menjadikan Isfahan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk. Sebagaimana telah disebutkan, kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara dua lainnya di pinggiran kota.
Kota ini berbentuk bundar, pintunya ada empat dengan menara pengontrol sebanyak seratus buah. Letak tembok kota sekitar setengah Farsak (satu farsakh sekitar 8 km atau 3,5 mil). Di dalam kota ini terdapat bangunan menyerupai benteng, disekitrnya terdapat tambang terbuat dari perak yang sudah tidak berfungsi lagi sejak penaklukan tentara Islam, dan juga tambang tembaga batu bahan celak. Ardasyir, raja Persia, pernah membangun irigasi untuk pengaturan air dari sungai Zandah, bernama Zirrin Rod, berarti sungai emas. Hingga sekarang, perekonomian negeri ini sangat tergantung kepada pertanian kapas, candu, dan tembkau.
Kota ini, sebelum berada di bawah kekuasaan Kerajaan Safawi, sudah beberapa kali mengalami pergantian penguasa, Dinasti Samani tahun 301 H/913 M, kemudian direbut Mardawij tahun 316 H/928 M dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Setelah itu jatuh ke tangan kekuasaan Bani Buwaih dan pada tahun  421 H/1030 M direbut oleh Mahmud Al-Ghaznawi, penguasa Dinasti Ghaznawiah. Dari penguasa Ghaznawi ini, Isfahan lepas ke tangan penguasa Seljuk dan dijadikan sebagai tempt tinggal Sultan Maliksyah. Di awal abad ke-6 H/ 12 M, di kota ini Syi’ah Ismailiah banyak memperoleh pengikut. Pada tahun 625 H/ 1228 M terjadi pertempuran besar di sini, ketika tentara Mongol datang menyerbu negeri-negeri Islam dan menjadikan Isfahan sebagai salah satu bagian dari wilayah kekuasaan Mongol itu. Ketika Timur Lenk menyerbu negeri-negeri Islam kota ini ikut jatuh ke tangannya tahun 790 H/ 1388 M dan 7000 penduduk terbunuh. Setelah itu kota ini dikuasai oleh Kerajaan Usmani tahun 955 H/1548 M, dan pada tahun 1134 H/ 1721 M, terjadi pertempuran antara Husein Syah, raja Safawi dengan Mahmud Al-Afghani, yang mengakhiri riwayat kerajaan Safawi sendiri. Pada tahun 1141 H/1729 M, kota ini berada di bawah kekuasaan Nadzir Syah.
Kota ini, ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Safawi di kelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kota banyak berdiri bangunan, seperti seperti istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas I, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. Di samping itu juga ada lapangan dan tanaman yang terawat baik dan menawan.[15]
Kerajaan Safawi berdiri di saat Kerajaaan Utsmani di Turki mencapai puncak kejayannya. Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tharikat di Ardabil sebuah  kota di Azerbeijan (wilayah Rusia) yang berdiri hampir bersamaan dengan Kerajaan Utsmani di Turki. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M). Kerajaan Safawiyah menganut ajaran Syi’ah dan di tetapkan sebagai madzhab negaranya. Safi Al-Din  keturunan dari Imam Syi’ah yang ke enam Musa Al-Kazim. Karena alim dan sifat zuhudnya maka Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya yang bernama Syekh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang di kenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dalam waktu yang tidak lama tarekat ini berkembang pesat di Persia, Syiria, Asia kecil.
Masa kemajuan Kerajaan Safawi di Persia dalam bidang ekonomi, yaitu telah di kuasainya Kepulauan Hurmuz dan Pelabuhan Gumrun yang telah  di ubah menjadi Bandar Abbas pada masa Abbas I. Maka salah satu jalur dagang yang menghubungkan antara timur dan barat sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Di samping sektor perdagangan kerajaan Safawi jug mengalami kemajuan di sektor pertanian terutam di diaerah Bulan Sabit Subur (fortille crescent).
Dalam bidang ilmu pengetahuan sejarah Islam bangsa Pesia dianggap berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Maka tidaklah mengherankan apabila kondisi tersebut terus berlanjut, sehingga muncul ilmuwan seperti, Baha Al-Din Asy-Syaerozi, Sadar Al-Din Asy-Syaerozi, Muhammad Al-Baqir Al-Din ibn Muhammad Damad, masing-masing ilmuwan di bidang filsafat, sejarah, teolog, dan ilmu umum.
Kemajuan seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah ibu kota ini, seperti masjid, sekolah, rumah sakit, kebun wisata, jembatan yang memanjang di atas Zende Rud dan Istana Chihilsutun.[16]

D.    Peradaban Islam di Kota Istambul
Kota Istambul adalah ibu kota Kerajaan Turki Usmani. Kota ini awalnya merupakan ibu kota Kerajaan Romawi Timur dengan nama Konstantinopel. Konstantinopel sebelumnya sebuah kota bernama Bizantium, kemudian diganti dengan nama Konstantinopel oleh Kaisar Romawi Timur, Kaisar Constantin.
Pada tahun 395 M, Kerajaan Romawi pecah menjadi dua, Romawi Timur dan Romawi Barat. Romawi Barat yang beribu kota di Roma (Italia) sedangkan Romawi Timur beribu kota di Konstantinopel.
Konstantinopel jatuh ke tangan umat Islam pada masa Dinasti Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad II yang bergelar  Muhammad Al-Fatih tahun 1453, dan dijadikan ibu kota Kerajaan Turki Usmani. Bahkan jauh sebelum Sultan Muhammad Al-Fatih dapat menguasai Konstantinopel, para penguasa Islam sudah sejak zaman Khulafaur Rasyidin, kemudian Khalifah Bani Umayyah, dan Khalifah Bani Abbasiyyah berusaha untuk menaklukan kota Konstantinopel, namun baru pada masa Kerajaan Turki Usmani usaha itu dapat berhasil.
Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, kota Konstantinopel yang artinya kota Constantin, yang diubah namaya menjadi  Istambul yang artinya kota Islam. Wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Eropa timur, Asia kecil, dan Afrika Utara. Bahkan kekuasaan Istambul juga diakui oleh daerah-daerah Islam.[17]
Setelah Muhammad Al-Fatih menjadikan Istambul sebagai ibu kota kerajaan Turki Usmani, beliau melakukan penataan hal-ihwal orang-orang Kristen Yunani (Romawi). Dalam penataan tersebut beliau tetap memberikan kebebasan kepada pihak gereja, seperti yang dilakukan para pendahulunya dan mengakui agama lain sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati keyakinan suatu agama. Penduduk Istambul memang heterogen dalam bidang agama. Menurut sensus tahun 1477, penduduk Istambul berdasarkan agama adalah sebagai berikut: Muslim 8951 rumah tangga (60 %),   penganut Kristen Ortodoks (Yunani) 3151 rumah tangga( 21,5%), Yahudi 1647 rumah tangga (11%), lain-lain 1054 rumah tangga (7,5% ).[18]
Sebagai ibu kota, di sinilh tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Bangsa Turki Utsmani banyak mengambil ajaran etika dan politik dari bangsa Persia. Sebagai bangsa berasal dari Asia Tengah, Turki memang suka berasimilasi dan senang bergaul dengan bangsa lain. Dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan, kebudayan Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki Utsmani ini. Namun, jauh sebelum mereka berasimilasi dengan bangsa-bangsa tersebut, sejak pertama kali mereka masuk Islam bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan hukum. Huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajan. Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan Sultan, tetapi roda pemerintahan dijalankan oleh Shadr Al-A’zham (Perdana menteri) yang berkedudukan di ibu kota. Jabatan-jabatan penting, termasuk perdana menteri, seringkali justru diserahkan kepada orang-orang asal Eropa, dengan syarat menyatakan diri secara formal masuk Islam.
Dalam bidang arsitektur, masjid-masjid yang dibangun di sana membuktikan kemajuannya. Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin mendapat fasilitas lengkap untuk menjalankan kewajiban agamanya, Gereja Aya Sophia, setelah penaklukan diubah menjadi sebuah masjid agung yang terpenting di Istambul. Gambar-gambar makhluk hidup yang ada sebelumnya ditutup, mihrab didirikan, dindingnya dihiasi dengan kaligrafi yang indah, dan menara-menara dibangun. Masjid-masjid penting lainnya adalah Masjid Agung Al-Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari (tempat penaklukan para Sultan Utsmani), Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni.
Di samping masjid, para sultan juga mendirikn istana-istana dan vila-vila yang megah, sekolah, asrama, rumah sakit, panti asuhan, penginapan, pemandian umum, pusat-pusat Tharekat, dan lain- lain. Rumah-rumah dan vila yang mewah juga dimiliki oleh pedagang-pedagang kaya. Istana dan vila biasanya dilengkapi dengan taman dan tembok di sekelilingnya. Jalan-jalan yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lain, terutama dengan ibu kota dibangun.[19]
Istambul merupakan pusat peradaban Islam pada masa kekuasaan Turki Usmani terpenting. Bukan saja pada keindahan kotanya akan tetapi juga karena di kota bekas kekuasaan Romawi Timur itu terdapat pusat-pusat kajian keilmuwan yang mendorong puncak kejayaan peradaban umat Islam.[20]
Kemajuan di bidang intelektual di abad ke-19 pada masa pemerintahan Turki Usmani nampaknya tidak lebih menonjol dibandingkan bidang politik dan kemiliteran. Di antaranya terdapat dua buah surat kabar yang muncul yaitu, Berita harian Takvini Veka dan jurnal Tasviri Efkyar serta Terjumaning Ahval  dalam bidang pendidikan terjadinya transformasi yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah tahun 1861 dan perguruan tinggi 1869, juga mendirikan fakultas kedokteran dan hukum. Di samping itu mengirimkan para pelajar yang berprestasi ke Perancis untuk melanjutkan studinya yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dalam bidang sastra dan bahasa muncullah sastrawan-sastrawan dengan hasil karyanya setelah menamatkan studi di luar negeri. Di antaranya Ibrahim Shinasi pendiri surat kabar Tasviri Efkyar.[21]
Di masa Dinasti Usmani, Turki meliputi sebagian negara Eropa, Asia Tengah, Afrika dan semenanjung Arab. Namun pada akhirnya mengalami kemunduran. Belakangan hanya Turki saja sebagai wilayah dinasti tersebut. Kemunduran tersebut lebih disebabkan adanya pertentangan internal Dinasti Usmani serta pemberontakan dan upaya pelepasan diri dari negeri-negeri jajahan. Pada masa Sultan Salim III (1789-1807) diupayakan  birokrasi namun mengalami kegagalan. Kegagalan Turki dalam upaya pembaharuan tersebut dikecam oleh Eropa Barat sebagai “The Sick Man of Europe” (orang sakit Eropa).

E.     Peradaban Islam di Kota Delhi
Delhi merupakan ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di India sejak tahun 608 H/1211M sampai kerjaan Mughal runtuh oleh Inggris tahun 1858. Kota Delhi terletak dipinggir sungai Jamna. Sebelum Islam, Delhi berada di bawah kekuasaan keturunan Johan Rajput. Tahun 598 H (1193 M), kota ini ditaklukan oleh Qutb Al-Din Aybak dan tahun 602 H (1204 M) dijadikan ibu kota kerajaan tersendiri. Dinasti Mamluk ini berkuasa sampai tahun 689 H (1290 M), kemudian diganti oleh dinasti Khalji (1296-1316 M), setelah itu, dinasti Tughlug (1320-1413 M). Babur yang merupakan raja pertama Mughal merebut kekuasaan Delhi dari tangan dinasti Lodi.
Dinasti Mamluk mendirikan sebuah menara yang disebut “Qutb Manar” dengan tinggi 257 kaki, yang digunakan sebagai tempat azan, tugu kemenangan dan juga masjid dengan nama “Qutb Al-Islam”. Mamluk juga memperluas tembok kota Hindu yang dikenal dengan kota Kil’a Ray Pithora yang merupakan “kota” pertama dari tujuh “kota” Delhi tersebut.
Dinasti Khalji menambah bangunan masjid dengan atap yang indah dan beberapa menara lagi. Ke sebelah Barat, dinasti ini memperluas benteng Lalkot dengan maksud mempertahankan kota dari serangan bangsa Mongol. Dengan demikian, ia memindahkan ibu kota ke Siri, sekitar 2 km dari yang pertama. Inilah kota kedua.[22]
Sementara itu, raja pertama dinasti Tughlug mendirikan Tughlughabad, sekitar 8 km di sebelah timur Kil’a Ray Pithora, yang pada tahun 720 H / 1320 M menjadi pusat pemerintahan.  Di tengah Tughlughabad didirikan istana, masjid, perumahan, perkotaan dan jalan-jalan, yang dikelilingi oleh benteng yang kuat. Muhammad ibn Tughlug juga melaksanakan sebuah proyek raksasa, yaitu mendirikan Adilabad yang kemudian dikenal dengan nama kota Jahanpanah. Selain itu, Fairuz Tughlug mendirikan kota Fairuzabad, 3 km di sebelah barat laut kota yang kemudian dikenal dengan Syahjahanabad.
Setelah Delhi dihancurkan oleh tentara Timur Lenk, kekuasaan raja-raja yang berkedudukan di Delhi merosot tajam. Dinasti Lodi mengambil kota Agra sebagai ibu kota sementara, Delhi menjadi kota yang kurang penting. Kota Agra juga untuk pertama kalinya menjadi ibu kota kerjaan Mughal, ketika Babur mengalahkan dinasti Lodi. Delhi baru menjadi ibu kota kerjaan Mughal pada masa Humayun (1530-1556). Beliau wafat karena terjatuh dari tangga perpustakaannya, Din Panah. Raja Mughal lainnya, Syah Jehan (1628-1658) M) mendirikan kota Syahjahanabad. Inilah “kota” terakhir dari tujuh “kota” itu.
Kalau saja Timur Lenk tidak menghancurkan Delhi, tentu akan banyak sekali bangunan mewah dan indah yang dapat disaksikan. Delhi Islam yang dapat disaksikan sekarang adalah Delhi yang hanya dibangun oleh kerajaan Mughal.[23]

F.     Peradaban Islam di Andalusia
Ekspansi umat Islam ke Spanyol terjadi masa Al-Walid menjabat khalifah (705-715 M). Kedatangan Islam sudah tentu membawa kultur baru yang memperkaya Spanyol pada umumnya. Oleh karena itu, akhirnya Spanyol (Andalusia) menjadi salah satu pusat peradaban dunia, mengimbangi kejayaan Dinasti Umayyah di Damsyik (Damaskus) dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Sejak Spanyol jatuh ketangan umat Islam secara politik, Spanyol berada di bawah kekuasaan khalifah Bani Umayyah.
Dalam melakukan ekspansi di Spanyol, umat Islam dengan mudah dapat meraih berbagai kemenangan sehingga dalam waktu yang relatif singkat, umat Islam dapat menguasai Spanyol. Ada beberapa faktor yang mendukung proses penguasaan umat Islam atas Spanyol.
Pertama, sikap penguasa Ghotic – sebutan lazim kerajaan Visighotie – yang tidak toleran terhadap aliran agama yang berkembang saat itu. Penguasa Visighotie memaksakan aliran agamanya kepada masyarakat. Kedua, perselisihan antara raja Roderick demham Witiza (walikota Toledo) di satu pihak dan Ratu Julian di pihak lain. Ketiga, bahwa tentara Roderick tidak mempunyai semangat perang.[24]
Dalam rentang waktu 7 setengah abad sejak masuknya Islam, umat Islam di Spanyol telah mencapai kemajuan yang pesat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu berkembang pesat pada masa itu, dengan banyaknya bermunculan figur-figur ilmuwan yang cemerlang.
Kemajuan peradaban di Spanyol Islam pada saat ini berimbas pada bangkitnya Renaisans dunia barat pada abad pertengahan sehingga dapat dikatakan bahwa Arab Spanyol adalah guru bagi Eropa dan Universitas Cordova, Toledo, sedangkan Seville berfungsi sebagai sumber asli kebudayaan Arab, non-Arab, muslim, kristen, yahudi dan agama lain sampai beberapa abad kemudian.[25]
Di Spanyol, banyak kota Islam yang masyhur dan menjadi pusat peradaban Islam, salah satunya seperti Kordova dan Granada.
1.      Kordova
Kordova terletak di sebelah selatan lereng gunung Sierra de Cordova dan di tepi sungai Guadalquivir. Sebelum Islam datang, Kordova adalah ibu kota kerajaan Kristen Visigoth, sebelum dipindahkan ke Toledo. Spanyol ditaklukan oleh Islam pada tahun 711 M pada masa Khalifah Al-Walid ibn Abd Al-Malik, di bawah pimpinan Tarik ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair. Pada tahun 756 M, kota ini menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa pertama Bani Umayyah di Spanyol adalah Abd Al-Rahman Al-Dakhil. Kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia berlangsung dari tahun 756-1031 M.
Sebagai ibu kota pemerintahan, Kordova di masa Bani Umayyah mengalami perkembangan pesat. Banyak bangunan baru yang didirikan, seperti istana dan masjid-masjid. Sebuah jembatan dengan gaya arsitektur Islam dengan 16 lengkungan dalam gaya Romawi, menghubungkan Kordova dengan daerah pinggiran di seberang sungai. Di sebelah Barat jembatan, berdiri istana Al-Cazar. Puncak perkembangan Kordova pada masa pemerintahan Abd Al-Rahman Al-Nashir di pertengahan abad ke-10 M.
Pada masa pemerintahan Islam Kordova dikenal sebagai pusat kerajinan barang-barang dari perak, sulaman-sulaman dari sutera dan kulit yang mempunyai bentuk khusus. Pada tahun 1236 M, Kordova direbut oleh tentara Kristen di bawah pimpinan Ferdinand III dari Castilla. Setelah itu, supermasi Islam di Spanyol mulai mengalami kemunduran.[26]
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Kordova menjadi pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini berdiri Universitas Cordova. Terdapat pula sebuah perpustakaan besar yang mempunyai koleksi buku + 400.000 judul. Kemanjuan ilmu pengetahuan ini tidak terlepas dari jasa dua orang khalifah pencinta ilmu, Abd Al-Rahman Al-Nashir dan anaknya Al-Hakam. Yang disebut terakhir ini memerintahkan pegawainya untuk mencari dan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, baik klasik maupun kontemporer. Ia menulis kepada penulis-penulis terkenal untuk mendapatkan karyanya dengan imbalan yang tinggi. Pada masanyalah tercapai apa yang dinamakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan sastra di Spanyol Islam.
Di Kordova dipelajari ilmu astronomi, geografi, ilmu kimia, dan sejarah alam. Masjid-masjid Kordova menjadi pusat aktif filsafat dan ilmu. Kesusastraan dan ilmu Spanyol mengalami masa keemasannnya di bawah pemerintahan Hakam Al-Mustansir Billah yang wafat pada tahun 976 M.
Pada masa jayanya, di Kordova terdapat 491 mesjid dan 900 pemandian umum. Penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.[27]

2.      Granada
Granada terletak di tepi sungai Genil di kaki gunung Sierra Nevada, berdekatan dengan pantai laut Mediterania (Laut Tengah). Semula Granada adalah tempat tinggal orang Iberia, kemudian menjadi kota orang Romawi dan baru terkenal setelah berada di tengah orang-orang Islam. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, Granada disebut Andalusia Atas.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia, Granada mengalami perkembangan pesat. Setelah mengalami kemunduran tahun 1031 M, Granada diperintah oleh dinasti setempat, yaitu dinasti Zirids. Setelah itu, Granada jatuh ke bawah pemerintahan Al-Murabithun, sebuah dinasti Barbar dari Afrika Utara pada tahun 1090 M, Al-Murabithun berkuasa sampai tahun 1149 M. Pada masa pemerintahannya, banyak istana dibangun.
Pada abad ke-12, Granada menjadi kota terbesar kelima di Spanyol. Kota ini dikelilingi oleh tembok. Struktur penduduknya  terdiri dari berbagai bangsa, terutama Arab, Barbar, dan Spanyol yang menganut tiga agama besar Islam, Kristen, dan Yahudi. Sejak abad ke-13, Granada diperitah oleh dinasti Nasrid selama + 250 tahun. Pada masa itu dibangun sebuah istana indah dan megah yang dikenal dengan nama istana Al-Hambra, berarti merah. Istana ini dibangun dan dikembangkan oleh arsitek-arsitek muslim pada tahun 1238-1358 M. Istana ini terletak di sebelah Timur Al-Kazaba, sebuah benteng tentara Islam.
Granada terkenal dengan tembok dan 20 menara yang mengitarinya. Granada mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Muhammad V (1354-1391 M), baik dalam arsitektur maupun politik. Menjelang akhir abad ke-15 pemerintah menjadi lemah karena perpecahan keluarga. Pada tahun 1492, kota ini jatuh ke tangan penguasa Kristen, raja Ferdinand dan Isabella. Pada tahun 1610 M orang-orang Islam diusir dari kota ini oleh penguasa Kristen.[28]

G.    Peradaban Islam di Samarkand dan Bukhara
Samarkand terletak di sebelah selatan sungai Al-Saghad. Kota ini beberapa kali diduduki oleh Iskandar ketika ia dan pasukannya berperang melawan Spitamenes. Tetapi, menurut riwayat-riwayat tertua dalam bahasa Arab, Iskandarlah yang mendirikan kota Samarkand. Setelah tahun 323 M, kota ini menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Bactria. Pada masa Anthiochus II Theos berdiri kerajaan Graeco-Bactrion (Bactria Yunani), sejak itu hubungan politik dan ekonomi antara Samarkand dengan Persia dan Cina terputus. Kota Bukhara diperkirakan sudah ada ketika Iskandar datang ke sana.
Pada tahun 204 H (819 M), Al-Ma’mun, khalifah dari dinasti Abbas yang berpusat di Baghdad, menyerahkan urusan pemerintahan negeri Transoxiana, khususnya Samarkand dan Bukhara kepada keluarga Asad ibn Saman. Sejak itu, dua kota ini berada dibawah kekuasaan dinasti Samaniah. Pada masa ini Samarkand menjadi daerah yang sangat makmur dan masyarakatnya hidup sejahtera. Sekalipun ibu kota pindah ke Bukhara, Samarkand tetap merupakan kota terpenting, karena ia menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.[29]
Ketika itu Samarkand dan Bukhara, masing-masing terbagi menjadi tiga bagian yaitu daerah benteng “kota” sebagai pusat dan perkampungan. Di daerah benteng terdapat istana, kantor-kantor pemerintahan dan penjara. Di sekitar “kota” digali parit yang dalam dan tanahnya dibuat tembok kota. “Kota” di Samarkand mempunyai empat buah pintu utama, sementara di Bukhara tujuh buah pintu. “Kota” berbatasan dengan perkembangan, yang terdapat pasar-pasar besar, pertokoan, dan gudang harta yang jarang terdapat di “kota”. Di tengah kota berdiri kantor-kantor pemerintahan dan masjid jami’.
Penghasilan utama kota Samarkand adalah kertas Samarkand yang terkenal. Sedangkan kota Bukhara terkenal dengan perdagangan dan industri tenunnya. Hasil industri tenun ini diekspor ke Syria, Mesir, dan Romawi. Di Samarkand terdapat makam terkenal dan dihormati yaitu makam Qasim ibn ‘Abbas, yang dipandang sebagai pembawa agama Islam ke negeri ini pada masa khalifah Usman ibn Affan. Di Bukhara juga terdapat makam Baha’ Al-Din Al-Naqsyabandi yang wafat pada abad ke-8 H (14 M). Terdapat pula seorang ulama terkenal pada masa itu, sebagai pendiri aliran teologi Islam yang dikenal dengan aliran Maturidiah yaitu Abu Manshur Al-Maturidi yang wafat di Samarkand tahun 333 H (944 M). Aliran ini dikembalikan oleh muridnya bernama Abu Al Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H / 1030-1494 M) di Bukhara yang melahirkan aliran teologi Islam dan dikenal dengan aliran Maturidiah Bukhara. Ulama terkenal lainnya dari Bukhara adalah Imam Al-Bukhari, seorang ahli hadits terkenal di dunia Islam yang menulis kitab Shahih Al-Bukhari. Bukhara memang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu keagamaan Islam.
Setelah dinasti Samaniah runtuh, Samarkand dan Bukhara jatuh ke tangan dinasti Seljuk Sanjar tahun 495 H (1102 M), tetapi 40 tahun kemudian (536 H/1141 M), kota ini direbut oleh dinasti Khawarizmsyah yang menjadikan Bukhara sebagai pusatnya. Pada tahun 606 H (1209 M), dua kota ini dikepung oleh Jengis Khan selama beberapa bulan setelah ia menyeberangi sungai Jihun. Bukhara merupakan kota Islam pertama yang diserang Jengis Khan pada tahun 616 H (1220 M), setahun kemudian kota Samarkand.[30]
Selama 150 tahun berikutnya, sejarah kota ini sangat menyedihkan. Rumah-rumah penduduk sangat sedikit, dikelilingi oleh puing-puing. Bangkit kembali pada tahun 771 H (1369 M), pada masa pemerintahan Timur Lenk, penguasa tertinggi di Transoxiana. Timur Lenk menjadikan Samarkand sebagai ibu kota pemerintahannya. Kota ini diperindah oleh Ulugh Bek (w. 857 H / 1449 M), cucu Timur Lenk, dengan mendirikan sebuah istana yang sangat megah. Secara politik Bukhara menjadi kota yang tak berarti.
Pada tahun 906 H (1500 M), dua kota ini jatuh ke tangan Syaibani, raja Uzbek, lalu direbut oleh Babur, raja Mughal India. Tahun berikutnya kembali dikuasai orang-orang Uzbekistan. Pada tahun 1917 M, Uni Soviet berdiri dan Uzbekistan yang di dalamnya terdapat Samarkand dan Bukhara menjadi bagian dari Uni Soviet. Sejak tahun 1992 M, Uzbekistan menjadi negara muslim merdeka, karena Uni Soviet bubar dengan sendirinya.[31]
BAB III
KESIMPULAN

Peradaban-peradaban Islam yang telah di alami di daerah Baghdad, Kairo, Isfahan, Istambul, Delhi, Andalus, Samarkand dan Bukhara memiliki kontribusi besar dalam berbagai bidang seperti: pendidikan dan ilmu pengetahuan, politik dan pemerintahan, ekonomi, arsitektur. Peradaban dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan Kota Baghdad memiliki perpustakaan yang dipenuhi dengan beribu-ribu ilmu pengetahuan yang bernama Bait Al-Hikmah, Perguruan Mustanshiriyah, serta para ilmuwan yaitu Al- Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad ibn Hambal, Al- Ghazali, Abd Al-Qadir Al-Jilani, Ibn Muqaffa’, dan lain-lain. Peradaban dalam bidang politik dan pemerintahan di Kairo dengan pelaksanaaan tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.
Peradaban Islam dalam bidang ekonomi di Kota Isfahan dengan  di kuasainya Kepulauan Hurmuz dan Pelabuhan Gumrun dan diubah menjadi Bandar Abbas yang menjadi salah satu jalur dagang yang menghubungkan antara timur dan barat. Peradaban dalam bidang arsitektur di Kota Istambul dengan pembangunan masjid, Gereja Ayashopia yang diubah menjadi masjid Agung terpenting di Istambul dengan menutup gambar makhluk hidup sebelumnya, mendirikan mihrab yang dindingnya dihiasi dengan kaligrafi indah dan menara-menara, Masjid Agung Al-Muhammady, Masjid Abu Ayyub Al-Anshory sebagai tempat pelantikan para Sultan Usmani, Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni.
Selain itu pusat-pusat peradaban Islam lain yang ikut memajukan Islam adalah Delhi, Spanyol, Samarkand dan Bukhara. Di mana di kota-kota tersebut banyak bermunculan ilmuan-ilmuan muslim yang berpengaruh dalam kemajuan peradaban pada masa itu dan berdirinya bangunan-bangunan bersejarah Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2009.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2008.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT.Pustaka Riski Putra. 2009.
Thohir, Aji. Studi Kawasan Bumi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam-Dirasah Islamiyyah II. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2011.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam-Dirasah Islamiyyah II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2011), hlm. 1-3.
[2] Fatah Sukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT.Pustaka Riski Putra, 2009), hlm. 253-255
[3] Ajid Thohir,  Studi Kawasan Bumi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),  hlm. 168
[4] Badri Yatim, Op.Cit., hlm. 277.
[5] Ibid, hlm. 278
[6] Ibid, hlm. 279
[7] Log. Cit, hlm.279
[8]  Ibid, hlm. 280-281
[9] Ibid, hlm.282
[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 286
[11] Badri Yatim, Op.Cit., hlm.282-283
[12] Samsul Munir Amin, Log. Cit, hlm. 286
[13] Badri Yatim, Op. Cit, hlm.284
[14] Ibid, 284-285.
[15] Ibid, hlm. 289
[16] Fatah Sukur, Op.Cit, hlm. 139-141
[17] Samsul Munir Amin, Op. Cit, hlm. 290
[18] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 287-288.
[19] Ibid, hlm.289
[20] Samsul Munir Amin, Op. Cit, hlm. 291
[21] Ajid Thohir,Op.Cit, hlm. 187-188
[22] Badri Yatim, Op.Cit, hlm. 290.
[23] Ibid, hlm. 291.
[24] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 118-119.
[25] Ibid, hlm. 120.
[26] Badri Yatim, Op.Cit, hlm.292.
[27] Ibid, hlm. 293.
[28] Ibid, hlm. 294.
[29] Ibid, hlm. 295-296.
[30] Ibid, hlm. 297.
[31] Ibid, hlm. 298.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar